Kelinci ke Hutan Barat Daya
Oleh : Ning Kurniati
O, Tuan
Semoga rupa masih sama
Senyum kasih jatuhi bumi
Biar perkara terus dipanen
Lembut hati tetap menghiasi
O, Tuan
Sudi rupanya kau tengok aku
Kan kudendankan syair untukmu sahaja
Biar orang dengan sebelah matanya
Asal cinta nian bertakhta
O, Tuan
Janganlah lupa akan masa
Biar gulir tak bisa henti
Namun tinta telah tertoreh
Ada sayang ada rindu
Kelinci masih terengah-engah, tetapi sang Raja sudah menatap nyalang kepadanya. Cepat benar sang Raja membaca, pikirnya. Perlahan dia memperlambat bunyi deru napas, hingga yang bisa mendengar hanya dirinya sendiri.
Suasana menjadi hening, sehening hutan ketika tengah malam. Tidak ada bunyi serangga. Juga tidak ada Cicak dan Tokek yang suka bersuara sesuka maunya di tempat itu. Tetapi, hari masih siang, kenapa berlaku tidak biasa. Kelinci makin takut. Lalu, seiring deru napasnya yang sudah membaik, dia menatap penuh tanya, penuh harap yang baik-baik pada sang Raja.
“Surat macam apa ini?” Sang Raja mengangkat dan mengibas-ngibaskan kertas yang dipegangnya.
“Ma-maksudnya, Tuan?”
“Apa benar ini surat dari dia. Ditulis sendiri olehnya?”
“Benar, Tuan. Saya melihatnya sendiri. Menyaksikan.”
“Kurang ajar! Sekarang kembalilah ke sana, tanyakan apa maksud suratnya ini?”
“Baik, Tuan.”
Segera makhluk hitam itu undur diri. Baru saja, dia menginjakkan kaki di istana, menghidu kembali wangi bunga hortensia, tetapi sekarang malah harus kembali pada rumah Kura-kura yang dipenuhi bau busuk itu. Nasib buruk. Nasib buruk. Mana harus menempuh hutan yang lebatnya lebih lebat dari kebun wartel yang tumbuh subur, terlebih lagi binatang buas yang harus dihindarinya, yang kadangkala pada waktu tertentu demi menyelamatkan nyawa dia harus menunjukkan lencana anggota istana agar selamat. Untuk masalah yang satu ini, Kelinci harus benar-benar memperhitungkan tindakannya, bila nyawa selamat tetapi musuh tahu apa yang direncanakan oleh sang Tuan, ini sama saja bunuh diri perlahan bukan hanya dirinya tetapi mengikutkan seluruh penghuni istana dan rakyat yang tak bersalah.
***
Perlu tiga hari tiga malam untuk Kelinci sampai di kampung Kura-kura. Di Barat daya dari letak istana yang di timur. Sebuah kampung yang bila siang hari tidak ada bedanya dengan malam hari. Lumut dan paku-pakuan tumbuh di sepanjang batang pohon yang menjulang tinggi dengan tajuk-tajuk yang begitu rapat. Sangat mudah menemukan binatang melata mulai dari yang sependek ekornya sampai yang panjangnya tak terkira.
Kelinci sudah paham bahwa kampung Kura-Kura yang dikenal dengan sebutan Kurara adalah kampung yang satu-satunya tidak memiliki sejarah pengkhianatan sepanjang catatan pemerintahan yang ada di istana. Jadi, walaupun dipenuhi makhluk dengan bisa yang mematikan, dia tetap melenggang ke dalam pekampungan dengan tenang dan senyum semringah. Di kepalanya sudah dipenuhi harapan akan disegani oleh para reptil. Namun, itu hanyalah rancangan di kepala yang tak menjadi nyata pada hari ini. Sebab, sekarang di hadapannya salah satu jenis ular dari marga Regina telah menghadang bersama tujuh anaknya yang masih belia.
Nyali kelinci mendadak menciut. Mendadak jantungnya berdetak lebih cepat dari yang seharusnya, yang biasanya. Dia memperhatikan mata Regina yang berkilat-kilat seperti penuh harapan. Bagi Kelinci itu adalah harapan tatapan mata predator yang melihat mangsa. Anak-anak Regina yang dari tadi menjulur-julurkan lidah kini mendesis lebih besar lagi seolah mengundang kawanannya maupun marga lain untuk datang.
Tubuh mereka sangatlah tidak menarik dengan warna kulit yang seperti baru saja menyelam di rawa hitam. Bau yang menguar dari tubuhnya begitu menggangu penciuman. Hampir saja, kelinci menutup hidung munggilnya itu, tetapi lekas-lekas membatalkan niat lantaran khawatir membuat Regina tersinggung.
“O, Tuan ….” Kelinci tersentak. “Bila benar dugaan hamba, Tuan adalah salah satu suruhan istana.”
“Yah, benar. Saya adalah suruhan istana.”
“Apakah kedatangan Tuan membawa kabar bahagia bagi kami?”
“Kabar bahagia? Saya tidak membawa kabar apa-apa bagi kalian.” Mendadak anak-anak Regina maju dengan lidah yang menjulur-julur. Kelinci yang tidak menyangka, kaget bukan main, mundur dan jatuh terduduk dengan sorot mata ketakutan.
“Anak-anak, pernahkan Ibu mengajari untuk memangsa makhluk lain yang masih hidup?”
Anak-anak Regina mendengar, lantas berbalik dan kembali di sisi sang ibu.
“Dia pantas dimangsa, Ibu. Barangkali dengan memakannya maka sang Raja akan mengirim pasukan ke sini, melihat bagaimana keadaan kita yang kacau balau.”
“Apa maksud kalian?” Kelinci bersuara dengan posisi yang masih terduduk. “Bukankah di sini aman-aman saja.”
“Aman bagaimana, Tuan? Hanya karena wilayah kami terlihat lebat dari istana, bukan berarti di sini tidak terjadi kekacauan. Banyak, sangat banyak, Tuan. Bangkai-bangkai sangat sulit didapatkan meski kematian begitu banyak. Mayat-mayat itu seolah lenyap entah ke mana. Tapi, sunguh Tuan, mayat itu tidaklah lenyap dengan sendirinya, ada yang memindahkan. Namun, sampai sekarang tidak ada satu pun makhluk yang tahu ke mana mayat-mayat itu menghilang.”
“Jadi Tuan, apa tujuanmu ke sini?” salah satu anak Regina dari yang tujuh orang bersuara.
“Untuk menemui Kura-kura Ka,” jawab Kelinci. “Saya sudah datang ke sini enam hari yang lalu.”
“Apa Tuan yakin, yang Tuan datangi adalah kampung ini. Kami tak mengenal nama Kura-kura Ka.”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu, biarkan kami mengawal Tuan untuk menemui Kura-kura Ka itu. Bagunlah! Dan mari segera berangkat agar tak bertemu kawanan marga Naja.”
Kelinci berdiri sembari membersihkan bulu-bulunya dari daun dan tanah yang menempel. Dia berpikir sebentar untuk tindakannya yang akan melibatkan Regina dan para anaknya. Mereka terlalu terlihat kelaparan dengan tubuh kerempeng dan mata yang berkilat-kilat. Bagaimanapun kemungkinan Regina untuk berkilah dan ini semua hanya semacam tipu daya belaka, itu sangat besar.
“Terima kasih untuk bantuannya, tetapi seperti yang lalu-lalu saya melakukan semuanya sendiri, maka kali ini pun saya akan melakukannya dengan sendiri.”
“O, baiklah, Tuan. Tak apa, kami juga tak akan memaksa.”
Ini bukan pilihan yang buruk, pikir Kelinci. Sebelumnya, dia sudah pernah menempuh jalur yang sama, pada saat datang dan kembali. Sekarang ini untuk ketiga kalinya, tidak ada yang perlu dirisaukan oleh makhluk kecil itu. Apa yang dikatakan oleh Regina belum tentulah benar. Tidak ada juga alasan untuk dirinya serta-merta percaya. Ini hutan, ini bukan istana. Maka, Kelinci pun bersegera mempercepat langkah.
***
Kura-kura Ka menempati sebuah gua kecil yang tepat mengarah ke sungai terluas di barat daya itu. Sebuah gua yang tidak banyak diketahui oleh makhluk-makhluk pada umumnya. Selain karena Kura-kura yang berumur panjang dan jarang ke luar rumah, letak gua itu sendiri tersembunyi di balik semak-semak yang bersulur-sulur saling terkait seperti jaring laba-laba. Pun bagi sebagian makhluk berbadan tinggi dan besar gua itu tak lebih terlihat seperti lubang kecil sarang makhluk kecil. Namun, bagi kura-kura ini adalah tempat terbaik yang dimilikinya, yang menjadi saksi bagaimana dia hidup menyendiri sejak kematian pasangannya lima tahun yang lalu.
Layaknya kehidupan makhluk yang sudah putus asa, Kura-kura hidup seadanya. Tidak ada ambisi apa-apa, seperti berkunjung ke suatu tempat, mendatangi kawan lama. Kepergian La membawa serta dirinya, hanya saja nyawa belum juga terlepas dari tubuh. Ini hanya soal perkara waktu. Tinggal menunggu dan dia akan segera bertemu pasangan jiwanya itu.
“O, Tuan. Apa kiranya masalah yang sedang menimpa, sehingga kenan lagi datang ke tempat hamba?”
“Aduh, bisakah kau bicara seperti yang lain, yang biasa saja.” Kelinci masuk ke rumah Kura-kura yang luasnya hanya bisa menampung lima makhluk seukuran dirinya.
“O, Tuan, sungguh hamba adalah makhluk biasa. Pun bicara saya ini juga biasa.”
“Ya, sudah. Terserah. Saya datang ke sini untuk mengembalikan suratmu. Sang Raja sangat marah akan surat ini.”
“O, Tuan. Apa kiranya yang membuat sang Raja marah. Hamba tidak menuliskan hal-hal yang buruk.”
“Ah, tidak kau pasti sudah menulis hal yang membuat dirinya tersinggung. Kau tahu, saking marahnya saya ini baru saja menghadap langsung disuruh kembali ke tempatmu yang busuk ini. Perbaharuilah suratmu, balas dengan benar.”
Kura-kura Ka lantas bingung, tidak mengerti bagian mana yang membuat Raja tersinggung. Dia membaca ulang isi surat yang enam hari lalu itu ditulisnya. Tidak sedikit pun ada kata yang merendahkan, menghina, atau perkataan buruk yang bisa memancing emosi. Ah, mungkin ini pendek sekali, sehingga maknanya jadi ambigu. Dengan pemikiran itu, Kura-kura kembali memperharui suratnya dengan menulis yang lebih panjang.
O, Tuan
Elok rupa tidak bertahan
Ia berganti seiring waktu
Elok laku terkenang selalu
Abadi dalam sanubari
O, Tuan
Puja-puji selalu untukmu
Masa yang lalu hingga sekarang
Dalam sengsara dalam sukacita
Tiada lain selain engkau
O, Tuan
Segala laku telah kami coba
Mentari bersinar pun meredup
Segala kerah telah ada
Namun begitulah adanya hidup
O, Tuan
Sungguh maaf beribu maaf
Tiada maksud buat resah
Hanya pinta uluran tangan
Sudi kiranya kemari bertamu
O, Tuan
Embun kami tak lagi sebening embunmu
Wangi-wangian kami telah lama merebak jauh
Sumber makanan kami mengering kerontang
Tiada lagi rupa elok dipandang
O, Tuan
Gelap mata telah mewabah
Cahaya telah hirap ditelan waktu
Panjangkan telingamu untuk makhluk kecil
Makhluk kecil juga rakyatmu
O, Tuan
Tiada tahu lagi saya harus berkata apa
Segunung kata tak berarti apa
Bila mata telah tertutup
Sungguh, kematian telah menyambut
Ka selesai lantas menyerahkan surat tersebut pada Kelinci yang duduk termenung di bawah tanaman pakis.
“Apa semuanya baik-baik saja?”
“Tak perlulah saya berbicara panjang-lebar, Tuan. Tuan bisa melihat sendiri.”
“Jadi, apa yang kau pikirkan tentang Raja?”
“O, Tuan. Apa maksud bertanya seperti itu? Hamba berpikir sebagaimana rakyat berpikir. Bila benar maka saya benarkan. Bila tidak benar maka saya salahkan. Bila masih bisa diperbaiki, maka hamba akan coba perbaiki.”
“Kau tak menjawab pertanyaanku, Ka? Kau menghindar.”
“O, Tuan, sungguh hamba sudah katakan semua tentang Raja dalam surat. Tiada maksud memelintir kata yang A menjadi B. Sudah hamba kisahkan segala resah.”
“Apa kau sudah melihat Raja? Apa kau sudah dengar tentangnya?”
“Tentu, Tuan. Sekelebat kabar sudah sampai pada telinga-telinga.”
“Berarti kau sudah tahu, bahwa dialah Raja terburuk yang pernah ada.”
“Tentu sudah, Tuan.”
“Lalu, kenapa kau tetap mengiriminya surat dengan bahasa seperti gaya bahasamu itu. Dia tidak akan mengerti.”
Ka tertawa. “Kalau dia masih bisa berpikir harusnya dia sadar Tuan, bahwa dirinya seorang yang bodoh. Harusnya dia malu. Harusnya dia belajar.”
“Bagaimana kalau dia tidak sadar? Bagaimana kalau kau dibunuhnya karena hanya akan mempersulit dia dalam kejayaannya?”
“O, Tuan. Sungguh hamba percaya segala laku dalam dunia akan dipertanggungjawabkan kelak pada pemilik alam raya ini, pencipta kita semua. Hamba sudah berusaha memperbaiki hal yang tidak benar.”
“Tapi, dia mengira kau akan mendukungnya.”
“Mendukung untuk apa, Tuan. Saya tak sudi.”
“Kalau begitu saya pulang. Doakan saya selamat, atau boleh juga saya mati agar tak lagi susah karena dia. Saya tak bisa sepertimu, Ka.”
“Kau yang memilih Ra, untuk menjadi pesuruhnya. Kau yang terlalu mudah percaya pada senyum ramahnya.”
“Saya kira dia pemimpin yang baik, tapi dia hanyalah prajurit yang duduk pada kursi raja, Ka. Saya tertipu.”
“Pulanglah, Ra. Ubahlah yang bisa kau ubah.”
Kelinci pergi. Untuk waktu-waktu tertentu terkadang dia iri dengan kesendirian teman lamanya itu. Tidak ada amanah yang akan dipertanggungjawabkan, tetapi diam-diam tetap peduli pada lingkungan. Sedangkan orang-orang yang memiliki amanah di istana sana malah menganggap enteng beberapa hal. Ada hal yang harusnya menjadi fokus utama malah terabaikan, seperti permasalahan mayat sebagai makanan di Kurara, misalnya. Sepertinya kata prioritas tidak ada lagi. Kepedulian dan kepercayaan mengikis seiring waktu. Bahkan dirinya sendiri pun mengalami, dia teringat pada Regina. Maka benarlah ramalan itu, akan ada saatnya kalian akan dipimpin oleh makhluk yang bodoh. Parahnya, dirinya adalah pesuruh dari yang bodoh itu. (*)
Ning Kurniati, perempuan biasa dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Bisa bertukar sapa melalui link: bit.ly/AkunNing atau melalui instagram niningki_03
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata