Kelas Orang-Orang Mati
Oleh: Karna Jaya Tarigan
Tiba-tiba saja saya terlempar dan terseret masuk ke dalam sebuah pusaran cahaya yang menyilaukan, lalu berputar-putar dan tersedot ke dalam puting beliung yang mahadashyat.
Dan kini saya telah berada di dalam sebuah ruangan yang berwarna putih cerah dan memiliki begitu banyak jendela kayu berukuran lebar. Sinar matahari menerobos masuk tanpa halangan dan memberi sentuhannya yang hangat di pagi hari. Entahlah … sebuah tempat yang mirip dalam dongeng-dongeng pengantar tidur dengan gedung-gedung tua yang memiliki banyak menara, dengan banyak jendela yang terbuat dari batu dan halaman luas yang dipenuhi rumput hijau halus seperti karpet. Tidak ada batang-batang pohon cemara yang menjulang tinggi atau deretan pohon oak di pinggir jalan dengan daun-daunnya yang lebar dan menyerupai telapak tangan.
Kemudian saya melihat beberapa orang yang wajah dan gambarnya pernah muncul di halaman-halaman surat kabar dan majalah, juga di film-film dokumenter hitam-putih di layar televisi. Ia, Kurt Cobain sedang duduk tenang dengan wajahnya yang selalu terlihat muram seperti selembar kertas yang kusam. Tangan kirinya sedang bermain-main dengan sebatang bolpoin; mencorat-coret selembar kertas di atas meja. Dan meski saya baru saja menyapanya, “Hai, Kurt ….” Namun, ia bergeming dalam kesibukannya.
Tidak ada yang pernah berubah dari dirinya: lelaki yang selalu misterius seperti biasanya.
Di belakang Kurt, duduk seorang lelaki tampan yang mirip sekali dengan seorang penyanyi pop terkenal di era 90-an, Tommy Page. Saya masih ingat dengan suaranya yang “serak-serak basah”, tetapi mampu melelehkan hati banyak perempuan. Beberapa waktu yang lalu ia telah menghabisi nyawanya dengan seutas tambang. Bertolak-belakang dengan Kurt, Tippy–begitu biasanya ia dipanggil–lebih ramah. Ia mau melempar senyum dan menganggukkan kepala. Sebenarnya saya cukup heran juga, mengapa lelaki yang sebaik ini bisa-bisanya berpikir pendek.
Tapi tunggu sebentar … saya ingat-ingat… bukankah mereka sebenarnya telah mati? Jadi, saya berada di mana? Ataukah saya juga telah mati ….
***
Sialan! Betul-betul enggak jelas. Masa saya bertanya pada orang mati: “Halo … sedang di mana saya?” Tentu tidak, nanti saya bisa dicekik mereka karena tersinggung. Meskipun sebenarnya saya bingung dengan keadaan ini, namun lebih baik saya diam sebagai anak baru di kelas. Semua ini tidak nyata tetapi kelihatan seperti sungguhan.
“What a hell is this!”
Lalu mata saya mulai celingak-celinguk, mencari-cari, barangkali ada seseorang yang saya kenal atau pernah kenal, dan … hidup; dan bukan mati …. Tapi tak ada seorang pun yang saya kenal, atau mengenali saya. Ya, sudahlah … namanya saja saya tengah terdampar di suatu tempat antah-berantah. Mungkin saya terdampar dalam dimensi lain. Ah, biar saja, dalam hidup yang nyata pun, semua tidak bisa diduga. Kesialan dan keberuntungan datang begitu saja. Jadi, lebih baik tetap tenang dan mempelajari keadaan segera. Oke. Oke. Akan saya lakukan sambil mencari bangku kosong.
Hmm … di sebelah sana ada meskipun kelihatan sedikit reot dan di belakangnya ada empat orang laki-laki dewasa yang sedang tenggelam dalam obrolan yang hangat. Lihat! Chester Bennington sedang berbincang-bincang dengan seorang lelaki kulit hitam yang berambut keriting menjulang ke atas seperti cabang-cabang pohon. Lelaki Afro-Amerika itu adalah Jimmy Hendrix, seorang gitaris legendaris di zamannya. Gaya dan tekniknya bermain gitar sangatlah unik. Ia mencabik-cabik senar gitar listrik dengan menggunakan gigi-giginya, dan itu sangat sensasional. Ia juga yang pertama kali memperkenalkan “sound effect” kepada dunia dan hampir semua gitaris di seluruh dunia menirunya.
Chris Cornell dan Jim Morisson berada di samping kedua orang itu. Sambil merokok, Chris “manggut-manggut” dan menjadi pendengar yang baik. Sesekali ia menimpali dengan celotehnya yang mampu membuat yang lainnya tertawa cekakakan. Ia lucu juga, ya.
Kemudian mata saya beralih pada lelaki gondrong yang mengenakan jaket kulit di sebelahnya. Ada apa dengan Jim? Tumben dia kelihatan sedikit kalem, padahal biasanya ia selalu terlihat mabuk, bertindak liar dan suka lepas kendali. Saya menduga ia sedang “melayang” dengan obat penenang jenis baru.
*
Saya duduk dan terus memandangi ke arah sekitar, berusaha membiasakan diri dengan lingkungan yang asing. Lalu mata saya menangkap seseorang di deretan bangku paling depan, persis di depan papan tulis. Seorang perempuan berambut “blonde” nampak sedang gelisah. Perempuan yang sedang gelisah itu, pastilah Norma Jean atau Marilyn Monroe. Dahulu ia adalah ikon perempuan paling cantik di planet bumi. Sesekali Norma mencuri pandang pada lelaki gendut paruh baya yang wajahnya lucu yang duduk di pojok kanan depan: Robbin William. Si lelaki gendut itu, dulunya adalah seorang aktor terkenal yang pernah memerankan sebuah film legendaris Dead Poets Society. Sepertinya Norma ingin berbicara dengan Pak Robin, tetapi ia ragu. Barangkali ia malu dengan beberapa lelaki yang ada di belakang saya. Menurut saya sih, sepertinya ia ingin “dicomblangi” agar bisa menjadi dekat dengan salah seorang pria di antara mereka ….
Atau diam-diam dia malah naksir Pak Robin, ya?
Tapi di antara semua orang terkenal yang berada di ruangan ini, hanya ada satu orang pria yang sangat menarik, meski juga pantas bila disebut agak aneh dengan potongan kumisnya yang tidak biasa, yaitu kumis model persegi. Di antara manusia yang terkenal di abad kedua puluh, ialah yang paling terkenal, ditakuti, dan bahkan lebih ditakuti dari malaikat maut yang paling menakutkan. Seandainya saja rambutnya tidak disisir dari sebelah kiri, dan mengenakan topi hitam pendek, pasti saya dan semua orang yang ada di sini akan menyangka ia adalah Charlie Chaplin, aktor film bisu yang mampu membuat banyak orang tertawa tergelak-gelak melihat ekspresi wajah dan gerak tubuhnya dan tanpa suara.
Lelaki yang berkumis lucu itu adalah Adolf Hitler. Tapi sedang apa ia di sini? Apakah ia hendak menulis ulang Mein Kampf, ataukah ia sedang merancang pembunuhan-pembunuhan baru yang lebih mengerikan?! Ah, saat ini sebaiknya saya tidak berburuk sangka, sebab masalah bunuh-membunuh bisa dilakukan oleh siapa saja: oleh orang-orang yang beragama, atau oleh orang-orang yang tidak beragama. Semua kaum, semua ras, dan semua bangsa yang hidup di dunia. Coba lihatlah seorang Ariel Sharon. Ia yang dahulu kaumnya pernah dibantai oleh Fir’aun dan Hitler, malah balik meniru persis dan mengulangi hal yang sama, membunuh orang-orang yang tidak bersalah dan membunuh orang-orang tidak berdosa.
Di suatu hari yang kelam, atas nama bangsanya, salah satu pemimpin yang terkenal lalim ini, pernah menyuruh beberapa orang pilot berpengalaman untuk menerbangkan pesawat tempur dan menembaki habis sebuah kamp pengungsi Palestina yang berada di Libanon. Ratusan orang tewas dan ratusan orang terluka. Namun hebatnya, ia tidak pernah merasa bersalah, apalagi meminta maaf, dan begitu juga dengan bangsanya ….
Saya cuma berpikir, apakah keadilan hanya milik ras atau bangsa tertentu. Sekali lagi, kekejaman bisa dilakukan oleh siapa saja.*
Kelas tiba-tiba menjadi hening, tatkala seorang perempuan tua yang wajahnya kerut-merut dengan tubuh terbungkuk-bungkuk, memasuki ruangan dan tersenyum. Sebatang tongkat kayu menopang tubuhnya yang ringkih, seolah menyiratkan sebuah pesan: mati segan, hidup pun tak mau. Namun perempuan itu tidak terlihat seperti perempuan tua biasa. Ia sungguh berbeda, wajahnya begitu teduh dengan cahaya yang memancar seperti wajah-wajah orang suci yang selalu memperlihatkan kebijaksanaan dan kedamaian yang tidak pernah dapat ditemukan pada manusia biasa. Ia memandang kami dengan matanya yang penuh cinta kasih, dan itu membuat kami semua takjub.
Siapa dia, ya? Saya berusaha keras untuk mengingat-ingat, barangkali otak saya masih mampu mengumpulkan potongan-potongan ingatan dengan cepat, namun sebelum itu terjadi, ia lebih dulu memperkenalkan dirinya dengan ramah, dan dengan suaranya yang lembut. Saya merasakan ketenangan dalam jiwa, rasanya seperti duduk di sebelah bongkahan es berukuran raksasa yang diletakkan di samping tubuh saya (saya sebenarnya sangat bingung untuk menggambarkan perasaan seperti ini.)
*
Pelan-pelan melangkah, perempuan tua itu lalu berdiri ke depan kelas dan mulai bicara tentang manusia: untuk apa kita dilahirkan dan untuk apa hidup yang indah ini diberikan Sang Pencipta kepada kita. Ia menjelaskan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna, yang bercampur dialek yang belum pernah saya dengar. Kemudian ia mampir dan duduk di sebelah Norma. Tangannya yang kiri menyentuh bahu gadis itu, dan membuat gadis itu menjadi agak gugup hingga wajahnya bersemu merah. Ada apa dengan Norma, ya? Hi hi hi hi …
Lalu tangan sebelah kanan perempuan tua itu menunjuk pada arah papan tulis dan tiba-tiba jadi telunjuknya mampu mengeluarkan cahaya seperti sebuah proyektor film yang mengeluarkan gambar-gambar bergerak. Papan tulis yang ada di depan kami seketika berubah menjadi layar bioskop. Kami semua bersorak-sorak kegirangan seperti anak kecil yang baru saja melihat keajaiban. Tapi beberapa detik kemudian, kami hanya mampu melongo, menggigil dan tercekam ketika melihat ratusan potongan adegan pembunuhan dalam perang ditayangkan. Betapa mengerikannya, manusia membunuh manusia dan manusia memusnahkan sesama manusia. Apakah ini sifat manusia yang sebenarnya?
Lelaki yang berkumis segi empat itu menunduk diam seribu bahasa. Ia tak dapat menyembunyikan rasa malu yang sangat. Kurt Cobain yang dari tadi kelihatan tenang, dan bergeming dengan keasyikannya, kini raut wajahnya berubah. Kedua rahang pipinya mengeras dan menahan amarah. Untung saja ia mampu menahan emosi dan tidak membuat kegaduhan, tetapi andai saja ia memegang sepucuk revolver, niscaya ia bergegas dan berjalan ke arah Adolf dan menarik pelatuk revolver segera. Saya hanya bisa diam menahan rasa ngeri yang bercampur mual. Entah apa yang berkecamuk di kepala mereka. Saya pikir semua orang juga merasakan hal yang sama seperti saya: marah, benci, dan mual.
Kemudian perempuan tua itu memperlihatkan gambar-gambar lain yang justru terbalik dengan tindakan-tindakan kekejaman sebelumnya. Ia memperlihatan apa yang telah dilakukannya di Calcutta, bersama teman-temannya, para biarawati dari misionaris cinta kasih. Mereka dengan susah payah sedang menyelamatkan kaum paria yang tergolek lemah di emperan jalan dan orang-orang yang bersembunyi balik gubuk-gubuk yang tak layak huni dengan dinding dan atap yang seadanya. Nampak anak-anak kecil sedang meringkuk dan merintih menahan sakit dengan tubuh kurus yang hanya dibalut kulit tanpa daging. Saat itu wabah kolera memang telah menjadi epidemi ganas yang telah membunuh sebagian orang-orang miskin yang sedang kelaparan.
Perempuan-perempuan berbaju putih dengan penutup kepala berwarna putih yang dihiasi garis biru tua di tepinya, dengan susah payah berusaha menyelamatkan nyawa dari setiap orang yang ditemui sedang sekarat. Bagi mereka, setiap nyawa manusia ada harganya. Bagi mereka, setiap kehidupan ada nilainya. Apa saja yang telah diciptakan oleh Tuhan bukanlah kesia-siaan.
*
Saya menghela napas. Apa yang telah saya lihat telah cukup membuka mata saya. Selama ini saya tidak pernah menghargai kehidupan yang telah diberikan kepada saya, dan terus-menerus menyia-nyiakan. Saya tahu ada yang salah dengan kehidupan saya …. Kemudian saya diam dan sekali lagi mencoba mengingat segalanya dan merenungkan apa yang telah terlewati. Ada seribu rasa sesal yang membuat dada menjadi sesak. Dan tiba-tiba penglihatan saya menjadi gelap, dan hanya gelap. Saya merasa tubuh saya begitu ringan, seperti dibawa terbang oleh kabut malam pekat ke dalam langit gelap tanpa cahaya bintang-bintang.
Lalu hening … tak ada suara yang terdengar. Mungkin saya telah mati karena saya tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
Buk. Buk. Buk!
Ada sesuatu yang menghajar-hajar dada saya dan rasanya begitu menyakitkan hingga terasa menembus ke jantung. Lalu beberapa detik kemudian, pukulan itu tiba-tiba berhenti dan kegelapan malam yang kelam tadi, seketika berganti dengan warna biru langit yang cerah, dan kemudian berganti kembali dengan warna merah yang semerah darah dalam sebuah ruang luas tanpa batas dan kemudian …. samar-samar lampu fluorensce yang putih menyilaukan di atas kepala menelusup melewati kelopak mata.
*
“Ernest … kamu sadar, Nak!”
“Emily, lihat … dia telah sadar. Doamu tadi telah di dengar Tuhan ….”
“Segala puji untuk Tuhan, Kau yang memberi keajaiban untuk putra kami ….”
Suara-suara berisik itu membangunkan saya, dan mampu mengungkit dua kelopak mata saya yang masih terasa berat. Sesaat saya mampu melihat ibu yang sedang menangis dengan air matanya yang tumpah sederas hujan di bulan September. Ayah mengguncang-guncang tubuh saya, seakan saya baru terbangun dari tidur setahun yang melelahkan.
Samar-samar, suara perempuan tua yang wajahnya teduh dan bercahaya tadi, membisikkan sesuatu: “Jangan sia-siakan hidup yang kedua ….”
Bekasi, 14 April 2020.Karna Jaya Tarigan, seorang penulis pemula. Bapak 2 anak, tinggal di pinggiran Bekasi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.