Kau dalam Kenangan

Kau dalam Kenangan

Kau dalam Kenangan

Oleh: Ina Agustin

Saat usiaku sekitar enam tahun, setiap sore, aku dan kakakku pergi ke tempat kerja Bapak. Di dekat tempat kerja Bapak, terhampar tanah lapang berwarna merah yang bisa digunakan untuk bermain sepeda atau sekadar berlari-larian. Bapak memiliki usaha sendiri yaitu berupa bengkel elektronik. Ya, Bapak memiliki keahlian mereparasi alat elektronik seperti televisi, kulkas, radio, dan lainnya.

Tak jauh dari bengkel Bapak, terdapat sungai dan jembatan. Sungai Ciwaringin namanya. Airnya yang berwarna keruh sering dipenuhi anak-anak sekitar usia sekolah dasar. Tak jauh dari mereka, kulihat beberapa perahu diikat, di sebelah kanannya, beberapa perempuan mencuci baju dan piring. Mereka asyik sekali mencuci sambil mengobrol. Entah apa yang diobrolkan. Aku dan kakakku sering kali melihat aktivitas mereka dari atas jembatan. Saking asyiknya melihat semua itu—sambil duduk dan berpegangan pada besi jembatan—kuayunkan kedua kakiku dan … sandal sebelah kananku terjatuh. Sambil menangis kuminta kakakku mengambilnya.

“Sudah, jangan nangis!” Ia mengusap pundakku kemudian turun ke sungai mengejar sandalku yang terbawa arus. Renang gaya kupu-kupunya lincah sekali. Tangannya secara bergantian diayun memutar ke atas dan ke bawah, kakinya bergerak luwes bagai sirip ikan, hanya sesekali saja kulihat ia memunculkan kepalanya ke atas. Dalam hitungan beberapa menit, ia mendapatkan sandalku.

“Nih sandalnya, Neng! Yuk kita pulang! ‘Dah sore,” ajaknya.

“Tapi aku capek, A, aku enggak mau jalan kaki,” rengekku manja.

“Sini Aa gemblok!” Ia membungkukkan punggungnya yang kekar, lalu aku digendongnya sampai rumah. Walaupun baru berumur delapan tahun, kakakku memiliki postur tubuh tinggi berisi. Banyak orang mengira ia berusia sebelas atau dua belas tahunan. Sedangkan aku kebalikannya, kecil dan imut.

Sore hari berikutnya kami pergi ke bengkel Bapak lagi. Kali ini kami mengendarai sepeda masing-masing dan bermain di tanah lapang dekat bengkel Bapak. Sambil mengayuh sepedaku yang masih memakai roda bantu, kunyanyikan lagu favorit. “Kring kring kring bunyi sepeda, sepedaku roda dua, kudapat dari ayah karena rajin bekerja.”

Kuulangi kembali lagu tersebut selama mengayuh sepeda, namun, tiba-tiba sepedaku tersandung batu dan aku terjatuh. Sebelah kakiku masuk ke sela-sela jari-jari roda sepeda. Kulihat cairan merah segar menetes. Kulitku koyak. Aku meraung-raung kesakitan.

“Ya Allah!” Kakakku panik. Aku langsung diangkatnya, lalu dibawa ke bengkel Bapak. Bapak meneteskan obat cair berwarna merah. Rasanya, senut-senut tak keruan.

“Makanya hati-hati main sepedanya, ya!” Bapak menasihati.

“Ya udah, Neng pulangnya dibonceng sepeda Aa Irlan, ya! Nanti sepeda Neng biar Bapak yang bawa.”

Sampai di rumah aku masih meringis. Mama terkejut ketika melihat keadaanku. “Astagfirullah, kenapa, Neng? Kok bisa begini?” tanya Mama.

Belum sempat kujawab, Kak Irlan berkata, “Maaf, Ma, ini salah Irlan enggak bisa jagain adik sendiri dengan baik. Irlan teledor, Ma.” Raut wajahnya penuh penyesalan.

Sikapnya tak pernah berubah hingga aku resmi menjadi siswi SMP kelas 1. Aku dan kakakku belajar di sekolah yang sama. Kami beda dua tahun saja. Sampai di suatu hari, saat jam istirahat, seorang anak laki-laki menjahiliku. Ia mengerjaiku dengan cara menyembunyikan buku milikku. Sontak aku menangis karena satu jam lagi buku PR itu mau diperiksa guru. Kakakku yang memang selalu berkunjung ke kelas saat jam istirahat, tahu kejadian itu. Tanpa basa-basi, ia langsung menghadapi teman kelasku yang jahil itu. Dihampirinya anak itu, lalu dipegang kerah bajunya dengan kasar. Dengan segera ia mengembalikan buku milikku.

“Sekali lagi ganggu adik saya, kamu akan rasakan akibatnya!” ancamnya dengan mata membelalak.

Sejak saat itu, anak itu tak lagi menggangguku. Aku pun merasa aman. Namun, seiring berjalannya waktu, sebagian besar teman perempuanku punya teman laki-laki. Mereka dekat sekali. Kadang di kelas pun suka duduk berdekatan saat jam istirahat. Mereka juga sering bercerita tiap malam Minggu teman lelakinya itu sering datang ke rumah. Aku merasa heran. Kenapa tidak ada satu pun anak lelaki yang mendekatiku? Mungkinkah karena mereka takut dengan kakakku?

“Buat apa pacaran? Masih sekolah, tugasnya belajar aja! Ada waktunya nanti pacaran. Neng jangan mikirin itu dulu!”

“Tapi, A-“

“Neng, Aa enggak mau adik Aa satu-satunya dirusak oleh lelaki.”

“Neng bisa jaga diri, A!”

“Percayalah, Neng. Aa lakukan ini karena Aa sayang Neng.”

Usut punya usut, ternyata kakakku takut kejadian memalukan yang dialami anak tetangga kami juga dialami olehku. Anak tetangga kami hamil di luar nikah. Ia terpaksa berhenti sekolah. Itu semua karena ia terlalu dekat dengan lelaki, katanya.

Kakakku tidak pernah berubah, sampai aku SMA-pun ia masih memperhatikanku. Ia sering menasihati agar aku segera mengerjakan PR. Kalau aku tidak bisa, ia akan membimbingku hingga bisa. Ia pun selalu mengingatkan aku untuk salat lima waktu dan membantu Mama di rumah. Tak lupa, ia sering mengatakan agar aku menjaga diri baik-baik. Dengan penuh kelembutan, ia menyuruhku mengenakan jilbab. Awalnya aku keberatan, tetapi setelah menyimak penjelasannya, aku coba lakukan. Aku sayang kakakku. Aku tak sanggup menolak permintaannya. Walaupun gerah dan tidak betah, aku coba bertahan hingga akhirnya terbiasa dan merasa nyaman.

Kalau libur sekolah, kakakku menemani Bapak di bengkel sambil belajar cara mereparasi TV dan alat elektronik lainnya. Ia belajar dengan tekun hingga akhirnya memiliki keahlian tersebut walaupun belum semahir Bapak. Karena sudah memiliki kemampuan dasar, terkadang pekerjaan Bapak dikasih ke kakakku. Lalu Bapak memberinya upah. Dan aku sering dikasih uang oleh kakakku dari hasil pekerjaannya itu. Selain uang, ia pun membelikan aku jajanan berupa makanan atau minuman.

“Makasih ya, A,” ujarku sembari mengusap batu nisan di hadapanku. Kini, semua itu tinggal kenangan.

Serang, 26 Oktober 2020

 

Penulis bernama lengkap Ina Agustin, lahir di sebuah desa kecil di Kabupaten Pandeglang, Banten. Kini penulis berdomisili di Serang, hidup bersama suami dan tiga anak lelaki. Perempuan penyuka warna merah marun ini memiliki hobi membaca dan menulis. Moto hidup : Hidup di dunia hanya sekali, hiduplah yang berarti! Penulis bisa disapa di FB dengan nama akun yang sama.

 

Editor: Inu Yana

 

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply