Ke Mana Perginya Para Bintang?

Ke Mana Perginya Para Bintang?

Ke Mana Perginya Para Bintang?
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Tantangan Lokit 8 (mimpi)

Bintang-bintang mulai lesap dari langit kami. Berbeda dengan puluhan tahun silam, cakrawala malam tidak lagi berpendar mengasyikkan—paling-paling cuma hampa, persis seperti kau melihat perpustakaan yang makin berkurang pengunjungnya dari tahun ke tahun. Orang-orang mulai bertanya-tanya, menyusun hipotesis, menyelidiki, mengkaji, menyimpulkan. Beberapa mengatakan anak-anak telah membandel dan tidak lagi menggantungkan mimpi mereka di langit, menuruti nasihat para leluhur. Ada lagi yang berpendapat bintang-bintang tersebut telah dicuri oleh sosok bernama “Pencuri Mimpi”. Kendati hipotesis tersebut merebak dan beberapa gerakan antisipasi dilakukan, realitas tetaplah realitas: para bintang telah bosan mengisi langit malam kami.

Pertama mendengar sebutan “Pencuri Mimpi”, aku langsung mendapat gambaran seseorang yang amat tercela serta dapat melakukan apa saja agar satu-dua bintang di cakrawala malam jatuh, rontok, bahkan hilang pendarnya. Dahulu, aku membayangkan ia serupa sosok nenek lampir yang kerap diceritakan menjelang tidur. Akan tetapi, lambat laun aku menyadari bahwa pencuri-pencuri itu telah mengganti wajahnya sedemikian rupawan sampai-sampai tidak ada yang menyadari tabiat buruknya.

Pencuri itu menjelma menjadi seorang munafik yang suka menjadikan aib kawannya sebagai guyonan; seorang pengajar yang terus saja mencekoki muridnya dengan doktrin matematika;  bahkan sebuah sistem yang menitah burung untuk menyelam alih-alih terbang di dirgantara. Mereka terus saja berkeliaran bebas, tersenyum, bahkan tidak jarang tertawa. Tidak sadar dirinya seorang pencuri, peluruh bintang-bintang—seorang terdakwa.

Sejak menyadari hal tersebut, aku bertekad untuk menghukum mereka—mereka yang bersalah, yang egois, yang telah meluruhkan bintang dari langit malam kami.

Namun, aku tidak menyangka pencuri tersebut mampu menjelma menjadi pemilik mata bercahaya pun tubuh renta yang punya ruang khusus, tempat kudus, dalam relung dadaku.

“Nak, semoga kamu bisa masuk sekolah kedinasan, ya … biar masa depanmu terjamin. Juga, biar ngeringanin Bapak sama Ibu.”

***

Aku ingat betul bagaimana kesunyian itu bermula—kapan aku menulis mimpi, menggantung bintangku, secara diam-diam dari balik birai jendela. Itu bermula ketika ditanyai perihal cita-cita serta jurusan kuliah dan aku menjawab, “Aku ingin ambil jurusan Soshum, Pak, Bu.”

Para Pencuri Mimpi itu seketika bergeming. Mereka berpandangan, barangkali mengingat seberapa keras membajak sawah pun membuat kue sambil membayangkan aku duduk anteng di salah satu sekolah kedinasan negeri kami. Mungkin, mengingat pula seberapa sering berdiri di ambang pintu, lantas lamat-lamat mendekatiku yang mafhum belajar, menceritakan keinginan mereka melihatku sukses di masa depan, “Kalau kamu masuk kedinasan, semua bakal ditanggung negara. Masa depanmu juga terjamin. Kalau sudah pensiun, tetap dapat gaji dari negara. Kamu tidak perlu hidup susah.”

Selanjutnya, aku melihat sepasang pendar cahaya itu meredup. Mereka mengucapkan beberapa kalimat perihal keyakinanku untuk mengambil jalan terjal—probabilitas kegagalan di masa depan—serta angkatan kerja yang tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja itu sendiri. “Orang-orang kuliah untuk mendapatkan kerja, tetapi banyak dari mereka gagal dan jadi pengangguran. Dengan masuk kedinasan, kamu jadi punya jaminan. Kamu belajar untuk bekerja.”

Aku mendengarkannya khidmat. Teriris juga. Namun, kuteguhkan tekad bahwa aku ingin masuk Soshum agar dapat menghukum para Pencuri Mimpi lain yang dengan mudahnya merenggut bintang-bintang di langit sana. Ada kilat amarah di mata renta itu. Ada sebersit kekecewaan ketika mereka berbalik, meninggalkanku di balik pintu.

Lalu, tiba-tiba saja hening dan pandangan itu menggantung di mata mereka. Mereka masih membajak sawah serta berjualan kue. Akan tetapi, mereka bersikap pasif tiap aku meminta pertimbangan sebelum mengikuti lomba. Mereka bergeming tiap aku pulang membawa piala dari salah satu universitas. Dari lakonnya, pandangannya, aku tahu mereka berusaha berkata, “Tidak bisakah kamu berhenti, Anna? Tidak tahukah kamu bahwa kami telah lelah dengan semua ini?”

Aku menutup mata. Bila ada beberapa kawan yang mempermasalahkan kerenggangan dalam keluargaku, aku hanya tertawa, membalas itu bukanlah masalah besar. Sebab, kami masih makan malam bersama. Kami masih pergi ke masjid tiap subuh, magrib, dan isya. Kami masih hidup seatap. Jadi, itu bukanlah masalah.

Selama bintangku ada di langit malam, itu bukan masala, itu yang kupikirkan.

Akan tetapi, beberapa hari sebelum akhir perjuanganku di bangku SMA, sehari sebelum Ujian Nasional, aku menangis dalam salat tahajudku. Berdoa agar Dia dapat memberikan yang terbaik … untukku dan Pencuri Mimpi itu.

Lalu, pengumuman siswa yang lolos SNMPTN jurusan Soshum di universitas itu keluar. Aku melonjak kegirangan. Mereka geming di ambang pintu.

Esoknya, kesehatan pria yang selama bertahun-tahun berkawan dengan matahari itu memburuk.

***

Takdir dan waktu telah bersekongkol membuat sebuah momentum paling tepat agar manusia dapat memilih. Memilih pilihan terbaik di antara dua pilihan terburuk. Saat waktu itu datang, aku cuma memandang langit malam dari balik birai jendela. Kuhitung dengan cermat, mendapati jumlahnya telah berkurang sebanyak dua puluh lima. Lantas, aku pun bertanya-tanya: Mengapa bintang-bintang itu berkurang? Apakah itu karena banyak orang gagal di negeri kami? Ataukah karena anak-anak telah berhenti bermimpi? Atau karena alasan lain?

Di kamar pasien kelas tiga, aku melihat seseorang yang terbaring tidak berdaya karena penyakit ginjal dengan wanita bertangan penuh goresan di sampingnya. Wajah mereka sama-sama sendu. Nelangsa. Kendati tidak mengatakan banyak hal, aku tahu mereka berusaha berbicara, “Ibu tidak punya uang. Biaya pengobatan bapakmu membengkak. Kalau kamu menyanggupi kesempatan itu dan mesti membayar uang gedung, haruskah kita menjual rumah dan tanah garapan Bapak?”

Aku menghela napas, mendekati keduanya. “Pak, Bu, doakan, ya. Aku mau coba di Politeknik Imigrasi. Doakan supaya lancar dan dapat hasil terbaik.”

Raut wajah Ibu—Pencuri Mimpi itu—tidak dapat didefinisikan. Akan tetapi, aku tahu ia senang.

***

Mengapa … bintang-bintang mulai berkurang jumlahnya?

Seorang kawanku, Sephia, pernah berpendapat, “Itu karena orangtua memaksakan cita-cita tanpa melihat potensi anak mereka.” Ia mengatakannya sambil meminum jus alpukat. “Bayangkan ketika kau sangat suka merancang bangunan dan disuruh masuk kedokteran padahal tidak tahu apa-apa tentang biologi. Di masa depan, saat kau gagal, orang-orang menyebutmu pecundang. Padahal, itu adalah hal wajar. Coba kalau orangtuamu mengizinkanmu jadi arsitek; itu lain cerita lagi, ‘kan?”

Sephia selalu yakin dan berani mengambil risiko. Untuk masuk jurusan kedokteran yang ia inginkan, ia memilih untuk bolos selama tiga hari seminggu agar dapat belajar dengan tenang di rumah. Dia memoles bintangnya sedemikian rupa agar menetap di langit sana. Mengendap. Syukur-syukur, bersinar lebih terang ketimbang bintang-bintang lain.

“Karena itu, yakinlah pada mimpimu … apa pun yang terjadi.”

Dulu, aku mengamini perkataannya. Namun, sekarang, aku cuma bisa mengingat semua mimpiku sambil memejamkan mata.

Hari itu, pengumuman peserta yang lolos masuk Politeknik Imigrasi. Hari itu, kedua orangtuaku tersenyum sampai meneteskan air mata. Sedangkan, aku membatu. Tidak tahu mesti bereaksi apa.

***

Manusia menginvestasikan berton-ton perasaan serta kesabaran untuk mencapai taraf ikhlas. Tidak banyak yang kuketahui tentang konsep macam itu. Aku sendiri masih tidak percaya dengan sinting merelakan bintangku redup. Pada akhirnya.

Ketika Takdir memaksaku untuk memilih, beberapa kawan telah menyarangkan pandangan sinis. Kata mereka, “Dapat tiket emas ke universitas bergengsi, tetapi dibuang kedinasan. Kalau begitu, mestinya relakan saja sejak awal, jangan jadi serakah.” Padahal, mereka tidak tahu seberapa besar keinginanku untuk masuk dan menjadi mahasiswa di sana.

“Jangan dengarkan. Orang-orang selalu begitu. Mereka belum memahami bahwa tiap orang punya alasan. Punya keadaan yang berbeda.” Sephia datang ke rumahku. Mengucapkan selamat. Mendengarkan sekaligus memberi saran.

Sedangkan, aku tertegun di hadapannya. Beberapa hari lalu, aku mendengar ia gagal masuk SNMPTN—ia juga gagal lewat jalur SBMPTN—setelah berjuang habis-habisan melebihi teman-temannya. Melepas semua egonya, semua rencana masa SMA-nya, ia dengan berani memilih jurusan lain di universitas swasta. Dan, kini ia justru datang untuk menghiburku, berkata bahwa aku hebat karena berhasil membuat keputusan seperti itu.

Aku menghela napas. “Dengar, Seph. Aku tidak seberapa dibanding denganmu. Kau seseorang yang luar biasa hebat.”

Kuyakini bahwa pengorbananku tidak seberapa dibanding pilihan ekstrem yang Sephia lakukan. Akan tetapi, manusia memang membutuhkan lebih banyak waktu.

***

Kadang kala, aku tergelitik untuk membuka laman media sosial kampus itu, membayangkan jas hijau keabu-abuan yang bakal kukenakan bila betulan ada di sana. Kadang kala, aku membuka media sosialku sendiri dan membaca beberapa umpatan tentang aku yang membuang si Favorit untuk jadi peliharaan negara. Kadang kala, aku menyesal, lalu seketika berpikir untuk menjadi orang egois. Kadang kala, aku ingin kembali ke masa lalu dan mengambil mimpi sendiri.

Akan tetapi, ketika telepon itu datang, menanyakan keadaanku dengan nada riang, aku cuma bisa tersenyum, berkata semua baik-baik saja, sama seperti langit malam yang tidak tahu satu-dua bintang telah dicuri oleh Pencuri Mimpi.

Suatu waktu, menyisihkan omongan miring tentangku yang dicap menjadi peliharaan negara, aku berjumpa dengan guruku dahulu. Beliau memuji kehebatanku kini sembari sesekali bernostalgia perihal diriku dahulu. Aku cuma tersenyum, menatap langit yang masih saja sepi.

“Lalu, Nak, bintangmu berada di sebelah mana? Pasti itu menjadi salah satu bintang paling terang di langit malam.”

Aku tersenyum. “Itu, ada di sebelah bintang besar itu, Bu—yang medium, tetapi memancarkan cahaya lembut.” Lalu, aku tertawa canggung. “Bukan bintang saya, lebih tepatnya … tetapi bintang kedua orangtua saya.” (*)

 

Devin Elysia Dhywinanda, adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia wibu dan Koriya.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata