Kau yang Selalu Kuharap dalam Doaku
Oleh: Zufarie Mariyanto
Merindu tapi tak berharap. Kalbuku terjebak dalam keheningan. Kususuri jalan setapak yang cukup menggocang keyakinanku. Tak pernah kusebut namanya sebab aku tak bisa menduga. Tak pernah sekalipun aku sanggup membayangkan betapa suci wajahnya, sebab aku bukanlah manusia utusan Tuhan yang dikaruniai sebuah kesaktian.
Cinta ini benar-benar buta. Bukan berarti buta dalam penglihatan. Aku merindukan siapa? Aku jatuh cinta pada siapa? Aku tak tahu. Kurasa, jiwa ini telah begitu lelah meninggikan harapan terhadap makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna, yakni manusia. Kuingin hanya berharap kepada Tuhan, sebab Dia tak pernah ingkar.
Setiap malam, setiap diriku didera kesunyian, dan setiap kudirikan sholat untuk menguhubungkan seluruh jiwa ragaku kepada Allah Azza wajalla. Sang Mahacinta, penebar cinta di seluruh alam semesta. Butir-butir tasbih kupersembahkan. Mataku memejam sembari berharap tentang sesosok imam yang akan mendampingiku kelak.
Di setiap kupanjatkan doa yang penuh akan muatan cinta, entah mengapa hatiku, jiwaku, dan ragaku seluruhnya begitu rindu. Ingin sekali kubertemu, padahal aku tak tahu dirinya siapa. Yang kuyakini, dialah yang namanya telah ditulis di lauhul mahfudz bersama namaku, untuk hidup bersamaku menjalani anugerah cinta dari Allah. Dia yang wajahnya teduh bak langit biru. Dia yang senantiasa tersenyum padaku kendati amarah sedang melingkari diriku. Dia yang berilmu sehingga hidupku akan selalu ada dalam bimbingannya. Dia sang pelindung, kuyakin pasti hidupku akan aman bersamanya. Dia sosok pria tegas tindakannya dan lembut tutur katanya, maka aku akan dibuat kagum akan perangainya. Dan dialah yang senantiasa mengingatkanku akan sholat lima waktu agar aku tak terbakar oleh api neraka.
Harapan-harapan itu hanya akan kuyakinkan pada Tuhan-ku, bukan yang lain. Sekali lagi, kuingin hanya berharap kepada Tuhan, sebab Dia tak pernah ingkar.
Aku jatuh cinta padanya. Ya, aku jatuh cinta pada sosok pria yang ditakdirkan untukku. Meski diriku tak tahu dia siapa, seperti apa wajahnya, di mana dirinya sekarang.
Namaku Nuriyah Hasani, berusia 25 tahun dan aku adalah seorang guru di sebuah SD negeri di kota Tuban. Harapan-harapanku di atas adalah doa yang selalu kupanjatkan ketika rumitnya teka-teki takdirku belum terpecahkan. Aku sekarang telah dibahagiakan oleh Tuhan dengan seseorang yang ditakdirkan hidup denganku, dan inilah sepenggal kisah yang ingin kuceritakan. Sebuah cerita pertemuanku dengannya, yang tak akan bisa kulupakan seumur hidupku.
***
Ada sebuah keindahan yang patut kuungkapkan. Bangunan masjid dengan gaya arsitektur seperti Masjid Haram di Makkah, Masjid Namira. Masjid yang berdiri kokoh di kota Lamongan itu telah menjadi saksi bisu akan pertemuanku dengan seorang pemuda.
Firman-firman Allah dilantunkan. Kutatap seluruh isi ruangan, penuh dengan para insan yang bertasbih, memuji kebesaran-Nya.
Ketika tepat pukul 07.30, aku mengistirahatkan diri dari perjalananku menuju kota Surabaya bersama sahabatku, Anisa, di masjid yang damai nan indah itu. Kudirikan sholat sunnah Dhuhah 4 rakaat. Kupersembahkan tasbih-tasbihku kepada Tuhan yang kuagung-agungkan.
Aku haus akan penjelasan-Nya perihal pengharapanku yang lalu-lalu. Dan aku tak akan lelah sebab keyakinanku yang tak pernah padam. Kendati cincin pertunangan telah melingkar di jari manis tangan kiriku, entah mengapa hatiku tetap meragu.
Dua bulan yang lalu seorang pria dari kota Bumi Wali telah melamarku. Dia mapan dan cukup religius. Dia adalah orang pilihan Ayah yang diketahuinya dari seorang sahabat karib sekaligus kolega kerjanya. Dan sebagai seorang putri semata wayangnya yang selalu diutamakan olehnya, diriku menuruti apa kata Ayah sebagai tanda baktiku kepadanya. Akhirnya aku mau menerima lamaran dari pria itu. Perkenalanku dengannya telah berjalan selama dua bulan.
Awalnya tiada kesan apa pun setiap kali diriku berbincang-bincang dengannya di sebuah ruang tamu rumahku. Dia memang sering mengunjungiku dan aku tak pernah ada reaksi apa pun. Namun setelah beberapa kali bertemu, rasa cinta itu tumbuh dengan sendirinya. Aku bertanya-tanya, apakah ini jawaban dari-Nya atas doa yang selalu kupanjatkan kepada-Nya?
Nuraniku menolak hebat. Aku mencintainya, namun bukan sepenuhnya. Puing-puing keraguan itu masih berserakan di ruang kalbuku.
Diriku dibingungkan dengan berkali-kali penolakan dan keraguan. Seakan-akan antara pikiran dan hatiku saling berlomba-lomba mempersembahkan sebuah argumentasi yang berusaha meyakinkanku. Aku berpikir dia adalah calon suamiku yang tinggal menghitung bulan, diriku akan sah menjadi istrinya, namun tidak dengan hatiku yang semakin menjadi-jadi berkata bahwa dia bukan takdirku.
Mungkin ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh Anisa. Bertunangan bukan berarti bisa berakhir ke pelaminan.
Sholatku berlanjut pada doa. Masih dengan doa yang sama. Kumohon keberkahan pada-Nya, kuharap diriku dipertemukan segera dengan seorang insan yang dimaksud takdir dari-Nya. Kuteteskan air mata, sebuah kesempatan yang tak bisa selalu kuraih, dapat berdoa dengan khidmat di masjid yang menakjubkan keindahannya. Kali ini aku merasa sangat menderita. Rupanya Tuhan masih ingin diriku bermanja-manja dengan-Nya, bersimpuh sembari menangis di hadapan-Nya, bersujud selayaknya seorang hamba yang tak berdaya dengan kumandang doa yang masih sama, mengharap seorang imam yang ditakdirkannya.
Ah, diri ini begitu rapuh. Mampukah aku menyimpan lebih lama lagi serpihan-serpihan kegaruan yang masih berserakan ini? Ingin kumusnahkan, namun tak dapat kulakukan sendirian. Aku butuh seseorang yang akan menjadi takdirku. Apakah itu Mas Febi?
Setiap pertanyaan itu tiba, sudah barang tentu sebuah argumen di hati dan pikiranku kembali beradu.
Kuhela napas panjang dan kembali kupejamkan mata. Kuteteskan air mataku sekali lagi kemudian kuhapus. Hatiku sedikit lega seusai menangis dalam sholat dan do’aku.
Ada seseorang yang menepuk bahuku dari belakang.
“Nur, aku tunggu di tempat parkiran, ya?”
Ternyata Anisa.
Aku mengangguk pelan. Kulepas mukenaku dengan pelan-pelan dan menggantinya dengan kerudung berwarna abu-abu muda, cocok dengan warna baju gamisku yang kupadukan dengan warna abu-abu tua.
Semuanya sudah rapi. Aku beranjak dari dudukku, kugantungkan tas kulitku di bahu kiriku. Pelan-pelan aku melangkah. Pagi itu langit Masjid Namira cerah berseri bagaikan wajah yang tersenyum tulus dan bahagia.
“Mbak…Mbak….”
Tiba-tiba suara berat seorang pria memanggil-manggil. Segera aku menoleh ke belakang. Barangkali dia memanggilku. Dan rupanya benar.
Pria itu menyerahkan tasbih kepadaku, “Ini tasbih Mbak, kan?”
Tak sengaja aku menatap matanya. Aku diam sejenak kemudian kujawab pertanyaannya, “Oh iya, terima kasih, Mas.” Aku mengangguk sopan.
Dia tersenyum. “Tadi, Mbak, sepertinya tak sengaja menjatuhkannya.”
“Sekali lagi terima kasih, Mas. Tasbih Ini amat berharga bagi saya.”
“Sama-sama, Mbak.” Kembali dia tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Aku berlalu menuju tempat parkiran. Anisa sudah menungguku.
Tak sempat kuduga dengan kejadian hari ini, ada apa dengan pria tadi? Pandangan matanya begitu teduh. Aku berjalan dan berusaha menghilangkan bayangan pria tadi.
Namun ketika aku dan Anisa hendak menaiki mobil yang dikendarai oleh supir ayahku, aku kembali bertemu dengan pria itu. Ia mengendarai motornya dan tersenyum ramah.
“Mari, Mbak.”
Aku ikut tersenyum. Kembali kupandangi mata teduhnya sekaligus senyumannya.
“Nur, pria itu siapa?” Anisa bertanya.
“Eh….” Aku sedikit terkejut dari lamunanku. “Emmm… dia tadi yang menemukan tasbihku, kebetulan jatuh di pelataran masjid.”
“Ah, kamu ini suka ceroboh. Masih nggak kapok apa pas tasbih pemberian ibumu itu hilang. Eee… ternyata di bawah bantal kamar kos-kosanku. Untung masnya tadi mau ngambilin.”
Aku tertawa. “Wah, masih ingat juga kamu pas jaman masih kuliah dulu.”
“Ya ingatlah….”
Aku dan Anisa tertawa kecil.
“Eh… ngomong-ngomong masnya tadi cakep ya? Senyumannya bikin adem gitu.”
“Hussss… kamu ini masih aja nggak berubah, ya? Suka banget ngomongin cowok.”
“Ya… kali aja dia bisa buat kamu jatuh hati.”
“Lihat ini, dong.” Aku menunjukkan jari manis sebelah kiriku di hadapan Anisa sebagai pengingat.
“Iya… iya percaya, yang bentar lagi jadi istri orang.” Anisa melirik cincin yang kupakai.
Sepanjang perjalananku menuju kota Surabaya, tepatnya di rumah Hanim sahabat kami, aku tak henti-hentinya digoda oleh Anisa. Sehingga mau tak mau membuat diriku tertawa hingga menangis sebab Anisa yang dengan piawainya melantunkan kata-kata perpisahan ketika nanti aku sudah menjadi seorang istri. Tentunya aku tak akan punya banyak waktu lagi untuk berjumpa dan bersenda gurau dengannya.
Setibanya di rumah Hanim, Aku dan Anisa disambut hangat oleh Hanim sekaligus umi dan abinya. Bagai dua orang putri yang lama tak pulang di rumah orangtuanya.
Waktu kami habis hanya untuk memperbincangkan kekonyolan kami sewaktu masih di bangku kuliah. Sementara orangtua Hanim berpamitan pergi untuk memeriksa kinerja para karyawan perusahaan mereka.
Di tengah kami becanda ria, seseorang membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu, sepertinya itu adalah penghuni rumah ini juga.
“Assalamualaikum….”
“Waalaikum salam….” Wajah Hanim berubah seperti anak kecil, sangat ceria sembari berlari menuju orang itu. “Kakaaak….”
“Eh, Nur, sejak kapan Hanim punya Kakak?” Anisa berbisik.
Aku hanya mengangkat bahuku.
Namun setelah orang itu melangkah makin dekat, rupanya pria itu? Pria yang mengambilkan tasbihku yang tadi terjatuh?
“Mbak…,” dia menyapaku. “Nggak nyangka, ya, kita bisa bertemu lagi.”
Aku tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Oh jadi kalian udah pernah saling bertemu?” Hanim bertanya.
“Iya, tapi baru tadi,” jawab pria itu.
Aku hampir tak percaya. Dia adalah kakak Hanim. Dan Hanim sendiri tak pernah bercerita bahwa dirinya mempunyai seorang kakak.
“Kakak belum tahu nama mereka, kan? Kenalin, ini teman-temanku, Nur dan Anisa.”
Bergegas Anisa menyapanya sembari menangkupkan kedua tangannya di dada, “Mas….”
“Hadi,” dia menyebut namanya.
Aku pun demikian, menangkupkan kedua tangan di dada. Sebenarnya aku tak ingin berpaling dari tatapan matanya. Dia menatap mataku selama beberapa detik, dan aku hampir terlena. Jujur saja aku tak kuat jika harus berlama-lama menatap matanya. Segera hatiku beristighfar dan menundukkan pandangan. Dalam benakku mengingat-ingat bahwa aku telah dikhitbah oleh seseorang dan sebentar lagi aku akan jadi miliknya.
“Oh ya, Nim. Kakak ganti baju dulu ya, mau nyusul Umi sama Abi.” Pria itu berjalan menaiki tangga menuju ruangan atas.
“Kak Hadi nggak capek apa? Habis perjalanan jauh langsung ke kantor?” Hanim sedikit berteriak dan mengalihkan pandangannya ke ruangan atas
Pria yang bernama Hadi itu juga sedikit berteriak, “Nggak.”
Anisa tak berkedip sama sekali. Aku berusaha mengagetkan dia. Dan dia marah. Namun aku tahu marahnya Anisa tak sungguhan, hanya ingin mengelabuiku saja.
Beberapa saat kemudian, kakak Hanim kembali turun dan berpamitan pada kami.
“Permisi, berangkat dulu, Mbak… semoga betah main sama Hanim.” Dia menggoda Hanim dengan tawa kecilnya.
“Ih, Kakak. Awas nanti.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,” kami menjawab bersmaan.
***
Malam-malam aku sungguh gelisah, teringat kejadian beberapa hari yang lalu ketika diriku dan Anisa berkunjung ke rumah Hanim selama dua hari satu malam. Tatapan mata itu, senyuman itu, dan sapaan itu tak mau sirna dari ingatanku. Sama sekali aku tak bisa terlelap. Bahkan aku sampai lupa memakai cincin tunanganku setelah aku selesai mandi sore tadi.
Ah, kira-kira apa yang sedang terjadi kepadaku? Aku tak mungkin jatuh cinta pada pria itu. Sebab cintaku hanya akan kuberikan kepada Mas Febi setelah kita menikah nanti.
Keesokan harinya ketika diriku hendak beranjak mengajar, aku dikejutkan dengan kemarahan Ayah. Sebuah kenyataan pahit kuterima dengan berat hati.
Mas Febi, seorang pria yang telah mengkhitbahku, pria yang selama ini rajin mengunjungi rumahku dan juga sangat sopan terhadap Ayah dan Bunda, ternyata dia adalah pria yang sudah beristri. Ayah merasa amat tertipu olehnya. Dia tak paham apa motif di balik tindakan yang dilakukan oleh Mas Febi, hingga dirinya menipu Ayah dan sahabatnya seperti ini. Yang jelas, Ayah tak rela jika putrinya dijadikan istri kedua bagi pria itu. Langsung saja Ayah membatalkan rencana pernikahanku dengan Mas Febi. Dia memelukku, menciumi pipi dan keningku sembari berkata, “Putri Ayah nggak boleh dimadu!”
Aku menangis ketika melihat air mata Ayah berlinangan.
“Poligami memang diperbolehkan dalam Islam, tapi aku tak rela kalau putriku dipoligami!” sambungnya dengan wajah memerah.
Dia menarik tangan kiriku dan membuang cincin pertunanganku.
Mas Febi sudah jelas-jelas mengkhianati Ayah, gara-gara kebohongannya, persahabatan Ayah dengan salah seorang koleganya juga ikut hancur.
Sebulan lebih aku mengurung diri, hanya ada aktivitas mengajar, bertemu dengan murid-murid kecilku, kemudian setelah selesai, aku pulang, masuk ke kamar dan mengunci pintu. Jiwaku terluka, demikian pun hatiku. Hampir setiap hari aku menangis membayangkan diriku yang terhina. Aku gagal mengikat hubungan yang telah kubangun dengan seorang pria yang kukira akan menjadi pendamping hidupku dalam sebuah ikatan suci pernikahan. Tak lupa kusempatkan untuk melakukan video call dengan Hanim dan Anisa. Aku tak bisa menyembunyikan nestapaku dari mereka berdua. Mereka ikut meneteskan air mata ketika aku bercerita secara detail dari kejadian yang telah kualami.
Rupanya keraguan dalam nuraniku selama ini terbukti, bahwa bukan nama Mas Febi yang ditulis oleh Tuhan bersama namaku di lauhul Mahfudz. Lalu siapa? Siapakah dia?
Di sisi lain, wajah kakak Hanim selalu menghantuiku. Dan rasanya jauh sekali jika aku akan berjodoh dengannya. Itu tak mungkin. Baru saja sebulan yang lalu diriku berkenalan. Dan selanjutnya tanpa ada komunikasi apa pun setelah aku pulang dari rumahnya.
Menginjak bulan kedua setelah kejadian duka itu, aku mencoba untuk bangkit dengan mengisi hari-hari selain dengan bertemu dengan muridku yang lucu-lucu, aku juga mempelajari bisnis yang sudah lama ditekuni oleh Ayah. Hingga aku merasa benar-benar bisa bangkit dari masalah yang berhasil memporak-porandakan hidupku.
Suatu hari rumahku tampak ramai. Pulang dari mengajar, kulihat ada Hanim sekeluarga, duduk dan tersenyum kepadaku.
Tadinya aku mengira bahwa Hanim datang jauh-jauh dari Surabaya akan berlibur ke Tuban bersama keluarga. Namun mengejutkan, rupanya kedatangan mereka ke rumahku ialah ingin mengkhitbahkan diriku untuk seseorang. Dialah Hadi, kakak Hanim.
Pria itu, bagiku seseorang yang dapat menggetarkan jiwaku. Bahkan keanehan ini tak kudapati sama sekali ketika Mas Febi mengkhitbahku. Aku menerimanya. Dan aku merasa bahwa inilah jawaban dari doaku selama ini.
Aku hampir tak percaya. Pertemuan yang begitu singkat dan berujung pada perrnikahan?
Allah Maha Besar.
Trauma dengan kejadian sebelumnya, maka Ayah dan Bunda tak ingin lama-lama. Dua minggu setelah aku dikhitbah, maka segera Ayah menikahkanku dengan Mas Hadi.
Aku masih tak percaya dengan kenyataan yang kuterima pada hari itu. Di sebuah malam yang begitu syahdu aku dapat mendirikan sholat bersama dengan seorang pria yang telah sah menjadi suamiku.
Dia berdoa dan aku mengamininya. Dia membalikkan badan dan menatap mataku lekat-lekat. Aku pun membalas tatapannya sembari menyuguhkan senyuman terindahku.
Demi Tuhan, aku tak kuat. Aku segera menundukkan pandangan namun tak lagi dengan beristighfar. Lantas dia mengangkat wajahku.
“Mas Hadi?” kupanggil namanya.
“Ya?”
“Mengapa kau memilihku sebagai istrimu?” tanyaku lirih.
Dia menjawab dengan mantap, “Sebab kau pantas.”
“Pantas?”
“Kau tahu? Aku jatuh cinta kepadamu. Bahkan pada hari pertama kita bertemu. Mataku melihat ada sebuah cahaya yang indah pada dirimu, sesuai dengan namamu, Nuriyah Hasani. Aku merasakan kedamaian dalam jiwamu jika aku menatap matamu. Aku merasakan setiap doamu mengalir dalam jiwaku. Dan dengan kebesaran Allah, kita kembali dipertemukan kemudian dipersatukan dalam ikatan suci.
”Dan kau tahu? Semenjak aku berjumpa denganmu, rinduku tak pernah sirna. Bahkan aku selalu berharap kaulah wanita itu, wanita yang telah lama kucari dan kunanti.”
Aku menangis, kucium tangannya. “Aku juga jatuh cinta kepadamu. Tadinya aku mengelak setiap rasa rindu yang datang bertubi-tubi saat diriku mengingatmu. Rupanya kaulah orangnya. Kau yang selalu kuharap dalam doa.”
Pelan-pelan dia mengusap air mataku dan mencium keningku. “Aku adalah takdirmu, kau adalah takdirku. Nama kita sudah ditulis bersama di lauhul mahfudz.”
Seindah inikah takdir-Nya? Mungkin ini adalah buah dari kesabaranku dalam menunggu selama ini. Sungguh kekuatan doa itu benar-benar dahsyat, sedahsyat rasa syukurku kepada Tuhan-ku.*
Zufarie Mariyanto adalah nama pena dari Zuni Fatmasari. Dia dilahirkan 21 tahun yang lalu. Penulis novel yang berjudul “Kau Seumpama Bintang Fajar” ini sekarang sedang menempuh semester 5 program studi ilmu komunikasi di Universitas PGRI Ronggolawe Tuban, Jawa Timur. Jika ingin mengenal lebih dekat dengan penulis, bisa dihubungi melalui akun Facebook: Zufarie Mariyanto, Ig: zufarie_mariyanto atau email: zufariemariyanto@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata