Keluarga Nori

Keluarga Nori

Keluarga Nori

Oleh: Elly ND

 

Hari itu, dua hari setelah lebaran Idul Fitri aku dan kelima anakku pindah ke rumah majikan baru. Entah apa alasan majikanku yang lama memindahkan kami ke rumah majikan yang baru. Mungkin karena kasihan padaku dan anak-anak, sebab sebulan setelah aku melahirkan suamiku tak kunjung datang.

Masih kuingat dengan jelas saat aku sedang hamil muda. Bang Rimo, mendatangiku yang sedang membersihkan tempat tidur kami.

“Sayang, ada yang mau Abang omongin, nih.”

“Mau ngomongin apa, Bang? Biasanya juga langsung ngomong, enggak pake kata pengantar dulu.” Kembali kukibas-kibaskan debu-debu yang menempel di tempat tidur.

“Gini, Sayang, sebentar lagi “kan kamu mau melahirkan. Nah, sepertinya Abang harus pergi merantau untuk beberapa waktu,” ucap Bang Rimo pelan.

“Merantau, Bang? Abang mau merantau kemana?”

“Kemana aja lah, Sayang. Abang usahakan sebelum kamu lahiran, Abang sudah di rumah.” Usai mengatakan itu, Bang Rimo pergi menemui temannya.

“Mak. Emak ngelamun?” tegur Riko, anak sulungku membuatku sejenak melupakan kenangan tentang Bang Rimo.

“Eh, iya? Kenapa, Ko?”

“Emak kenapa? Masih kepikiran majikan kita yang lama, ya?” Riko mendekatiku yang sedang bersandar di dinding teras.

“Enggak, Ko. Emak cuma mikir, andai Bapak sekarang ada di sini juga, ya. Tentu adik-adik kamu bakal seneng banget.”

“Bapak lagi, Bapak lagi. Udahlah Mak. Enggak usah inget-inget Bapak terus!” Riko menjawab ketus kemudian beranjak menjauh.

Baiklah, daripada aku terbayang kisah yang telah lalu, lebih baik aku melihat-lihat sekeliling rumah majikan. Dan benar saja, di rumah majikan yang baru ini kulihat halamannya sangat luas. Semoga saja anak-anakku setelah tahu, senang untuk bermain bersama nantinya.

***

Di tempat baru ini, majikanku berkata aku harus berbagi makanan dengan dua remaja. Entah siapa namanya, aku belum sempat berkenalan. Saat datang aku hanya sekilas melihat mereka. Mereka berdua sangat mirip. Ah, mungkin mereka kembar begitu pikirku.

“Nori, kenalin ini Uti dan ini Uni. Mulai hari ini kalian berteman, ya.” Aku tak menjawab, hanya kutolehkan kepala kepada majikan saat mengenalkan kami sore ini.

“Hai, aku Nori dan ini anak-anakku. Senang bisa berkenalan dengan kalian,” sapaku sembari membimbing anakku yang masih bayi.

Uni dan Uti tidak menjawab salam perkenalanku, mereka berlalu setelah melihat anak sulungku.

Hari-hari kulalui dengan bahagia. Bersama anak-anakku, serta Uti dan Uni yang lebih dulu tinggal di rumah majikan. Perlahan, kenangan tentang kepergian Bang Rimo pun terlupakan. Berkat keluarga majikan yang sangat menyayangi kami. Ah, aku beruntung tinggal bersama mereka.

Hingga tiba hari itu, tujuh hari sebelum acara selamatan kelahiran anak majikanku. Uti, tak ada di rumah. Entah kemana dia pergi, kami tak ada yang tahu. Seingatku, setelah Zuhur dia memang keluar, tapi tidak pamit akan kemana. Kami tunggu sampai malam, Uti tidak kunjung pulang. Sedang Uni dan majikanku mulai sibuk mencari Uti berkeliling kompleks perumahan. Mereka bertanya pada setiap rumah tetangga yang dilewati.

Semenjak Uti menghilang, kulihat Uni tampak murung. Sementara itu di meja makan, majikanku sedang bercakap-cakap sambil menikmati gorengan.

“Uti udah pulang belum, Neng?”

“Belum, A, mungkin lagi cari jodoh dia.”

“Duh, gak biasanya Uti pergi lama ya, Neng. Ya udah kita tunggu aja sampai besok,” sahut suami majikanku sambil menggendong anaknya yang masih bayi.

Ah, majikanku pasti merasa sangat kehilangan. Wajar saja, karena Uti sudah seperti saudara bagi mereka sekeluarga.

“A, Neng punya usul nih.”

“Usul apa, Neng?”

“Gimana kalau kita buatin rumah untuk Nori sama yang lainnya, A? Jadi kalau malam, mereka semua ngumpul disatu rumah.”

Apa? Majikanku berencana akan membuatkan rumah untuk kami?

“Rumah untuk Nori? Serumah sama kita aja kan udah cukup, Neng.”

“Bukan gitu, A. Maksudnya, ‘kan, kita ada bayi, kasian kalau harus dekat sama mereka.”

“Hmm … bener juga ya, Neng. Oke deh. Besok Aa siapin bahan-bahannya, ya.”

“Alhamdulillah. Iya, A. Dibuat tingkat ya A, rumahnya.”

“Iya, Neng.”

***

Sore ini, akhirnya Uti yang sempat menghilang selama tujuh hari sudah kembali ke rumah. Ia datang bertepatan dengan selesainya rumah yang majikanku bangun untuk kami.

“Ini rumah baru kalian. Yang akur ya kalian, jangan rebutan makanan.” Pamit majikanku.

Sebelum masuk ke rumah, ditaruhnya makan malam untuk kami di mangkuk-mangkuk kecil. Tidak lupa dua mangkuk berukuran sedang berisi air minum.

“Meoong …,” jawabku dan anak-anak sebagai ucapan terima kasih. (*)

 

 

Elly ND. Seorang perempuan penikmat bakso dan kopi susu.

 

Editor: Evamuzy

Leave a Reply