Kata-Kata Bapak
Oleh : Freky Mudjiono
Bapak pernah berkata, “Ayo, ambil.” Sambil memanggulku di bahu, ia meminta agar aku mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk meraih kardus yang terletak di rak paling atas. Kardus yang entah berisi apa. Waktu itu, untuk pertama kalinya, dari toko kelontong yang terletak di lantai satu tempat tinggal kami, Bapak memintaku berhenti menonton televisi dan membantunya.
Aku meringis oleh rasa nyeri di ketiak sebab tangan yang terpaksa direntangkan tinggi-tinggi. Namun, sorot mata Bapak yang penuh harap membuatku enggan berhenti berusaha. Kembali, kurentangkan kedua tangan semakin tinggi.
Mataku membesar, lega rasanya ketika ujung jemariku bisa menyentuh sisi bawah kotak kardus yang dituju. Seddiikiitt lagi …. hup! Akhirnya aku berhasil meraihnya. Ternyata kotak itu tidak seberat seperti yang aku kira. Meskipun begitu tetap saja sulit menjaga keseimbangannya saat kutarik turun dari rak. Aku yakin, kotak kardus itu akan jatuh terhempas ke lantai, bila Ibu tidak segera mengambilnya dari tanganku yang kecil.
“Bagus, Nak,” ujar Bapak sambil membantuku turun dari bahunya. Aku tak membalas ucapannya, dan justru memamerkan cengiran puas sebagai gantinya. Bapak menepuk punggungku, lalu berterima kasih sebelum berlalu pergi dengan kotak yang baru saja kuambilkan untuknya. Ada rasa yang membuncah di dadaku.
Sejak saat itu, aku seringkali diminta Bapak untuk naik ke bahunya, membantu menjangkau apa-apa yang diinginkan pengunjung dari jajaran rak paling atas toko kelontong kami. Aku yang bertubuh paling kecil dan kurus, seketika merasa jadi orang paling penting di antara kakak-kakakku yang lain. Sepertinya, selain sebab tubuh mereka yang lebih besar hingga pasti berat untuk dipanggul Bapak, mungkin juga karena mereka selalu mengeluh bila disuruh. Tidak sama denganku.
“Tangan kananku,” begitu Bapak selalu menyebutku saat ada yang memujiku karena rajin membantunya. Saat itu, aku tidak paham apa maksudnya, tapi tetap saja aku menyukai julukan itu. Aku suka mendengar kata-kata Bapak yang bernada bangga menyebut namaku.
Tentu saja, aku tidak selamanya menjadi anak kecil. Seiring waktu, aku tumbuh menjadi lebih besar dan lebih tinggi daripada Bapak. Sudah lama sejak Bapak tidak lagi menyuruhku naik ke bahunya. Namun, bukan berarti ia berhenti memintaku melakukan sesuatu. Malah semakin sering.
“Bukakan pintu toko, sekalian keluarkan barang pajangan.”
“Jangan kelayapan. Langsung pulang. Di toko tidak ada yang membantu.”
“Ini disusun di dalam etalase.”
“ini dibawa ke sana.”
Semakin hari, kata-kata Bapak semakin banyak dan beragam. Ragam kalimatnya berupa perintah, menyesak, memenuhi benak.
“Tolong antarkan ini. Alamatnya sudah ada di nota.”
Nah, kan! Benar apa kataku. Bapak tidak pernah berhenti. Baru saja aku mencoba beristirahat, ia telah kembali menyuruhku melakukan sesuatu.
Aku bangkit dari kursi plastik yang berada di balik meja kayu yang seringkali dijadikan sebagai meja kasir. Dua lacinya yang bisa dikunci menjadi tempat penyimpanan uang tunai. Sementara berbagai kuitansi dan faktur dari para supplier memenuhi permukaan meja. Ini wilayah kekuasaan Ibu sebenarnya, tapi usia dan diabetes seolah bersekongkol menggerogoti tubuh dan membuatnya tak lagi tahan duduk lama membantu Bapak menjaga toko. Jadilah, aku harus lebih banyak mengambil alih perannya.
Aku berjalan melewati Bapak dan sempat melirik sekilas. Kusadari, dari dulu, pandangan Bapak padaku tak pernah berubah.
Di depan kardus besar yang ditunjuk Bapak, aku berhenti. Kardus itu telah tersegel rapi.
“Hati-hati pecah.” Perkataan Bapak kembali membuatku menghela napas. Hati-hati … itu berarti waktu akan terbuang lebih banyak. Mengantarkan barang ke pelanggan telah beberapa kali kulakukan sejak pegawai terakhir dipecat Bapak sebab ketahuan menyelewengkan tagihan beberapa pelanggan.
“Tidak ada yang bisa dipercaya saat ini.” Bapak menjawab singkat saat aku memintanya mencari pegawai baru atau meminta saudara iparku yang tengah menganggur untuk membantu Bapak dan Ibu di toko.
“Bapak dan Ibu makin tua. Kapan lagi menikmati waktu jika harus terus mengurus toko?” debatku.
“Kan, ada kamu,” kata Bapak singkat sambil menatapku lekat, penuh harap.
Aku tak bisa berkutik. Perkataan Bapak memasungku di ruangan toko yang makin menua. (*)
Freky Mudjiono. Wanita yang terobsesi untuk bisa menulis.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata