Kedatangan yang Keempat
Oleh: Leeyaa
Ini adalah kedatangannya yang keempat setelah sekitar dua bulan ia tidak muncul. Namun, kali ini perempuan itu datang hanya berdua dengan anaknya yang masih balita. Ia beberapa kali mengelap peluh yang mengalir di pelipisnya, dan seperti memaksakan diri untuk tersenyum, meski dengan tatapan yang lebih sering ke arah lantai. Ia mengenakan jaket parasut yang telah pudar warnanya, begitu juga dengan balita dalam gendongannya yang mengenakan jaket berbahan kaus yang cukup tebal, namun tampak kumal.
Awalnya, aku enggan menerimanya masuk ke rumah, karena secara insting aku sudah paham maksud kedatangannya. Namun, melihat balita yang rewel di gendongannya—karena mungkin kegerahan—mau tak mau aku membuka pintu lebih lebar agar mereka masuk. Kunyalakan kipas angin agar si balita merasa lebih segar. Panas matahari memang sedang garang di luar sana, meski Asar telah tiba. Dan tampaknya panas itu juga menjalar di dadaku yang mulai merasakan gelenyar tak nyaman.
“Maaf, Bu, mengganggu,” katanya sambil melonggarkan gendongannya, lalu duduk berhadapan denganku.
“Dari mana, Mbak? Kok sendirian?” tanyaku yang kudengarkan sendiri suaraku bernada basa-basi.
“Dari rumah, Bu. Iya, ayahnya masih di Semarang.” Ia berbicara tanpa menatapku.
Aku ingat, sekitar dua bulan lalu suaminya mengetuk pintu rumahku. Ia datang pada siang yang meradang, dengan wajah merah padam dan peluh bercucuran, dengan mengendarai motor bututnya. Itu adalah kedatangannya yang ketiga, dan pada saat itu pun sudah bisa kuraba apa maksudnya, tetapi aku berusaha menekan segala egoku.
“Ibu saya sakit, Bu. Sekarang mau dioperasi di Kariyadi, Semarang. Saya nggak ada ongkos untuk ke sana. Bantu saya, Bu, berapa saja, seikhlasnya.” Lelaki kurus itu menunduk, dan aku menghela napas karena merasa tebakanku benar.
Aku bukannya tidak mau membantunya, tetapi kondisiku yang juga rapuh membuatku harus berpikir lebih kritis. Anak bungsuku sakit dan membutuhkan dana yang tak sedikit.
Sementara, seandainya aku butuh bantuan biaya saat ini, aku tak tahu mau lari ke mana. Dana di tanganku saat ini sangat terbatas. Namun, melihatnya mengiba, empatiku menggeliat. Akhirnya kuulurkan lembaran merah padanya, dan ia tersenyum semringah. Sejujurnya ada ganjalan di dadaku yang berbicara tentang keiklhlasan, karena aku merasa sedang dimanfaatkan.
Perkenalanku dengan mereka bukan tanpa sengaja. Siang itu, sekitar empat atau lima bulan yang lalu, mereka sampai di gerbang rumah dengan motor butut yang asapnya memenuhi jalanan.
“Permisi, Bu. Saya mau tanya, Bu. Apa ada ponsel-ponsel rusak atau mati total? Boleh saya beli, Bu. Saya ada pelatihan di BLK, tapi butuh ponsel rusak untuk diotak-atik. Tapi, saya hanya mampu beli segini.” Ia menunjukkan uang dua puluh ribuan.
Melihat semangatnya, pun melihat ketiga wajah yang kepanasan itu, aku menyerahkan tablet anakku yang mati total, dengan LCD yang telah pecah. “Gak usah dibeli, Mas. Uangnya buat beli es teh saja,” kataku dengan keikhlasan penuh. Mereka mengucapkan terima kasih sampai menunduk-nunduk.
Namun, dua minggu kemudian, mereka telah tiba di depan rumahku lagi. Ini kedatangannya yang kedua. Si suami, dengan wajah mengiba menceritakan kesulitannya mencari kerja, terancam terusir dari kontrakan, dan kebingungan mau bagaimana. Ia telah mengamen, tapi hasilnya tak mampu menghidupi anak dan istrinya. Kulihat sang istri hanya menunduk sambil menenangkan anaknya yang mulai rewel. Intinya, mereka butuh uluran tangan.
Saat itu aku baru saja pulang dari rumah sakit setelah kemoterapi anak bungsuku yang leukimia. Dan anakku pun masih tergolek lemah di kamar. Namun, menghadapi mereka yang mengiba, aku tidak tahan berlama-lama. Akhirnya aku menyodorkan satu lembaran merah dengan doa yang terselip di dadaku: semoga apa yang kulakukan akan kembali padaku, entah dengan cara apa.
Apakah aku ikhlas? Aku juga tidak tahu.
Namun, kedatangannya yang keempat ini, entah kenapa terasa mulai mengganggu. Mungkin empatiku yang mulai pudar, atau karena kondisi psikisku yang sedang berduka setelah kehilangan anakku. Mungkin perasaanku sedang menuntut empati juga. Hei, bukan hanya kamu yang sedang butuh dikasihani, aku juga butuh! Namun, itu tak mungkin kukatakan, bukan?
Dan perempuan itu memang mengutarakan maksud seperti yang sudah-sudah. “Saya mau menyusul suami saya ke Semarang, Bu. Tapi saya nggak ada ongkos. Mohon seikhlasnya.”
Aku menghela napas menahan kesal. “Mbak ke sini berdua saja? Naik apa?” Seingatku rumah kontrakan mereka sekitar empat kilo dari rumahku.
“Berdua saja sama si kecil, Bu. Jalan kaki tadi.”
Spontan, aku mengernyit. Jalan kaki empat kilo dengan mengenakan jaket tebal. Apakah wajar? Aku menghela napas sekali lagi, dan merasa yakin bahwa aku tak ikhlas kali ini. Namun, dari pada banyak berprasangka, kuulurkan selembar uang lima puluhan padanya dengan harapan ia segera pulang, dan aku tak perlu menumpuk rasa kesal. Ia pun berpamitan.
Malam harinya, aku ke warung makan membeli nasi goreng. Suasana duka masih membuatku malas memasak, namun anak sulungku tetap butuh perhatian. Karena itu, aku memilih membeli masakan jadi dari pada harus berkutat di dapur. Aku duduk di dekat beberapa orang yang juga sedang menunggu pesanan sambil meramban internet.
Setelah nasi gorengku selesai, aku melakukan pembayaran di kasir. Saat itu, tanpa sengaja mataku berserobok dengan perempuan dan lelaki yang sedang berbincang di pojok ruangan. Mereka tampaknya sedang asyik menikmati makanan sambil bercanda. Namun sepertinya, karena menyadari keberadaanku yang tiba-tiba, mereka segera membuang muka dan melanjutkan makan tanpa bercakap-cakap lagi.
Sekali lagi, aku hanya menghela napas dan menyelipkan doa: semoga kedatangan mereka hari ini adalah yang terakhir kali.
Leeyaa, perempuan yang bermimpi menjadi penulis.
Editor: Syifa Aimbine