Kematian yang Sembunyi di Antara Angin

Kematian yang Sembunyi di Antara Angin

Kematian yang Sembunyi di Antara Angin
Oleh: Erlyna

Aku turun dari sepeda motor, menatap sekeliling pelan-pelan, lalu melangkah. Suasana sekitar terlihat berbeda dibanding terakhir kali aku melihatnya sepuluh tahun lalu.

“Assalamualaikum,” sapaku lirih pada seorang ibu yang kebetulan menyambutku.

“Waalaikumsalam. Apakah Anda temannya Mbak Rofi?”

Aku mengangguk pelan, sembari menarik napas dalam-dalam.

“Silakan masuk. Dia masih di dalam.”

Aku melanjutkan langkah setelah mengucapkan terima kasih. Rumah ini … terlihat jauh lebih bagus. Hanya satu yang tidak berubah, sebuah kursi beton yang masih terlihat berdiri kukuh di sisi kanan rumah.

* * *

“Rum, hari ini bawa sepeda?”

“Tidak. Aku naik angkutan umum.”

“Kebetulan. Pulang sekolah ke rumahku, yuk! Aku punya sepeda motor baru. Nanti aku antar pulang juga.”

“Tapi ….”

“Ayolah. Kamu belum pernah ke rumahku, kan?”

“Emmm. Baiklah.”

* * *

Percakapan pendek di masa lalu itu menyelinap di kepala saat aku melangkah melewati pintu besar yang terbuka lebar. Aroma wangi menyeruak menusuk hidung.

Aku duduk di samping seorang wanita gemuk yang baru saja merangkai bunga. Wanita itu tersenyum, lalu bangkit menuju ke belakang.

Rofi ….

Akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi setelah sekian lama. Bagaimanapun, kamu masih secantik dulu. Begitu tenang dengan senyum sederhana. Senyum seorang sahabat.

* * *

“Rum, temani aku ke belakang, yuk!”

“Gak, ah. Catatanku tertinggal jauh, nih. Bu Retno menulis dengan sangat cepat. Ajak yang lain saja.”

“Ayolah, plis. Pinjami aku jaketmu, ya.”

“Jaket? Kamu sakit?”

“Bukan, anu … palang merah.”

“Hah! Ayo buruan!”

* * *

Aku tersenyum membayangkan potongan masa lalu yang tiba-tiba menyerbu ke dalam rumah berdinding hijau ini. Mereka seolah-olah tidak ingin membuatku kesepian dengan merenung sendirian tanpa memikirkan apa-apa.

Sejak dulu aku sangat pendiam. Bukan karena tidak suka bergaul, aku hanya takut teman-teman yang lain merasa bosan jika bergaul denganku. Aku takut membuat mereka tidak nyaman.

Akan tetapi, Rofi berbeda. Dia akan selalu berada di sampingku, menganggapku teman meski aku tidak pernah menganggapnya begitu.

* * *

“Er, ke kantin, yuk!”

“Aku puasa.”

“Jangan berbohong padaku. Ayo, tenang saja. Hari ini aku yang traktir. Tapi nanti ajari aku cara mengarang cerita, ya.”

* * *

Rofi tidak pernah membanggakan kekayaannya seperti teman-teman yang lain. Penampilan dia sama kampungannya denganku. Hanya saja, dia selalu terlihat bersinar. Setidaknya di mataku.

“Mbak temannya Rofi?”

“Eh, iya.”

“Teman di mana?”

“Oh, saya teman sekelasnya waktu SMA.”

“Wah, kebetulan. Maukah ikut membawakan karangan bunga?”

“Emmm, ya. Tentu saja.”

* * *

“Er, bantu aku bawa tas ini, dong. Berat sekali. Rasanya pundakku mau copot.”

“Bagaimana bisa pundak copot gara-gara membawa tas. Lagian, kenapa tasmu begitu berat?”

“Ah, itu karena aku tidak punya jadwal. Jadi aku membawa semua bukuku setiap hari.”

“Hah?”

* * *

Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Bagaimana bisa sosok yang di masa lalu begitu lucu dan ceria, sekarang berubah menjadi sangat pendiam?

Rofi, kenapa diam saja? Apakah kamu lupa denganku? Apakah kamu lupa dengan sahabatmu sendiri?

Menjelang siang, beberapa ibu-ibu sibuk membereskan tubuhmu. Membungkusnya dengan kain putih lalu menaikkannya ke atas kereta.

Aku berdiri di depan, di samping seorang gadis dengan mata merah karena lelah menangis.

Aku mengembuskan napas, memejamkan mata sembari menunggu aba-aba.

Siang itu, angin berembus sepoi-sepoi. Dan di antaranya, kulihat kematian bergegas pergi, membawa sahabatku kembali. (*)

 

Purworejo, 14 Mei 2019

Erlyna, perempuan sederhana yang mencintai dunia anak-anak. Suka menulis dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata