Kelas Menulis Loker Kata: Orelano Story (1)

Kelas Menulis Loker Kata: Orelano Story (1)

Kelas Menulis Loker Kata: Orelano Story (1)

 

Dyah Diputri

Jalanan tidak banyak berubah. Manusialah yang suka mengubah. Mengganti apa yang mudah menjadi sulit, menggeser prinsip dengan kebutuhan, dan menyulap fatamorgana menjadi kenyataan. Seperti Orelano yang mengagungkan tipu daya untuk mengelabuhi kejujuran.

Setelah dua puluh tahun berlalu, selepas ratusan purnama terlalui … ia pulang dari perantauan. Satu tangan sibuk menenteng tas, sedangkan tangan lain menutup separuh muka. Namun, percuma sudah! Tanpa menyorot ke kedalaman kejujuran matanya, keluarga bisa tahu apa yang terjadi pada Orelano—si bengal kecil yang lama tak pulang kampung.

“Maafkan, Leni, Bapak.” Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Orelano. Itu pun diungkapkan dengan tubuh bergetar, sambil tetap menutup muka dengan jemari lentiknya. Ia menangis, tetapi bapaknya telanjur murka. Sebuah dorongan kuat didapatkannya dari si bapak, mengakibatkan pantat Orelano mendarat sempurna di anak tangga teras. Beberapa detik kemudian, bunyi debam pintu memekakkan telinga. Kesempatan bicara itu tak lagi ada.

 

Dinni Alia

Guratan lelah tampak pada wajah seorang lelaki yang tengah terduduk lemas di taman kota. Dinginnya angin malam yang menusuk tulang seolah tak mengusik lelaki bernama Orelano itu agar segera beranjak. Ia bingung, sangat. Kenyataan pahit yang baru saja diterimanya membuat ia merasa ingin menyerah saja.

Setelah 20 tahun merantau di Ibu Kota untuk menafkahi keluarga, kini ia merasa semua seolah sia-sia. Ia sudah berusaha menjadi office boy yang baik dan tekun, tetapi mengapa atasannya memecatnya? Ia harus menghidupi keluarganya yang serba kekurangan.

Namun, mau bagaimana lagi. Orelano hanya dapat berpasrah menerima kabar menyedihkan itu. Kini ia tidak punya pilihan lagi, kecuali pulang dan mengabarkan hal ini kepada keluarganya di kampung.

 

Santi Astuti

Sudah 20 tahun Orelano tak memberi kabar. Ia sadar dan tahu pasti orangtuanya juga merindukannya, tapi bagaimana caranya ia hendak menghubungi? Sedangkan ia tak punya nomor telepon mereka. Jangankan nomor, mempunyai foto pun tidak, yang ia punya hanya ingatan.

Kini dalam kesendirian, Orelano menangis, tenggelam dalam kerinduan yang menyiksa dan rasa bersalah terhadap kedua orangtuanya. Ia merasa tak ada gunanya sukses bila belum bisa membahagiakan mereka. Tapi ia selalu berusaha untuk mencari cara agar mendapatkan kabar mereka. Alhamdulillah, sekarang dengan banyaknya media sosial, akhirnya ia bisa menemukan teman-teman sedesanya dan banyak bertanya kepada mereka tentang bagaimana keadaan kedua orangtuanya.

Sekarang, ia belum bisa pulang ke kampung halaman karena kontrak pekerjaan Dan ketika ia hendak pulang setelah selesai kontrak kerja, betapa terkejutnya ia mendapatkan kabar kedua orangtuanya telah tiada.

Orelano hancur sehancur-hancurnya, ia ingin melihat orangtuanya untuk yang terakhir kali, namun tak bisa. Ia hanya bisa menangis, menyesali semuanya.

 

Halimah Banani

Ini tahun kedua puluh setelah Orelano meninggalkan kampung halaman. Sebelum pergi merantau, ayahnya beberapa kali mengiangkan kalimat bahwa tak bakal sudi dia membiarkan Orelano menginjakkan kaki di rumahnya jika pemuda itu tak menjadi apa-apa. Sambil menaiki bus yang membawanya menuju kaki bukit—kampung halamannya—sudah lima kali Orelano menghela napas berat sambil menatap jam tangan bututnya.

Sejujurnya, sampai saat ini Orelano belum menjadi apa-apa. Apa-apa yang bagaimana? Orelano sendiri pun tak mengerti maksud kata tersebut. Mungkin ayahnya menginginkan Orelano menjadi orang kaya agar bisa balik modal setelah rela menjual berpetak-petak sawah demi membiayainya kuliah di Ibu Kota, atau mungkin ayahnya ingin Orelano menduduki kursi pemerintahan, yang intinya tetap bisa menghasilkan banyak uang, begitu pikirnya.

Namun, setelah menghabiskan dua puluh tahun di Ibu Kota, melakukan pekerjaan apa saja—menjadi kuli bangunan, penjual cangcimen, bahkan sampai nekat mencopet—nyatanya Orelano pulang dengan tidak menjadi apa-apa, bahkan tidak dengan menjadi manusia. Hanya saja Orelano merindukan kampung halaman, merindukan ibu dan ayahnya. Dia ingin pulang sebelum pergi ke surga.

 

Baca juga: Kelas Menulis Loker Kata: Orelano Story (2)

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply