Kehilangan
Oleh: Rinanda Tesniana
Suara riuh dari luar menyadarkanku dari lamunan panjang.
“Yang ini bagus loh, Bu. Coba lihat, harganya murah, tapi kualitasnya gak murahan. Gak licin juga tapaknya. Nyaman dipakai, karena Ibu bisa lihat sendiri, kan, haknya ini wedges namanya, Bu. Begini modelnya, kaya jalan menurun.” Suara kak Linda menggema hingga ke dalam kamarku.
Pastilah beliau sedang menawarkan dagangannya di rumah Mbak Ika-tetangga sebelah rumahku.
Aku menyibak sedikit gorden ruang tamu, mengintip ke arah rumah Mbak Ika yang terasnya menyatu dengan teras rumahku. Seperti biasa, ketika Kak Linda datang, ibu-ibu yang tinggal di sekitar sini akan berkumpul.
Aku mengamati kerumunan itu dengan rasa iri. Betapa ingin aku berada di sana bersama mereka, ikut memilih dan mencoba dagangan Kak Linda.
Kak Linda adalah pedagang sepatu keliling, beliau menjual sepatu dengan harga murah, dan yang membuat warga di sini senang berbelanja dengannya, pembayaran bisa dicicil hingga sepuluh kali. Padahal harga sepatu yang ia jual paling mahal seratus ribu.
Aku termasuk salah satu langganannya dulu. Aku sangat suka mengoleksi sepatu, walaupun kata teman-teman kantor, sepatu itu terlihat murahan, aku tak bisa berhenti membeli pada Kak Linda.
Memang, sebelum memakainya, aku harus menjahit ulang semua sepatu yang aku beli dari dia ke tukang sol terlebih dahulu, barulah sepatu-sepatu itu kokoh dan bertahan hingga tahunan.
Harganya murah, bayarnya pun nyicil, membuat aku kalap. Kadang, aku membeli hingga lima pasang sekaligus.
“Ini cantik loh, Bu.” Kak Ika memegang sepatu berwarna cokelat dengan pita mungil di depannya.
Aku mengeluh dalam hati. Itu model sepatu kesukaanku. Kalau aku ada di sana, bisa dipastikan, aku yang pertama membeli sepatu itu. Modelnya manis dan simpel. Aku selalu menyukai sepatu dengan aksesoris pita.
“Wah, berapa itu, Lin?” tanya Bu Agus.
“Murah, Bu. Lima puluh aja.”
Bu Agus tampak antusias, dia meraih sepatu itu dari tangan Kak Ika, dan mencobanya. Kemudian, perempuan itu berjalan hingga ke teras rumahku.
Aku menghapus bulir bening yang jatuh begitu saja ke pipiku.
Andai saja aku tidak pernah bertemu Lilo ….
“Ngapain di situ?” Lilo muncul dari balik pintu, berjalan ke arahku dan melihat pemandangan di luar jendela. Dia menghela napas. Entah apa yang dia rasakan. Sesalkah? Atau dia merasa biasa saja. Menyalahkan kegalauanku yang seolah tak bisa menerima kenyataan.
“Yuk, sarapan. Sebentar lagi kamu harus kerja, kan?”
Aku hanya mengangguk. Enggan berkata apa pun saat ini.
***
Bekerja adalah pelarian terbaik bagiku. Bertemu dengan Bu Tina, bos baik hati, dan teman-teman senasib yang selalu bisa membuat hariku penuh gelak tawa. Di sini, aku tak pernah merasa berbeda, kami semua sama. Menertawakan kekurangan kami malah jadi semacam lelucon yang menyenangkan di sini.
Waktu berjalan terlalu cepat. Rasanya baru saja tiba di sini, jam dinding sudah menunjukkan pukul lima sore. Sebentar lagi, Lilo akan menjemputku.
Benar saja, tak lama dia datang. Tersenyum pada Bu Tina dan berbasa-basi dengan teman-temanku. Setelah itu, dia membantuku masuk ke dalam mobilnya.
“Kenapa kamu berubah sekarang?” tanyanya saat mobil baru saja berjalan.
Aku diam saja, membuang pandangan ke jendela. Sungguh, aku sedang mengumpat Tuhan dalam hati atas ketidakadilan yang aku rasakan.
“Dina, tolonglah jawab aku. Kamu marah?”
Aku selalu marah sejak hari itu, sejak aku mengenal dia untuk pertama kalinya.
Lilo menghentikan mobilnya di depan rumahku. Ibu tampak sedang mengobrol dengan Mbak Ika, tangannya memegang sepatu berwarna merah jambu. Saat melihat mobil Lilo berhenti di depan rumah, Ibu langsung meletakkan sepatu tersebut. Gerakannya terlihat sangat gegas.
Hatiku perih. Harusnya Ibu tidak perlu bersikap seperti itu. Biasa sajalah! Toh aku mengerti Ibu mungkin ingin membeli sepasang sepatu baru.
“Aku harus balik ke kantor lagi, Din. Lembur.”
Aku mendengkus. Informasi tak berguna. Untuk apa dia memberi tahu aku?
“Hei!” Lilo menahan tanganku yang hendak membuka pintu mobil. “Aku mau ngomong.”
“Apa?” tanyaku singkat.
“Jadi istriku, ya, Din.”
Tak ada debar apa pun dalam dada. Sungguh, omongan Lilo seperti embusan angin yang hanya sekadar singgah tanpa meninggalkan rasa apa-apa.
“Please,” rajuknya.
“Kamu harus bisa bedain, Lo. Mana rasa cinta, dan yang mana rasa iba.”
“Din … Dina!”
Aku menulikan telinga. Jemu dengan rasa iba Lilo yang selalu ditampakkannya.
“Dina, aku serius!” pekiknya lagi.
Ah, naif sekali dia, menyangka aku percaya dengan segala omong kosongnya. Jika semua rasa kasihan diartikan sebagai cinta, berapa banyak gadis yang akan dia nikahi?
Ibu menyambut kedatanganku, membantuku melangkah dengan satu kaki yang digantikan oleh sebuah tongkat.
“Berantem?” tanyanya.
Aku mengedikkan bahu. Tak peduli.
“Jangan gitu, Nak. Dia memang bersalah, tapi dia berniat baik dengan bertanggung jawab, kan?”
“Sudahlah, Bu. Aku bosan dengar omong kosong.”
“Ibu yakin Lilo gak omong kosong. Dia suka dengan kamu, walaupun ….” Ibu tak menyelesaikan ucapannya.
“Walaupun kakiku tinggal satu karena kesalahan dia? Jangan mimpi, Bu! Ini dunia nyata. Cerita negeri dongeng tentang pangeran tampan yang suka dengan putri buruk rupa itu gak ada. Gak akan pernah ada!” []
Koto Tangah, 26.11.2020
Rinanda Tesniana – Ambivert yang suka membaca.
Editor: Imas Hanifah N