Kawan yang Hilang

Kawan yang Hilang

Kawan yang Hilang
Oleh: Sukra AW

Tepat pukul 12.00 siang. Saatnya aku pergi ke aula untuk menghadiri pertemuan antar tutor untuk pembahasan materi bersama para guru pembimbing. Aku segera mempersiapkan semua modul yang diperlukan. Kukeluarkan setumpuk modul dari dalam tasku, lantas pergi mendekati meja kawan tutorku.

“Zura, ya ampun, kamu belum siap?” tanyaku heran pada sosok yang sedang sibuk membereskan buku yang berantakan di atas mejanya.

“Sebentar lagi selesai, kok, Vin,” jawabnya singkat.

“Aku tunggu di luar aja, ya?”

“Iya.”

Aku membawa seluruh modul yang telah aku persiapkan dan berjalan dengan santainya melewati pintu ruang kelas. Hari ini matahari bersinar dengan begitu garangnya. Membuat rumput terlihat kering kerontang karena rindu akan datangnya tangisan langit. Kulihat seluruh halaman sekolah. Semuanya terlihat cokelat tanpa ada satu lokasi pun yang menghijau. Semua rumput terlihat kering dan seluruh halaman mulai berdebu.

“Sekarang sudah memasuki bulan November, tapi kenapa ya, hujan masih aja enggan untuk menyentuh tanah?” gumamku lirih.

“Ayo, Vin,” ajak Zura membuyarkan lamunanku. Ternyata dia sudah selesai dan sekarang sudah siap ke aula untuk menghadiri pertemuan itu. Aku jawab ajakannya dengan melangkah santai bersamanya menuju aula.

Siang ternyata sudah meninggalkan kota ini dengan begitu cepatnya. Digantikan oleh sore yang cerah dengan membawa seluruh harapan yang telah lalu. Rona jingga juga ternyata masih malu untuk menampakkan dirinya di kota ini. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 30 menit yang lalu, aku berjalan sendiri menuju gerbang sekolah dengan santainya. Ribuan hal dengan segera langsung menyergap seluruh otakku. Konsentrasiku teralihkan pada hal yang benar-benar tidak penting. Aku terus melamun hingga tiba di tepi jalan raya. Kulihat tidak ada  lagi satpam yang bertugas, jadi aku memutuskan untuk menyeberang sendiri.

“Jalanan ini benar-benar ramai. Aku harus berhati-hati.” Aku terus berdiri di tepi jalan untuk menunggu jalanan lengang. Setelah beberapa menit menunggu, aku mengambil langkah untuk mulai menyeberang jalan raya ini.

Piiim …!!!

Suara klakson mobil terdengar begitu memekakkan telinga. Spontan aku berhenti dan melihat ke sumber suara. Jarak 5 meter terlihat mobil melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi. Mobil itu mengarah padaku. Terdengar suara teriakan dari segala arah. Entah siapa yang berteriak, tapi sepertinya posisinya begitu dekat denganku. Sekarang jarak mobil tinggal 2 meter lagi. Aku memejamkan  mata. Jantungku berdegup dengan begitu kencangnya.

Dan ….

Bruk!

“Aduh.” Aku jatuh tersungkur. Aku mencoba untuk berdiri, tapi tidak bisa. Kakiku terasa begitu sakit.

Ada seseorang yang menolongku. Tapi siapa? tanyaku dalam hati. Tanpa menghiraukan rasa sakitku, aku berdiri dengan cepat lalu berlari ke arah kerumunan. Kulihat tubuh Zura tergeletak tidak berdaya di atas aspal. Darah kental terlihat mengalir di hidung dan pelipisnya. Seketika itu kakiku terasa begitu lemas. Tidak percaya bahwa kawan dekatku yang rela mengorbankan dirinya demi menyelamatkanku dari maut. Aku terpaku di sana beberapa detik. Lalu terduduk di samping tubuhnya yang mulai digenangii oleh darah.

“Zura?” panggilku dengan isak tangis yang mulai terdengar.

“Bangun, Zura. Aku mohon, bangunlah,” bisikku di dekat telinganya seraya memeluk tubuhnya. Dia tetap bergeming. Tidak lama kemudian, mobil ambulans datang untuk membawa Zura ke rumah sakit terdekat. Aku mengawal kepergian Zura sampai ke rumah sakit. Duduk di sampingnya. Setia menemaninya hingga dia  dirawat di rumah sakit.

***

Ceklek ….

Pintu kamar tiba-tiba saja terbuka.

“Sayang, kamu tidak apa-apa?” terdengar suara dengan nada yang begitu khawatir.

“Iya, Ibu. Aku tidak apa-apa”

“Itu kan suara Zura? Zura sudah siuman?” gumamku dalam hati. Dengan segera aku bangun dari tidurku dan bergegas mendekati ranjang Zura.

“Zura, kamu sudah siuman? Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanyaku cepat.

“Lumayan baik. Tapi maaf, kamu siapa, ya?”

Deg!

“Dia tidak mengingatku?” tanyaku dalam hati

“Kamu tidak ingat denganku, Zura? Aku Vina, sahabat kamu sejak kecil.” Dia menggeleng. Tidak ingat. Orangtuanya yang sedang berada di sini hanya diam membisu. Bagaimana mungkin Zura tidak mengenal sahabat karibnya sejak kecil. Sudah 6 tahun lebih kami menjadi sahabat. Dan sekarang dia lupa denganku.

“Jangan-jangan …,” sebelum aku sempat meneruskan kalimatku, orangtua Zura sudah menyela.

“Iya, Vin. Dia amnesia. Ada gangguan pada salah satu sistem syarafnya karena benturan yang begitu keras,” jelas ibunya.

Aku diam termenung. Tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan sekarang. Mataku kini terasa begitu panas. Melelehkan sejuta rasa sesal yang ada. Air mata kini telah jatuh bersama tetes pertama air langit. Tanpa sempat pergi, pipiku sudah dibanjiri dengan air mata. Aku menunduk. Sudah tidak tahan untuk menahan rasa sakit ini. Dia benar-benar tidak mengingatku, gumamku dalam hati

Aku segera menyingkir dari hadapannya. Aku semakin tidak tahan berada di sini. Aku melangkah ke luar kamar dengan gontai. Kini aku telah kehilangan sosok yang begitu penting dalam hidupku. Sekarang aku sendirian. Benar-benar sendirian.

Senja mulai meninggalkan kota ini. Digantikan dengan malam yang terasa begitu kelam. Aku termenung di dekat jendela kamar. Memikirkan segala sesuatu yang sudah terlanjur memenuhi otakku.

Beberapa hari lagi Zura akan pergi ke negeri seberang untuk melanjutkan sekolahnya. Dia akan meninggalkanku di sini sendiri. Orangtuaku pergi ke alam lain dan sekarang sahabatku yang pergi ke negeri lain. Entah kapan dia kembali ke sini dan entah kapan aku bisa bertemu dengannya lagi. Sekarang lengkaplah sudah kesendirianku, batinku

Zura. Seseorang yang begitu elok hatinya. Dengan sejuta karakter yang dimiliki, dia telah mampu membuatku tertawa dan tersenyum kembali. Mengenalkan kembali kepadaku apa arti dari sebuah kebahagiaan. Saat aku meratapi kepergian dua sosok yang begitu berarti bagiku, tiba-tiba dia datang sebagai sosok yang membuatku melupakan kesedihanku meski hanya sejenak. Aku kira dia akan selalu ada di sisiku dan aku tidak akan lagi kehilangan seseorang untuk yang kedua kalinya. Tapi ternyata aku salah. Sekarang aku telah kehilangan dia. Kehilangan kawanku. Kehilangan sahabat karibku. Zura. (*)

 

Sukra Ageng Winasih. Lahir di kota Dawet Ayu, Banjarnegara. Sekarang sedang menajalani fase paling akhir dari sebuah Sekolah Menengah Kejuruan pada program studi Akuntansi. Dan semoga ini menjadi fase terindah dari seluruh siklus kehidupan pelajar.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata