Keluarga Berantakan

Keluarga Berantakan

Keluarga Berantakan
Oleh: Erlyna

Terkadang aku ingin tertawa sambil menangis. Di lain hari aku justru menangis sambil tertawa terbahak-bahak, berkali-kali tanpa alasan yang jelas. Entah apa yang salah. Kenapa hidup bisa selucu ini. Kenapa semua orang selalu berhasil memainkan peran mereka? Kenapa cuma aku yang gagal? Kenapa cuma aku yang tidak bisa berhenti tertawa?

Ah!
Aku benci sekali hidup begini. Ingin sekali rasanya mengakhiri semua, tetapi orang-orang yang mengaku peduli padaku terus menerus menghalangi dan menjebakku untuk masuk ke tempat ini. Peduli katanya? Omong kosong!

“Bu Ranti, ini obatnya ….”

“Diam perawat sialan. Jangan membuatku terus tertawa. Aku tidak gila.”

***

Apakah kalian pernah menyesal? Apakah kalian pernah menangis karena melakukan hal-hal bodoh? Apakah kalian pernah merasa bersalah dan merasa sangat menderita? Bagaimana rasanya?

Aku ingin sekali merasakan itu semua, tetapi tidak pernah bisa. Entah apa yang salah dengan perasaan dan hati di dalam dada. Sepertinya seseorang telah menukar hatiku dengan batu saat aku bayi, atau salah satu dokter menukarnya dengan hati binatang sehingga aku menjadi begitu menyebalkan. Tidak, bukan menyebalkan, tetapi kurang ajar, tidak punya perasaan.

Gelap dan pengap.

Ah, jujur aku benci tempat ini. Semuanya terlihat suram seperti hidupku selama ini. Ingin rasanya melihat cahaya matahari dan menikmati kehidupan di luar sana. Apakah sebuah keinginan untuk hidup normal adalah mustahil? Kenapa aku tidak bisa seperti mereka? Kenapa aku yang bekerja siang malam dengan mandi keringat tidak pernah merasa bahagia seperti orang-orang di luar sana? Kenapa tidak ada yang sudi menyebut namaku dengan benar? Kenapa Purnomo—nama pemberian almarhum ayahku kalah populer dibanding sebutan maling?

Klang!

“Ah, Anda?”

“Berhenti memikirkan cara untuk kabur dan segera makan!”

Ah, nasi kebanyakan air dan sayur garam lagi.

***
Jika ada yang bilang bahwa hidup ini tidak adil, tariklah ucapan itu. Sungguh! Demi matahari yang mengelilingi bumi, tidak ada ketidakadilan hidup yang lebih kejam dari apa yang aku rasakan.

Aku terlahir cacat. Ibuku bilang, aku lahir di usia tujuh bulan kehamilan dan Ayah membawa paksa tubuhku yang sebesar botol air mineral ukuran 600 ml keluar dari inkubator.

Dulu aku ingin tahu apa saja yang dilakukan suster pengawas di ruangan itu. Mungkin Ayah yang bekerja sebagai “maling” memasukkan tubuhku ke dalam saku sehingga mereka tidak menyadarinya? Entahlah. Aku tidak ingin membayangkan atau mencoba mencari tahu. Aku sudah tidak peduli lagi.

Sepertinya sebuah keajaiban menyelimuti diriku, hingga bisa bertahan selama dua belas tahun ini. Kemiskinan memang butuh tindakan nekat. Kalau tidak nekat, kami sudah pasti sekarat. Ibu nekat melahirkan di usia kehamilan tujuh bulan karena harus bekerja sebagai tukang cuci. Dengan perut yang membesar, sudah pasti sangat mengganggu aktivitasnya dan yang terpenting uang yang masuk akan tersendat.

Ayah yang bekerja siang malam mencari peluang untuk memindahkan barang orang lain ke tangannya, nyaris gila saat tahu biaya rumah sakit selama melahirkan dan perawatan bayi yang lahir sebelum waktunya.

Semua itu mungkin gila, tetapi aku bisa apa? Waktu itu aku bahkan kesulitan untuk sekadar menarik napas dan menangis.

Kehidupan yang kujalani tidak jauh dari aroma sampah dan lalat hijau yang sepanjang hari mengerubungi kepala. Jangan tanya apakah aku pernah merasakan bangku sekolah atau tidak? Itu pertanyaan lucu. Ibuku selalu tertawa terbahak-bahak tiap ada orang yang bertanya aku kini kelas berapa.

Ya, hidup ini sungguh tidak adil. Aku hanya punya satu kaki dan tangan dengan jari-jari yang saling menempel satu sama lain. Lalu wajahku … ah, lupakan. Aku tidak ingin lagi membuat Ibu menangis sambil tertawa. Kehadiranku saja sudah menjadi beban besar untuknya.

Aku selalu diejek, dicaci, bahkan diludahi. Itu tidak sakit, kok. Aku sudah terbiasa. Jadi tidak perlu lagi ada air mata. Akan tetapi, semua pertahanan diri yang selama ini kubangun dengan batu bata sisa, akhirnya hari ini runtuh dan rata dengan tanah. Tidak tersisa. Aku tidak kuat lagi. Menyerah bertahan demi kebahagiaan mereka yang kusebut orang tua.

Semua yang sejak awal sudah tidak keruan semakin menggila.

Aku ingin menangis. Kali ini saja, mohon izinkan aku menangis.

Di ujung tahun kedua belas, aku masih saja melihat Ibu tertawa. Bedanya kali ini tawanya semakin berat, melebihi puluhan ember cucian yang dulu menemaninya siang malam. Tawa itu menceritakan luka dan rasa sakit yang coba beliau ungkapkan.

Di dekat pintu, aku melihat Ayah. Badannya sekarang lebih kurus. Kulihat beliau datang didampingi dua orang berjaket hitam dengan tubuh tegap.

Aku menghentikan tangis lalu berusaha tersenyum. Sambil diam-diam mengintip mereka dari balik kelambu keranda.

“Maaf. Sebenarnya apa yang terjadi dengan anak saya?”

“Seperti harapanmu, Pur. Dion bunuh diri.”

 

Purworejo, 5 Maret 2019

Erlyna, perempuan sederhana kelahiran Jakarta yang menyukai dunia anak-anak. Hobi makan, melamun dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply