Kedatangan Mazuki
Oleh : Ning Kurniati
Ia sudah melihat kematian sebanyak 49 kali. Kurang satu lagi, ucapnya tempo dulu. Dan sejauh itu, ia sudah merasa menghabiskan sebagian waktunya hanya untuk menghitung jumlah kematian tersebut. Tetapi itu hanyalah perasaan ketika ia jenuh saja. Pada dasarnya ia menyukai melihat kematian dan bertanya-tanya bagaimana rasanya mati. Apakah tercekat dan mata akan memandang ke atas? Seperti tulang yang dipaksa lepas dari otot yang menyelubunginya atau justru lembut seperti jatuhnya helai bunga dari tangkai?
Namanya Mazuki. Seorang lelaki dengan badan yang kekar, besar, dan tinggi. Bila dari namanya orang-orang akan mengatakan ia seorang keturunan Jepang, mereka salah. Rupa Mazuki lebih mirip keturunan India. Hidungnya mancung dan besar.
Sehari-hari ia bekerja menggarap ladang orang di dusun kami. Tenaganya yang besar dan sifat rajin yang dimilikinya membuat orang-orang di dusun kami memercayakan ladang-ladangnya, termasuk orangtuaku. Padahal suami-suami mereka masih bisa mengerjakan ladang-ladang itu, hanya saja dengan alasan agar hasil yang diperoleh maksimal, maka mereka meminta lelakinya untuk menyerahkan sebagian ladang untuk Mazuki. Alasan palsu. Diam-diam di belakang suami, mereka memperhatikan Mazuki seolah laki-laki itu adalah lelakinya.
Mazuki memang beruntung, pikirku. Ia memperistri perempuan tercantik di dusun kami. Sebenarnya perempuan itu juga pernah kutaksir, tapi sayang di sela-sela aku menyiapkan uang mahar untuknya sesuai adat kami, ia menerima pinangan Mazuki. Mazuki datang entah dari mana dan melamarnya dengan 3 cincin senilai 3 gram, 3 kalung senilai 6 gram, 3 gelang senilai 9 gram. Dan tentu saja dengan uang mahar yang tak mungkin bisa kujangkau, 39 juta waktu itu. Aku benar-benar kalah sebagai lelaki.
Mazuki dan istrinya hidup bahagia setelahnya, layaknya dalam dongeng seorang putri yang dipersunting pangeran. Begitulah sampai sebelum Mazuki menghilang entah ke mana. Bila dulu Mazuki muncul entah dari mana, maka ia menghilang entah ke mana. Mungkin ia pergi melihat kematian yang kelima puluh kali. Meski aku memiliki dugaan tersebut, tak akan aku katakan pada siapa pun termasuk istrinya. Pagi, siang, sore, malam, tak henti-henti orang-orang memukul gong, membakar kemenyan untuk memanggil Mazuki pulang. Menurut para tetua di dusun kami, Mazuki hilang disembunyikan setan. Sontak aku tertawa ketika mendengarnya. Sungguh hebat setan itu mampu menyembunyikan Mazuki yang tinggi besar dan kekar. Jangan-jangan setan menganggap Mazuki temannya. Kulit laki-laki itu kan hitam legam dengan muka yang dipenuhi bulu-bulu. Kuakui kulitku juga hitam, tetapi setidaknya tidak kubiarkan bulu-bulu menyelubungi setengah rupaku. Aku terpingkal-pingkal di balai-balai mengingat laki-laki itu.
Orang-orang mencurigaiku. Mereka bilang akulah yang menyembunyikan Mazuki. Maka benarlah pepatah warisan nenekku, terkadang orang-orang berpikir tidak pakai otak tetapi pakai dengkul. Masa orang sekecil aku, yang tingginya hanya sampai susu Mazuki, yang tenaganya hanya mampu menggarap ladang sendiri, bisa menyembunyikan orang sejenis Mazuki. Tuhan, fitnah macam apa itu? Dulu Setan yang dituduh sekarang malah aku. Salahku apa? Tidak adakah dari mereka yang tahu bahwa Mazuki menyukai melihat kematian dan barangkali ia ingin merasakan kematian itu dengan sendirinya.
Seminggu pertama Mazuki dicari, seminggu setelahnya aku difitnah menyembunyikan. Dan pada minggu ketiga orang-orang mulai melupakannya. Mereka mulai kembali ke ladang masing-masing. Hanya beberapa orang saja yang tetap melakukan pencarian. Awalnya masih berjumlah lima belas orang, lalu berkurang dan terus berkurang hingga hanya para tetua saja yang bergerak pada waktu-waktu tertentu. Ketika sore hari menjelang sampai matahari tenggelam dan ketika subuh sampai matahari sepenuhnya terbit.
Mazuki sudah dilupakan. Ketika menghilangnya sampai pada hitungan kelima puluh, para tetua mengumumkan untuk menghentikan pencarian. Tak ada hasil, ungkap mereka. Kita sudah berusaha. Maka mulailah para pemuda saling bersiar kabar perihal kemunculan Mazuki di dusun kami yang tak pernah lagi diungkit-ungkit setelah pernikahannya. Ada yang bilang Mazuki muncul dari seberang sungai. Ada juga yang bilang Mazuki muncul dari bukit di sebelah timur dusun kami. Elang, pemuda yang kesehariannya lebih banyak duduk dan berjalan-jalan ketimbang bekerja, mengganggap itu semua adalah karangan. Katanya, ialah orang satu-satunya di dusun kami yang tahu bagaimana Mazuki muncul.
Ketika purnama kesembilan tahun itu. Bulan memancarkan sinar tidak dengan warna putih, melainkan biru dengan pendar-pendar yang menyilaukan mata. Katanya, matanya memanas seperti terciprat cabai, pedis dan panas. Kemudian tatkala ia selesai mengusap-usap matanya tahu-tahu Mazuki sudah ada di hadapannya dengan wajah yang kebingungan. Cerita yang lebih tidak masuk akal, pikirku. Aku meninggalkan pembicaraan itu. Memangnya Elang pernah memasak seperti perempuan sampai tahu rasanya kecipratan cabai.
Karena tak ada lagi kabar tentang Mazuki dan kurasa ia benar-benar menghilang ditelan waktu. Mungkin mati di suatu tempat. Aku kembali mendekati perempuan yang direbutnya dariku. Sebenarnya pada istrinya itu aku tidak merasa menyukainya lagi seperti dulu. Melihatnya berkali-kali dengan dua orang balita dan satu bayi yang masih dalam gendongan membuatku kasihan. Kecantikannya memang tak seperti dulu lagi, namun bukan itu penyebabnya ia biasa-biasa saja di mataku. Aku rasa karena ia lebih memilih Mazuki ketibang menungguku. Aku rasa ada dendam dalam dadaku dan karena itu aku mendekatinya. Iya, aku rasa begitu.
Tak sulit untuk mendapatkannya. Ia menerimaku tanpa syarat yang menyulitkan seperti yang pernah dikatakannya dahulu. Pesta yang seadanya pun disiapkan. Meski ia menerimaku, tetapi di dalam matanya itu masih kulihat kelebatan Mazuki di sana. Mazuki, Mazuki. Laki-laki itu sebentar-sebentar tersenyum mengejek, sinis, sebentar-sebentar mengakak. Hal yang sekali pun tak pernah kulihat dalam pertemuan-pertemuan kami. Ia seakan mengatakan aku tetaplah aku seperti yang lalu.
Sepuluh hari sebelum hari pernikahan kami, kutemui istrinya itu yang sebentar lagi menjadi istriku. Ia keberatan, tatapi sekali saja ingin kupastikan lagi untuk mengawininya. Ia terlihat muram, tidak seperti orang yang khawatir perihal perkawinan kami, apalagi bahagia. Semakin lama kupandangi semakin kelebatan Mazuki yang sering terlihat, bukan lagi perempuan dengan tiga orang anak.
“Aku mau membatalkan.”
“Batal?”
“Iya, batal.”
“Kenapa?”
“Karena Mazuki datang?”
“Di mana?”
“Di depan mataku.” (*)
Ning Kurniati, perempuan biasa dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat disapa melalui link: bit.ly/AkunNing
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata