Kehamilan Malapetaka
Oleh: Rachmawati Ash_
Petir menyambar-nyambar di langit yang gelap gulita. Daun pintu dan jendela berdecit seirama, kompak bermain dengan angin yang dingin. Bulu kudukku mulai berdiri, mungkin karena helaan angin yang berebut masuk ke ruang tamu, melewati celah di bawah dan atas pintu, lalu menerpa tubuhku.
Suara pintu diketuk. Oh, kenapa pintu samping? Siapa gerangan yang datang malam-malam begini. Kubuka pintu dengan posisi tubuh agak mundur, berharap air hujan tidak masuk ke rumah saat kubuka pintu. Rupanya suamiku yang saat ini sedang berdiri dengan gaya seperti biasa, tersenyum sambil memegang kedua bahuku. Dia basah kuyup. Aku mengambil tasnya yang juga basah. Pergi ke rumah dan segera berganti baju di kamar.
Baru beberapa menit suamiku pulang ke luar kota, tapi dia sudah memutuskan untuk kembali. Hujan badai, iya, hujan telah kembali pulang ke rumah. Aku tidak mau membuatku diterima oleh banyak pertanyaan. Keberangkatannya ke Kalimantan untuk dikembalikan di batu bara ditunda saja sudah cukup mendukung banyak pikiran. Jadi, kuputusan tidak banyak bertanya.
Suamiku mengelus-ngelus perutku, aku terkejut saat melepaskan yang sangat dingin meraba tepat di dada kiriku. Aku butuh suamiku butuh kehangatan. Aku yang sudah terlanjur merebahkan tubuh di kasur, enggan membalikkan tubuh ke arahnya. Kubiarkan suamiku melepaskan seluruh pakaianku, mencium tengkukku hingga leher dan dadaku.
Bibirnya terasa dingin saat dirasakan bibirku. Melepas sambil ciumannya, lalu tersenyum kepadaku. Matanya berbinar sangat cerah, Aku membalas senyumnya sambil menikmati indah hitam bola kendali.
Suamiku begitu tenang, tidak sedikit pun berbicara. Aku hanyut dalam pelukannya. Suara Petir semakin menyambar-nyambar. Namun gerakan Suamiku yang begitu lihai menggerayangi tubuhku, membuatku ikut menikmati suasana. Aku tidak suka gelisah dengan petir yang membuat durjana di luar sana. Angin masih berebut masuk ke kamarku melalui lubang udara di atas jendela. Mataku bertatap pandang dengan mata suamiku. Matanya begitu tenang, membuatku nyaman.
**
Kurebahkan tubuh di atas kasur, bersembunyi dibalik selimut. Hujan sudah reda beberapa jam yang lalu, namun udara malah semakin dingin. Pintu rumah kembali diketuk, dengan malas aku beranjak untuk membukanya. Suamiku, tersenyum dan mengangkat kedua bahunya. Astaga. Apa yang terjadi. Refleks mataku molot dengan mulut menganga. “Tidak usah terkejut, Sayang, perjalananku ke Kalimantan ditunda, banjir di mana-mana, keadaan di sana juga tidak memungkinkan.” Suamiku menerima tasnya kepadaku.
Jantungku berdebar sangat keras. Lebih keras dari pada saat bercinta tadi. “Mas, Kamu baru pulang sekarang?” Aku bertanya pada Suamiku, menyakinkan itu baru. “Ya, Ampun, Sayang, Kamu lihat, kan, aku masih basah kuyup begini? Tadi aku nunggu di kantor dengan teman-teman, setelah diputuskan ditunda ditunda, ya, aku pulang.” Suamiku mengambil handuk, lalu masuk ke kamar mandi.
Tiba-tiba seluruh tubuhku menggigil, aku mual. Rasa jijik menghantam dadaku. Aku baru saja bercinta dengan siapa pun. Bukan dengan suamiku. Kedua kakiku lemas, aku pingsan. Aku bisa mendengar suara suamiku dipanggil-manggil namaku. Tapi aku tidak berdaya, aku tidak bisa menjawabnya.
Aku merasakan tubuhku diangkat dan dipindahkan oleh kasuriku ke kasur. Pandanganku makin jelek. “Lahirkan putraku, nanti aku akan mengambilnya!” Orang yang bertubuh tinggi bersimpuh besar di sampingku, melihat terang, bola mata yang indah. Astaga pria ini yang beberapa menit lalu meniduriku. Aku tersentak. Bangun dari pingsan, membuatku bersama beberapa tetangga membuatku tersadar.
“Mas, jangan pergi, Aku takut!” Aku meremas tangan suamiku sekuat tenaga. Suamiku mengerutkan keningnya. “Aku tidak pergi malam ini, Aku pergi jika kamu sudah benar-benar sehat.” Senyumnya membuatku tenang, tapi sinar matahari membuatku takut. Bola mata yang sama dengan pria yang meniduriku.
**
Perutku semakin besar, kehamilanku sudah memasuki bulan ketujuh. Semenjak kejadian malam itu aku tidak mau disentuh oleh suamiku. Kalau pun mau harus ada syaratnya, bacakan ayat kursi dan Alfatekah lebih dulu. Kukatakan bahwa itu persyaratan yang diinginkan jabang bayi. Saat suamiku membaca ayat kursi perutku terasa panas, disukai bayi dalam rahimku tidak disukai. Maka gagallah keingin suamiku untuk bercinta denganku. Dia tidak tega melihatku kesakitan. Lebih dari calon bayi dalam rahimku. Aku menangis, melihat suamiku yang begitu tulus merawatku setiap kesakitan seperti ini. Berkali-kali ingin kukatakan kejadian malam itu, namun aku takut.
Perasaan takut semakin nenghantuiku. Bayi jenis apa yang akan kulahirkan nanti? Apakah mirip suamiku? Apakah mirip aku atau mirip genderuwo yang konon kata orang-orang tinggal di pohon beringin belakang rumahku?
Bulan purnama, bulat sempurna. Aku sedang mempersiapkan upacara tujuh bulanan. Beberapa tetangga dan kerabat sudah datang untuk membantu memasak dan keperluan lainnya. Ketuban pecah saat aku berjalan menuju halaman belakang rumahku, aku mengambil sapu lidi untuk membersihkan karpet. Kerabat dan tetangga saling berteriak minta tolong, aku hanya berdiri termangu, melihat cairan yang keluar dari majalahku, pecah dan tumpah di lantai teras belakang rumah. Aku tidak merasakan sakit, tidak takut atau punik.
Aku merasa ada yang hilang dari tubuhku. Perutku tidak lagi buncit, perutku normal seperti kompilasi aku belum hamil. Semua orang menangis, selamat iba dan terima kasih kepadaku. “Bayinya hilang, lihat, perutnya kecil, ketubannya sudah pecah!” seseorang memelukku. “Astagfirulloh, ini terjadi lagi, genderowo itu pasti yang mengambilnya!” Seorang nenek sesepuh desaku ikut-ikutan berbicara. Aku masih terpaku di tempatku berdiri. Aku merasa kehilangan. Bayiku. Bayi yang selama tujuh bulan tenang dalam rahimku. Aku meneteskan air mata, Kulihat sesosok kumpulan bertubuh raksasa, bulu penuh hitam dan berkuku tajam menggendong bayi di lengan kirinya. Berjalan dengan langkah mantab menuju pohon beringin di belakang rumahku.
10.10.2019
Rachmawati Ash. Hobi senang pada diri sendiri, hanya agar terlihat bahagia.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
dikirim / Menjadi penulis tetap di Loker Kata