Kejutan
Oleh: Rosna Deli
Mentari belum lagi menyapa kala Badrun dan istrinya sudah bersiap-siap dengan dandanan yang super rapi. Lelaki hitam manis itu mengenakan kemeja putih dengan celana kain hitam persis karyawan magang. Sementara, Soimah tampil menawan dengan gamis hijau toska hadiah dari salah satu calon wakil rakyat ketika kampanye dulu.
Senyum Badrun terus mengembang bak kerupuk yang sudah hampir masuk angin, tetapi dia tak peduli. Baginya hari ini adalah hari paling bersejarah dalam hidupnya.
Bagaimana tidak, sudah hampir empat tahun mereka tinggal di kampung Pelangi. Namun, tak pernah sekali pun namanya tertera pada penerima bantuan dari pemerintah. Padahal, ketua Kampung Pelangi adalah saudara jauh dari pihak bapaknya.
“Belum rezeki, Ndrun,” jawab Pak Kholis– ketua kampung–jika lelaki hitam manis itu bertanya.
Maka ketika beberapa minggu yang lalu, Pak Kholis menyampaikan kabar baik itu, Badrun menyambutnya dengan suka cita.
“Memang betul apa kata orang tua dulu, Dek,” ucapnya pada Soimah saat mereka menikmati ubi goreng sebelum berangkat. “Anak adalah pintu rezeki.”
Soimah mengangguk, membenarkan sambil mengelus perutnya yang kini telah berisi.
Badrun ingat betul, sejak Soimah dinyatakan hamil berbagai keberuntungan selalu menyapa kehidupan keluarga mereka.
Bulan pertama kehamilan, Badrun diterima bekerja sebagai sekuriti di sebuah perumahan elite, tak jauh dari Kampung Pelangi. Padahal, sudah lama dia mengajukan lamaran kepada pihak perumahan. Namun, baru ini disetujui.
“Kebetulan sekuriti lama sudah tua, sering sakit tulang, enggak tahan kalau kena angin malam. Jadi kamu kami terima dengan perjanjian, kamu selamanya masuk jam malam. Bagaimana?” tanya kepala perumahan kepada Badrun.
“Apa pun, Pak, asal kerja halal dan gajinya menjanjikan saya terima dengan ikhlas.”
Tentu berita ini disambut gembira oleh Soimah, karena dia sangat khawatir masa depan anaknya kelak jika Badrun tak memiliki pekerjaan tetap.
Bulan kedua, suami-istri ini diajak oleh persatuan arisan ibu-ibu perumahan elit untuk ikut famili gathering. Mereka menginap semalam di hotel berbintang dengan layanan prima. Ah, Badrun merasa naik level.
Bulan ketiga lebih berkesan lagi. Badrun yang dulu sering mengikuti jalan santai tak pernah merasakan nomor pesertanya dipanggil ke depan untuk mendapatkan dorpres. Kini, hal itu terjadi. Walaupun, yang didapat hanya sebuah handuk kecil.
Hingga tibalah bulan keempat. sebuah undangan sebagai peserta dalam rangka menyambut kedatangan pejabat ibu kota tiba. Hatinya dipenuhi bunga-bunga kepercayaan diri. Badrun merasa dia tak lagi dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
“Ini kan hanya sebagai peserta, Bang, Adek tak usah ikut, lah,” seru Soimah ketika diajak Badrun untuk turut menghadiri.
“Jangan pandang pesertanya, Dek, abang yakin kita akan dapat dorpres seperti bulan lalu. Semakin banyak kupon, maka semakin banyak kesempatan.”
Mendengar kata dorpres, Soimah pun setuju untuk mendampingi suaminya.
**
Bukan main ramainya balai kampung pagi ini. Masyarakat Kampung Pelangi tumpah ruah di halaman balai. Ada dua tenda ukuran besar yang telah di pasang serta kursi plastik di bawahnya.
Badrun sempat menghentikan langkah ketika baru sampai. Ternyata, tidak hanya dia yang diundang, tetapi hampir semua penduduk kampung datang.
“Lo, kok, berhenti, Bang?” tanya Soimah saat melihat suaminya terpaku. “Ayo masuk, biar dapat kursi. Adek dah capek.”
Badrun seolah tersadar lalu berjalan mendekati meja panitia yang telah ada.
“Silahkan tulis nama dan alamatnya dulu, Pak,” kata seorang perempuan muda penjaga meja.
“Untuk apa, Dek?” tanya Soimah kepada perempuan penjaga meja itu.
“Nanti nama kakak akan diundi dan memiliki kemungkinan untuk mendapatkan hadiah,” terang penjaga meja dengan senyum yang menawan
Badrun tersenyum, ternyata prediksinya tak meleset. Kemudian, sembari bersiul pelan, lelaki itu masuk dan bergabung dengan yang lain.
Halaman balai kampung telah disulap menjadi tempat pertemuan yang luar biasa. Badrun tak melepaskan pandangan dari panggung raksasa. Pengeras suara yang besar serta lampu warna-warni membuat lelaki itu berdiri membeku.
“Bang ini yang mau datang pejabat atau artis dangdut, ya?” tanya Soimah dengan keterkejutan yang sama.
Badrun menggeleng lalu menjawab,”Sepertinya, dua-duanya, Dek.”
Setelah acara kata sambutan yang tak ada habisnya usai, lalu tibalah saat yang dinantikan. Acara hiburan rakyat. Akan ada penampilan dari artis yang diundang dan tentu pembagian hadiah.
“Ahay, murah hati betul para pejabat sekarang, ya, Dek? Lihatlah hadiahnya, mulai dari kulkas dua pintu sampai yang tak berpintu.”
Riuh kata terdengar bagai sengatan lebah. Diiringi entakan musik dangdut, suasana pagi yang hangat menjadi lebih semarak. Setelah, kotak-kotak kue dibagikan lalu seorang pembawa acara tampil di atas panggung.
Badrun menyipitkan mata untuk memperjelas pandangan. Dia berpikir pembawa acara itu adalah perempuan penjaga meja tadi.
“Baiklah, Bapak ibu semuanya, sudah pada semangat!” serunya lantang lalu menyodorkan mik ke arah penonton.
“Sudah,” jawaban serentak penonton.
“Mau tambah semangat!”
Tepuk tangan bergemuruh menjawab pertanyaan dari pembawa acara.
“Baiklah, nomor yang saya sebutkan ini adalah yang beruntung pada sesi pertama. Silahkan cek kupon di tangan masing-masing.”
Tapi, jangan khawatir bagi yang belum terpanggil. Akan ada lima sesi lagi.”
Badrun tampak bersemangat, dia berdiri ke depan meninggalkan Soimah yang tengah asyik menikmati kue-kue di dalam kotak.
Ada tujuh nomor yang disebutkan, tetapi belum ada nomornya. Badrun merengsek kembali ke belakang lalu duduk kembali.
“Belum ada nomor kita, Dek,” lapornya pada Soimah.
Soimah hanya mengangguk sambil mengelap minyak di mulutnya.
Mata Badrun tak berkedip saat melihat Pak Kholis mendapatkan kulkas dua pintu sebagai hadiah dari kuis singkat yang diberikan pembawa acara.
“Aih, Pak Kholis itu selalu beruntung, ya, Dek.” Soimah hanya memandang sekilas ke arah panggung lalu melanjutkan acara makannya.
Sudah hampir dua jam acara hiburan itu berlangsung, dan sudah sampai pada sesi keempat. Namun, nama Badrun juga tak terpanggil.
“Sudahlah, Bang, tak mengapa, dapat makanan gratis saja, sudah syukur,” ujar Soimah lalu menunjukkan dua bungkus nasi yang telah dibagi-bagikan kembali oleh pihak panitia.
“Jangan menyerah, Dek, masih ada satu kesempatan lagi.” Badrun masih bersemangat lalu meneguk air mineral sampai kandas.
Setelah biduan usai menyanyikan lagu Masa Lalu, pembawa acara datang kembali dengan wajah yang lebih ceria.
“Saya yakin para penonton yang masih bertahan adalah yang masih setia dengan hadiah-hadiah ini, bukan?” seru pembawa acara lalu tertawa.
Tepuk tangan kembali bergema. Para penonton semakin tertarik untuk lebih mendekat. Terik mentari bahkan tak menyurutkan semangat mereka. Begitu juga dengan Badrun. Baginya, ini adalah kesempatan terakhir.
Badrun mengangguk, lalu mengedarkan pandangan ke arah depan. Hadiah yang tersisa hanya berupa kotak-kotak yang telah dibungkus dengan kertas warna. Sehingga, tak dapat diprediksi apa isinya.
“Nomor-nomor yang beruntung adalah ….”
Badrun menyesuaikan angka yang tertera di kupon dengan yang disebutkan oleh pembawa acara. Mulutnya komat-kamit sambil mengecek dua kupon miliknya.
“Saya panggil untuk terakhir kali, ya, jika tak ada nomor ini, akan diganti dengan nomor yang lain.”
10179 … 10179.”
Badrun melonjak kegirangan seraya berlari ke depan. Lalu dengan napas yang terengah-engah dia menyerahkan potongan kupon itu ke pembawa acara.
“Oke sudah lengkap, baik mari kita mulai.”
“Siapa yang dapat menjawab pertanyaan ini dengan cepat, dia yang berhak untuk menentukan kotak mana yang akan dibawa pulang.” Instruksi pembawa acara membuat Badrun bersiap-siap.
Dari keempat pertanyaan awal tak ada yang bisa dijawab Badrun. Semuanya bertanya mengenai ceramah yang disampaikan pejabat tadi. Tentang bagaimana menjaga lingkungan, mengurangi efek rumah kaca, juga tentang program yang akan dijalankan oleh pemerintah.
Badrun pasrah, itu semua di luar kemampuannya.
“Baiklah karena hanya tinggal dua orang lagi, siapa yang dapat menyebutkan nama ikan laut paling banyak dialah yang akan memilih hadiah dua terakhir.”
Dengan cepat Badrun mengacungkan tangan lalu menyebutkan semua jenis ikan yang diketahuinya.
“Wah, Bapak tahu aja nama-nama ikan. Silakan dipilih, Pak. Tetapi ingat tak boleh mengangkat kotak sebelum dijatuhkan pilihan,” ucap pembawa acara lalu memersilahkan Badrun memutuskan.
Hanya tinggal dua kotak lagi, satu ukuran besar yang satu lebih kecil. Badrun mondar-mondir, ragu untuk memilih.
“Yang kecil aja, Bang!” pekik Soimah dari jauh.
Badrun tak mendengar, yang dilihatnya hanya tangan Soimah yang melambai-lambai.
“Ini saja!”
Dengan semringah Badrun mengangkat kotak itu, tetapi kemudian dia terdiam. Mengapa kotak ini ringan sekali.
Setelah kembali ke tempat duduk, Badrun tak sabar untuk membuka isi kotak tersebut. Kemudian, seketika sinar di matanya meredup saat melihat isi dalam kotak.
“Tong sampah, Dek,” ucap Badrun pelan.
Mendengar isi hadiah itu Soimah cemberut, terlebih saat dilihatnya kotak kecil yang tersisa itu berisi tupperware model terbaru.
“Abang salah pilih, Dek.”
Dumai, 11 Januari 2022
Rosna Deli adalah seorang perempuan yang suka duduk-duduk di keramaian seraya memerhatikan orang lalu-lalang.