Keluarga Bahagia
Penulis: Rosna Deli
Mobil kijang butut dengan asap knalpot yang pekat itu akhirnya menemukan tempat parkir di sebuah kafe di tengah kota. Togar segera mematikan mesin lalu membuka pintu mobil.
“Sudah kubilang, cepat sedikit kalau berkemas. Kau lihat sudah habis berapa menit waktu kita untuk memarkirkan mobil butut ini,” keluh Togar kepada Rima, istrinya, sebelum benar-benar keluar dari mobil. Lelaki itu lalu menepis-nepis debu dari kemeja biru muda yang dikenakannya. Dia segera berdiri untuk menutup pintu mobil tetapi perhatiannya tertahan saat Rima bersuara.
“Aku saja yang abang salahkan. Kalau tadi abang mau bantu tak begini jadinya.” Rima berujar sambil menutup pintu mobil dengan kasar. Bunyi berdebum membuat kaca jendela ikut bergetar.
“Aku pulak yang kau salahkan?”
“La … jadi mau si Tuti yang disalahkan,” jawab Rima sambil mengendong anak balita mereka yang seketika terbangun saat mendengar pintu ditutup. Melihat anaknya terkejut, Rima lalu menepuk-nepuk pantat Tuti berharap anak bayi itu kembali terlelap, setidaknya kali ini saja dia tidak rewel. “Sudah tahu si Tuti tadi nangis, minta susu. Bukan dibuatkan, malah sibuk dengan hape –“
“Kan kau sudah tahu, hari ini Bos abang mengadakan ulang tahun pernikahannya. Harusnya sudah kau siapkan semuanya ….” Togar mempercepat langkah meninggalkan istrinya yang masih memperbaiki jarik gendongan.
“Cepat sikit!” Togar berseru tanpa memedulikan Rima yang masih kesusahan.
Melihat sikap Togar yang tak peduli, Rima justru berhenti di tempat. Dia sungguh tak mengerti sikap suaminya itu yang semakin hari semakin tak peduli. Bahkan untuk menggendong anaknya saja enggan.
“Jangan manja, kau. Cepat!” Togar menahan amarah lalu menarik tangan Rima.
“Aku aja yang abang salahkan … padahal dari kemarin dah aku bilang, aku tak mau ikut. Bukannya suka aku dengan acara ulang tahun-ulang tahun, ini. Macam anak kecil saja, pakai dirayakan. Anak kita saja tak pernah abang buat macam ini,” omel Rima lalu mengusap wajahnya. Perempuan manis itu berusaha menahan air mata yang tiba-tiba saja rasanya hendak keluar.
“Ah ….ikut saja, tak perlu suka. Kau duduk saja yang manis. Biar dilihat Pak Bos, kita keluarga bahagia.”
“Itu lagi … aku paling tidak suka.” Rima melepaskan genggaman tangan Togar dan kembali berhenti dia kembali menepuk-nepuk pantat Tuti agar kembali tenang di gendongannya. Tangis anak itu semakin kencang, mungkin dia tahu kalau orangtuanya kembali bertengkar.
“Cepat lah … bentar lagi acara dimulai. Nanti tak dapat tempat duduk kita. Sesekali berpura-pura, tak apa,” ucap Togar dengan melembut-lembutkan suaranya, berusaha menahan kekesalan.
“Bukan sekali, Bang. Kemarin di pesta Wak Jul, kemarin lagi di acara kantor, kemarin-kemarinnya lagi … bosan aku, Bang.”
Togar tak tahu harus berkata apa lagi. Dia kali ini harus bisa meyakinkan Pak Bos bahwa keluarganya adalah keluarga bahagia agar penilaian Pak Bos menjadi berlipat-lipat terhadapnya. Karena semua orang kantor sudah tahu, Pak Bos paling tidak suka kalau karyawannya memiliki masalah keluarga.
“Ingat kunci apapun di dunia ini adalah komunikasi yang benar, dua arah.” Ucapan Pak Bos itu kini terngiang-ngiang di kepala Togar.
Togar menarik napas dalam lalu berusaha tersenyum, setidaknya kali ini saja, semua harus berjalan sesuai keinginannya.
“Jadi, Adek mau bagaimana?” Togar berkata sambil merangkul istrinya.
Melihat Togar sedikit melunak, Rima pun menjadi lebih tenang. Setelah terdiam beberapa saat akhirnya dia berujar,” Ayolah … nanti tak dapat tempat duduk pula kita.” Rima berjalan cepat meninggalkan Togar yang tersenyum puas.
Sesampainya di dalam kafe, Togar segera menggandeng tangan Rima dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Kemudian, tepat saat Rima hendak duduk dengan cepat Togar menggendong anaknya lalu menarik kursi untuk istrinya itu.
Rima mengernyitkan dahi sambil berpikir keras, sejak kapan suaminya itu menjadi lebih perhatian dan romantis. Apa karena sikap merajuknya tadi atau karena semua mata tertuju pada mereka yang datang terlambat.
Lirikan mata Pak Bos membuat Togar salah tingkah, dia yakin perihal keterlambatan ini akan menjadi masalah besok di kantor. Dia berusaha untuk bersikap manis, mengambil makanan Rima lalu mengendongnya saat istrinya itu makan. Setidaknya kesalahan sedikit tadi bisa terobati. Terbukti setelah pesta hendak usai, Pak Bos mendatangi Togar seraya berbasa-basi.
Tepat saat seluruh rangkaian acara telah usai, dan semua orang telah beranjak pergi. Togar terpaksa kembali ke ruangan karena kunci mobilnya tertinggal. Namun, setelah dia mendapatkan kembali kuncinya. Togar menghentikan langkah ketika mendengar suara bentakan. Dia seperti mengenal suara itu. Suara Pak Bos yang setiap hari didengarnya.
Togar mengendap-endap untuk memastikan pendengarannya. Dan berharap dapat melihat langsung pertengkaran itu. Ya, benar itu Pak Bos. Walau tubuh Pak Bos membelakanginya, Togar tetap bisa mengenalinya.
Mengapa istrinya tampak begitu takut seperti menahan tangis? Mengapa Pak Bos tampak begitu murka?
Togar semakin mendekat untuk mendengar pembicaraan mereka. Dia betul-betul terkejut melihat kenyataan ini.
“Sudah Papa bilang dari kemarin, senyum-senyum kalau di depan karyawan Papa. Biar mereka tahu kalau kita juga keluarga bahagia.”
Seketika Togar terdiam dan tak berminat lagi untuk menyaksikan adegan selanjutnya.
Dumai, 10 Agustus 2022
Rosna Deli, penyuka keramaian juga senang makan bakwan kuah.E
Editor Lutfi Rosidah