Kejutan Saat Senja
Oleh: Jemynarsyh
Editor: Inu Yana
Seperti biasa, saat mentari mulai menampakkan wujudnya dari arah timur, Nahwa sibuk menyiapkan bekal untuk sang suami. Setelah dua nila goreng, tumis kacang, dan nasi tertata rapi dalam rantang yang diletakkannya di meja, ia segera membuat segelas kopi dan mengisi air putih ke dalam botol hingga penuh.
“Bang, minum dulu,” titah Nahwa seraya melihat ke samping rumah, tempat lelaki berkaus oblong itu sibuk dengan kelotoknya. Nahwa meletakkan segelas minuman berwarna hitam itu di meja teras.
Awwan yang sedang menguras air di kelotok hanya menimpali dengan dehaman keras. Semalam hujan deras, dan dinding kelotok ada yang bocor sehingga air masuk lebih banyak membuat kelotok hampir karam. Untung saja Awwan segera menguras dan menambalnya, sehingga ia bisa berangkat kerja meski sudah siang.
Selesai memperbaiki kelotok, ia segera naik melalui undakan tangga pada jembatan yang terhubung dengan teras. Ia meminum kopi yang sudah dingin dan habis sekali teguk. Awwan menatap heran rumahnya yang tampak sepi. Tiap ruangan sudah ia datangi, tetapi sang istri belum juga terlihat batang hidungnya. Apakah Nahwa pergi keluar? batinnya.
Tanpa menunggu lama diambilnya bekal di atas meja sekaligus botol minum. Ia harus segera berangkat sebelum matahari kian merangkak ke atas. Dihidupkannya mesin kelotok menuju pasar. Hari ini, ia harus mengambil pesanan seng Juragan Galih di toko Amang Anang.
Penduduk pinggiran sungai situ rata-rata memiliki kelotok ataupun jukung. Meski warganya tak banyak, hanya sekitar lima puluh kepala keluarga, barisan rumah tertata rapi berjejer sepanjang sungai. Ada jembatan yang dijadikan sebagai jalan. Jadi, di sisi kanan dan kiri jembatan itu berbaris rumah penduduk kampung. Jika musim penghujan tiba, air akan naik. Karena itulah warga membuat rumah panggung untuk menghindari banjir.
Berjejer kelotok memenuhi pelabuhan, suara riuh penjaja dagangan kian menggema seiring dengan dimatikannya mesin kelotok. Setelah memastikan kelotok aman dan mengikatnya pada tiang, Awwan segera naik ke atas pelabuhan, menyapa tetangga yang berpapasan dan menuju toko di barisan paling ujung sebelum persimpangan untuk mengambil pesanan Juragan Galih.
Diusapnya peluh di dahi dengan handuk kecil yang melekat di pundak. Bajunya basah oleh keringat. Menjadi buruh angkut adalah pekerjaannya sejak muda dulu bersama temannya. Saat istirahat seperti ini, pandangannya menyusuri pasar juga pelabuhan yang tak pernah sepi. Seulas senyum terukir dari bibirnya kala kilasan masa lalu di mana ia pertama kalinya tertarik pada gadis berlesung pipi yang tersenyum kepadanya. Siapa sangka gadis berlesung pipi itu kini menjadi istrinya.
“Hayo! Mikir apa kamu? Senyum-senyum sendiri,” tanya Daris, teman sekampungnya yang juga sedang mengambil minyak solar pesanan ibunya. Lelaki berjanggut itu berjalan menghampiri Awwan dan duduk di sampingnya seraya menghisap lintingan tembakaunya dalam-dalam. Kepulan asap keluar dari hidung juga mulutnya tiap kali ia mengembuskan napas.
Awwan hanya melirik sekilas pada Daris. Buyar sudah lamunannya tentang pertemuan bersama sang istri. Diambilnya botol air di samping ia duduk dan meneguknya hingga tersisa sedikit.
“Wan, besok mau ikut enggak ngantar ikan ke Muara Pasar?” ajak Daris, di sela-sela kegiatan merokoknya.
“Bagiannya kayak biasa, ’kan?” tanya Awwan meminta kepastian upah kepada Daris.
Daris mengangguk, menepuk bahu Awwan. “Iya, kayak biasa, lumayan, ’kan? Cuman kita berdua,” ucapnya seraya menarik-turunkan alis.
Awwan tersenyum simpul menyetujui ajakan Daris. Dirasa istirahat telah cukup, mereka berpisah, menuju kelotok, kemudian pulang ke rumah masing-masing.
***
Semburat kuning menghiasi langit, angin berembus menggoyangkan dedaunan. Gelak tawa anak-anak terdengar dari balik jendela. Mereka berenang saling berkejaran satu sama lain. Tak peduli dengan jari-jari yang mulai mengeriput karena terlalu lama dalam air. Tiap kali terdengar suara kelotok mendekat, sekelompok anak itu naik melalui undakan tangga menuju jembatan, memasang kuda-kuda siap akan meloncat ketika kelotok telah melintas. Saat terdengar lagi suara kelotok mendekat, wajah mereka tampak girang dan kembali hendak naik ke atas jembatan. Akan tetapi, urung kala deru kelotok itu kian memelan dan dimatikan oleh sang pemilik, Awwan.
“Ayo, sudahi berenangnya,” tegur Awwan pada sekelompok bocah yang kini berenang dengan tangan memegangi bagian sisi kelotok.
“Iya, Kak, ini sudah selesai, kok,” jawab salah satu anak berbadan kurus.
Awwan hanya mengangguk. Setelah memastikan kelotoknya aman, ia segera meninggalkan para bocah itu dan pergi menuju rumah tempat ia pulang—di mana sang istri biasa menyambut kedatangannya dengan seulas senyum di bibir merona dan dua lesung pipi, membuat rasa lelah Awwan sedikit berkurang.
“Assalamualaikum, Nahwa,” ucap Awwan, seraya melangkah masuk ke rumah dan duduk di kursi yang ada di ruang keluarga.
Nahwa yang mendengar salam Awwan mempercepat langkah dan menghampiri sang suami. “Waalaikumsalam, Bang. Kok, sampai senja pulangnya?” tanya Nahwa sembari mencium tangan Awwan dan duduk di sampingnya.
“Maaf, tadi di pelabuhan ngomongin kerjaan dulu,” jawab Awwan, seraya mengusap kepala Nahwa. Pandangannya menelisik ketika rambut wanita di hadapannya tampak berbeda dari terakhir kali ia lihat. “Dek, potong rambut, ya?” Awwan memastikan.
Dengan seulas senyum, Nahwa mengangguk. “Bagaimana? Bagus enggak, Bang?”
Nahwa menatap lekat sang suami menanti jawaban, tetapi lelaki di hadapannya itu hanya diam mengamati Nahwa.
“Bang! Dijawab, dong, jangan dilihatin aja,” ucap Nahwa dengan wajah terlihat kesal.
Awwan hanya tersenyum melihat tingkah sang istri, sembari memegang tangan Nahwa ia berucap, “Bagus, Abang suka. Adek jadi tambah cantik.” Awwan mengedipkan mata.
Wanita dengan rambut sebahu yang dibiarkan tergerai itu menunduk mendengar perkataan sang suami, ada seulas senyum yang tertahan di bibir merah itu.
“Apaan, sih, gombal deh,” jawab Nahwa memandang segala arah, tak berani menatap sang suami. “Aku mau siapkan makan malam dulu, Abang mandi sana! Bau!” Nahwa segera beranjak dari kursi dan menuju ke dapur.
Awwan hanya menggeleng melihat tingkah wanitanya yang masih saja malu padahal usia pernikahan mereka sudah berjalan delapan belas bulan.
***
Wanita berperawakan mungil itu tampak sibuk menyiapkan makan malam. Ia sesekali bersenandung ria.
“Dek, besok Abang mau ke Muara Pasar dengan Daris antar pesanan ikan Haji Saleh,” ucap Awwan yang tampak lebih segar sehabis mandi dan duduk di meja makan membantu sang istri menyiapkan makan malam.
“Abang dijemput Daris atau pakai kelotok sendiri?” tanya Nahwa seraya menyodorkan piring yang sudah lengkap dengan nasi dan lauk pauknya kepada Awwan.
“Dijemput Daris biar enggak ribet, kan, searah juga.” Awwan menerima piring dari Nahwa. “Dek, belakangan ini kaki Abang sering kram kalau duduk kelamaan. Senin temenin abang ke puskesmas, ya,” lanjutnya.
“Besok langsung berobat aja, Bang. Enggak usah kerja dulu, aku takut nanti Abang kenapa-napa,” saran Nahwa. Wajahnya terlihat khawatir mendengar perkataan sang suami.
“Jangan khawatir gitu, ini cuma kram, kok. Eh, besok masakin Abang lodeh nangka ya, sama ikan bakar haruan.”
Nahwa mengernyitkan dahi. “Tumben, Abang, kan, enggak suka sayur lodeh nangka?”
“Abang lagi kepingin, sudah lama banget enggak makan sayur lodeh,” jawab Awwan yang hanya diangguki oleh Nahwa.
***
Nahwa sedang sibuk di dapur memasak sayur lodeh pesanan sang suami. Sembari menunggu sayur matang, ia bergegas mengumpulkan peralatan masak yang kotor, menumpuknya menjadi satu dan mencucinya. Ketika sedang menggosok piring dan akan membilasnya, piring itu terlepas dari pegangan dan pecah mengenai jarinya. Nahwa tertegun memandangi pecahan beling. Perasaannya berkecamuk, tak nyaman. Dilihatnya jam di dinding sudah pukul lima sore, matahari pun kian tenggelam, tetapi sang suami belum juga datang.
Mengabaikan perasaan tak nyaman itu, Nahwa berharap suaminya baik-baik saja. Ia pun melanjutkan kembali kegiatan mencuci dan memasak yang sempat tertunda.
“Assalamualaikum, Nahwa.” Terdengar panggilan dari luar diiringi dengan suara derit pintu yang terbuka. Sesosok wanita berusia senja yang wajahnya mirip dengannya berjalan tergopoh menghampiri Nahwa di dapur.
Nahwa memandang bingung sang ibu yang tiba-tiba datang dan memeluknya, lantas mengajak Nahwa ke ruang keluarga. Sesaat langkahnya terhenti, pandangannya menelisik para tamu. Ada Pak RT dan beberapa tokoh desa. Nahwa melirik sang ibu di sampingnya yang masih bungkam dengan sorot mata sendu.
“Nahwa, kelotok yang ditumpangi Awwan tabrakan. Mereka berupaya menyelamatkan diri dengan mencebur ke sungai. Daris selamat, tapi Awwan belum diketahui keberadaannya,” tutur Pak RT seraya menatap Nahwa yang terduduk dengan raut wajah mawas di depannya.
“A–a–apa?” Nahwa tergagap, memastikan kembali informasi yang baru saja ia dengar. Setelah hening sejenak ia melanjutkan, “Tidak mungkin, Bang Awwan bisa berenang, ia pasti selamat.”
Kabar yang diberikan Pak RT membuat dadanya terasa terpukul godam, sesak. Entah, apa lagi yang diucapkan Pak RT, Nahwa tidak dengar. Di telinganya terngiang ucapan Pak RT yang membuat tubuhnya kian lemas. Hanya isak tangis yang terdengar, ia meringkuk dalam pelukan sang ibu yang juga bergetar menahan isak. Nahwa tak siap, apa lagi bila harus kehilangan kekasih hatinya tiba-tiba dan tanpa pesan.[*]
Palangka Raya, ruang rindu, 30 Mei 2021
Jemynarsyh. Gadis kelahiran Kalimantan yang sedang belajar aksara.