Kelas Menulis Loker Kata: Leah Story (1)
Veronica Za
Leah kembali menapaki jalan yang sebelumnya ia lewati. Masih sama ternyata. Berpuluh pasang mata itu masih terus memandang dengan berbagai ekspresi yang sudah biasa baginya. Harusnya tadi ia jalan memutar saja daripada lagi-lagi merasa muak. Kenapa ia selalu diperlakukan berbeda dibandingkan yang lainnya?
Lima tahun lalu, saat ia baru masuk SD dan mendengar ocehan para ibu dengan ibunya, ia tak tahu apa yang mereka ributkan. Ibu hanya bilang agar ia tak mendengarkan mereka. Kini, ia sudah bukan lagi bocah berusia tujuh tahun. Saat obrolan para ibu yang sampai ke telinganya serupa sindiran, ia tahu jika yang Ibu menyembunyikan sesuatu. Entah apa, yang pasti sesampainya di rumah ia akan menuntut jawaban Ibu.
Titik Koma
“Sial! Begini lagi?!” Leah menatap tangan dan kakinya yang kembali lurus.
Leah baru saja menjatuhkan diri dari lantai lima apartemen rumahnya, suara tulangnya yang patah bahkan masih terdengar. Darah yang keluar dari kepalanya yang terbentur bahkan masih hangat mengalir. Seharusnya dia mati seketika itu juga. Akan tetapi, Leah masih hidup dan sadar, bahkan ketika rasa sakit menyengati sarafnya. Ada pergerakan aneh pada aliran darahnya, sesuatu yang terasa hangat mengalir dan secara ajaib menyembuhkan lukanya dalam sekejap saja.
Leah makin yakin ada yang berbeda dengan tubuhnya. Sejak kecil jika dia terluka, sang Mama seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Mama! Ya, Mama pasti bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya. Dia harus mendapatkan penjelasan yang masuk akal, mengapa dirinya berbeda dari teman-temannya, dari manusia lainnya? Tiba-tiba kewarasan Leah terusik, apa mungkin Leah beda jenis dengan manusia? Lalu, apa sebenarnya dirinya? Memikirkannya membuat Leah takut. Dia tidak mau semua mimpi buruknya menjadi kenyataan. Dengan langkah gemetar Leah kembali masuk ke gedung apartemennya, bajunya kotor oleh darah, untungnya ini tengah malam, tak ada yang melihatnya.
Cici Ramadhani
“Aku sangat menyukai kulitmu yang eksotis,” ucap Clara saat mereka sedang berjemur di tepi pantai.
Leah hanya tersenyum simpul. Bukan pertama kali teman-temannya mengatakan menyukai warna kulitnya. Leah telah curiga sejak dulu bahwa ia berbeda dari orang lain, kini ia telah dewasa dan ia akan meminta penjelasan seutuhnya kepada orangtuanya.
***
“Mom, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Leah ketika bersantai di ruang keluarga bersama ayah-ibunya.
“Apa itu, Sayang?” jawab ibunya sambil membelai lembut rambut Leah yang hitam legam.
Ragu Leah berucap, namun rasa curiga telah menghantuinya sejak lama. Leah mengembuskan napas pelan.
“Mengapa aku sama sekali tidak mirip Mommy and Daddy? Kulit, rambut, bahkan mata, tidak ada satu pun dari kalian yang kupunya. Bahkan aku tidak seperti teman-temanku kebanyakan.”
Ayah Leah yang sedari tadi asyik membaca koran kini menatap lekat putri kesayangannya.
Dede Aah Humairoh
Leah termangu di sudut ruangan. Lelehan darah yang mengalir dari dahinya dibiarkan begitu saja. Rambutnya semrawut. Luka lebam di beberapa bagian tubuh tak dirasakannya lagi. Dengan menahan isak tangis, ia menarik napas sedikit demi sedikit. Berharap rasa sedih dan sakit hilang bersama udara yang dibuangnya dari hidung.
Entah sudah berapa tahun penyiksaan ini dialaminya. Hanya padanya. Tak pada saudara lain. Padahal ia rela berhenti sekolah dari saat ia duduk di kelas 3 SD.
Leah telah curiga sejak dulu bahwa ia berbeda dari orang lain, kini ia telah dewasa dan ia akan meminta penjelasan seutuhnya kepada orangtuanya.
Leah berdiri dengan sedikit tertatih. Kamar penyiksaan itu ia tinggalkan. Mencari keberadaan ibunya yang telah puas mengoyak raga dan batinnya.
Bapaknya? Entah ke mana. Ia datang hanya saat butuh uang dari ibunya. Dan tentunya, setelah ia puas meyiksa Leah hingga babak belur.
“Mengapa sikap Ibu berbeda padaku? Apa salahku?”
Ibunya hanya tertawa sinis. Memandang Leah tak suka.
“Tanyakan saja pada bapakmu, dari rahim mana kamu berasal? Dari rahim perempuan seperti apa kamu berasal?”
Siti Nuraliyah
Di mana saja, dia selalu menjadi pusat perhatian. Leah telah curiga sejak dulu bahwa ia berbeda, bahkan dengan dua adik kandungnya. Di tempat keramaian seperti ini misalnya, banyak mata yang menatap kepadanya, beberapa menatapnya dengan seringai mengejek, sebagian menatapnya iba.
“Dasar kerdil!”
“Minggir kau, hitam legam!”
Lontaran kata seperti itu, tidak jarang dia dengar sejak di bangku sekolah dasar. Leah tidak pernah melawan, dia tahu diri. Sebab, jika melawan, tubuhnya yang kecil akan ditikam habis teman-temannya yang bertubuh tinggi. Tidak jarang, pulang sekolah dia menangis di pelukan ayahnya.
Kini dia telah dewasa dan dia akan meminta penjelasan seutuhnya kepada orangtuanya, mengenai selentingan tetangga tentang dirinya yang bukan lahir dari rahim ibunya. Namun terlambat, kini Leah hanya bisa tertunduk lesu di atas gundukan tanah merah dua pusara di depannya. Sebab, dia terlalu lena dengan kasih sayang yang diberikan mereka kepadanya, sama seperti yang diberikan mereka kepada kedua adiknya.
Sambil menyeka air mata, Leah bergumam, “Ayah … Ibu … mengapa aku berbeda? Sebenarnya aku ini anak siapa?”
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata