Kematian yang Direncanakan
Oleh : Rosna Deli
Judul : Perempuan yang Gagal jadi Kelelawar
Penulis : Veven Sp. Wardhana
Cetakan pertama : Juni 2013
Penerbit : KPG
Tebal : 123 Halaman.
Ada hal menarik saat membuka lembaran pertama buku ini. Pembaca langsung disodorkan oleh potongan puisi tentang kematian dari Chairil Anwar (Bukan Kematian Benar Menusuk Kalbu) dan Subagio Sastrowardoyo ( Dan kematian makin akrab). Kemudian, disambung dengan bait dari penulis buku sendiri (Dan Kematian Memang Lekat).
Hal ini seolah menyiratkan bahwa Veven—sang penulis buku—telah mengetahui akhir hidupnya yang kian dekat dan ternyata terbukti. Seharusnya, buku kumpulan cerpen ini akan terdiri dari 12 judul, tetapi panjang galah bisa diukur, sedang panjang umur tak ada yang bisa mengatur.
Ya, buku kumpulan cerpen ini merupakan buku terakhir dari sang penulis sebelum akhirnya dia dipanggil yang Maha Kuasa. Bahkan, kata pengantar buku ditulis tepat seminggu setelah Veven wafat.
Hal ini juga tersirat jelas pada seluruh cerpen yang ada, semuanya menceritakan tentang kematian. Meskipun, tidak ada gambaran adegan kematian.
Bagi Veven, semangat untuk sampai pada kematian haruslah bersejarah dengan semangat untuk tetap bertahan hidup. Karena kematian adalah bagian dari kehidupan itu sendiri, sehingga tak ada yang perlu dirisaukan. Mungkin, nilai ini yang ingin disampaikannya melalui sembilan cerpen di dalamnya.
Ada hal yang paling membekas sesaat setelah membaca seluruh kisah dalam buku ini yaitu variasi pemilihan kata yang begitu memukau. Ada banyak kata baru yang saya garis bawahi untuk dicari artinya. Seperti menyungai, menelaga, membetot, mencangking, dan lain sebagainya. Walaupun, ternyata banyak kata yang merupakan hasil kreativitas Veven sendiri.
Selain itu, Veven jarang sekali menamakan tokoh ceritanya dengan sebuah nama. Penamaan tokoh hanya berupa sebutan, seperti perempuan itu, suaminya, atau istrinya.
Hal menarik lainnya adalah soal pemilihan judul yang sangat liar. Seperti, Perempuan yang Gagal jadi Kelelawar, Perempuan yang Keramas Sebelum Tidur atau Silsilah Ayah, Anjing, dan Kepinding. Membaca daftar isinya saja, sudah membangkitkan rasa ingin tahu.
Saya akui, semua cerpen yang saya baca dalam buku ini tidak dapat saya pahami dalam sekali baca. Saya membaca hingga dua kali untuk mengerti maksud tulisannya. Terlebih pada judul Perempuan Peracau, terlalu sulit untuk dicerna dalam sekali duduk.
“Nailak ngalib uka nates anerak naikapku nailak ngalib tatek. Ikat utkaw kuanekkan naikap ranggol, nailak nganjaleti uka nad nailak menambah nates ngay menkibac-kibac nimalekku. Nailak memasokrepku.”
Itu adalah kutipan dialog dari cerpen berjudul Perempuan Peracau, yang tentu jika dibaca tak memiliki arti. Namun, jika ditelaah lebih dalam ia merupakan sebuah huruf acak yang memiliki makna.
Arti dari dialog itu adalah –tertera dalam kata pengantar— kalian bilang aku setan karena pakaianku kalian bilang ketat. Tapi waktu kukenakan pakaian longgar, kalian telanjangi aku dan kalian menjelma setan yang mencabik-cabik kelaminku. Kalian memperkosaku!” (Perempuan Peracau).
Ketidakmampuan dalam mencerna cerpen ini dalam sekali baca bisa jadi kurangnya pengalaman membaca saya, dan metafora yang dipilih penulis terlalu sulit untuk dimengerti.
Dari kesembilan tulisan yang ada, cerpen berjudul Berlaksa Rama-Rama di Jakarta merupakan tulisan yang paling mudah saya pahami.
Saya mengutip sebuah dialog dari cerpen tersebut yang paling saya suka.
“Apa pun jawabanmu, tak begitu kutunggu. Apa pun yang melintasi pikiranmu, bagiku tak begitu perlu. Yang ada dalam benakku, yang ada dalam pikiranku—itu yang kenyataan padamu—itu lebih perlu.” (Halaman 66, Berlaksa Rama-Rama di Jakarta).
Seluruh isi buku ini menggambarkan kualitas penulisnya yang juga seorang penyunting beberapa buku. Maka, tak diragukan lagi kualitas dari isi tulisan, baik pengetikan, tata letak, penyusunan-pemilihan kata dan lain sebagainya.
Selebihnya, saya belajar banyak dari semua cerpen yang ditulis, tentang pemilihan diksi, bagaimana menentukan judul, serta memahami makna kematian itu sendiri.(*)
Dumai, 12 September 2021
Rosna Deli, seorang ibu rumah tangga yang menyenangi dunia aksara.
Editor : Rinanda Tesniana
Gambar : dok.pribadi
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata