Kata Ibu
Oleh: Aisyahir
Kata Ibu, ayahku adalah seorang jagoan. Dia akan selalu melindungi kami dari berbagai kemungkinan buruk, bahkan negara pun ikut serta Ayah lindungi. Ibu juga berkata, jika suatu saat nanti aku juga harus bisa seperti Ayah. Bisa melindungi keluarga dan negaranya. Tapi, aku jadi bingung. Bagaimana aku bisa seperti Ayah, jika aku belum pernah melihatnya? Mungkin pernah, tapi itu saat aku masih kecil sekali. Sejak berumur enam tahun, aku tidak pernah melihat Ayah lagi hingga sekarang, di mana umurku sudah memasuki usia sepuluh tahun.
Aku hanya mendengar tentang Ayah dari Ibu, tentang betapa gagahnya Ayah mencegah musuh-musuh membuat kerusakan. Pasti ayahku seorang pahlawan, atau barangkali merupakan personil dari tim Avengers, sama seperti yang sering aku lihat di televisi, di sana banyak jagoan yang bersatu, dan itu pasti keren.
Tapi kata Ibu, ayahku tidak punya kekuatan. Dia tidak sekuat Hulk, tidak punya palu besi seperti milik Thor, tidak punya seragam robot bertarung seperti Iron Man, ayahku hanya punya keberanian dan kekuatan bertahan seperti Kapten Amerika, tapi itu tetap keren buatku. Tapi kata Ibu, ayahku tidak punya perisai seperti punya Kapten Amerika, hanya punya senjata panjang untuk menembak musuh. Seragam Ayah juga tidak seperti mereka, seragam Ayah loreng-loreng, dan itu sangat keren menurutku. Aku biasa menonton film seperti itu di televisi, saling tembak-menembak. Tapi, apakah ayahku akan kena tembak juga seperti mereka?
“Ayahmu itu sangat berani, dia pasti bisa menghindar. Jadi tidak perlu khawatir. Setelah tugasnya selesai, ayahmu pasti akan pulang.” Itulah kata Ibu setiap kali aku bertanya demikian. Tapi, setiap kali Ibu mengatakan tentang Ayah, raut wajahnya pasti akan terlihat sedih. Lalu akan mengunci diri di kamar, mungkin Ibu lelah, makanya masuk untuk beristirahat, itulah pikirku.
Saat di sekolah, ibu guru sering menyuruh kami untuk bercerita mengenai keluarga. Tentang betapa hebatnya orangtua kami, dan aku selalu menceritakan tentang kehebatan ayahku, sesuai apa yang dikatakan Ibu. Banyak teman-temanku tampak kagum mendengarkan, ya, awalnya. Tapi, setelah sering bercerita, mereka tampak mulai bosan, karena cerintanya itu-itu saja. Bahkan ada yang pernah mengatakan jika aku hanyalah mengarang. Sama seperti Ibu yang hanya menceritakan tanpa adanya bukti.
“Kalau ayahmu memang sehebat itu, lantas di mana dia sekarang? Bahkan kamu belum pernah menemuinya? Beda seperti ayahku, kami selalu bertemu, dan ayahku selalu memberikan apa yang kumau.” Hari itu aku diam saja. Tidak tahu harus menjawab apa. Hingga di saat pulang, aku mulai bertanya pada Ibu.
“Bu, kapan Ayah pulang? Aku ingin menunjukkan Ayah pada teman-temanku, aku tidak mau dicap sebagai pembohong!” Ibu hanya menatapku lekat lalu menarikku ke dalam dekapannya. Dari jarak sedekat ini aku bisa mendengar isak tangis Ibu, tapi kenapa Ibu menagis? Padahal aku tidak pernah mencubitnya.
“Ayahmu itu sedang pergi berperang, Nak. Ada sekelompok orang yang harus dia selamatkan di sana. Ayahmu orang yang mulia, walaupun dicegah mati-matian, ayahmu tetap pada pendirian.” Sebenarnya aku tidak mengerti, aku hanya bisa menangkap kenyataan bila ayahku sedang pergi berperang. Itu berarti sangat keren, mirip di film-film.
“Kalau besar nanti aku juga ingin seperti ayah, bisa ikut berperang, sekalian akan membawa ayah pulang, supaya Ibu tidak kesepian lagi,” kataku antusias. Ibu hanya mengangguk, memberiku dukungan atas apa yang kukehendaki.
“Ibu tidak memaksamu untuk bisa seperti Ayah, Ibu hanya ingin kamu menjadi diri kamu sendiri, mendengarkan orang lain dan peduli dengan sesama. Agar kamu bisa selalu bersama Ibu, tidak ikut pergi bersama Ayah.” Aku hanya mengangguk patuh, masih tak bisa mencerna kalimat rumit Ibu.
Hingga tahun berganti begitu saja, aku semakin tubuh besar. Usiaku sudah lima belas tahun. Mulai mengerti banyak hal. Cerita Ibu masih sama, masih mengatakan ayahku seorang perwira, punya senjata, dan sedang pergi berperang. Aku mulai memikirkan tanggapan temanku dulu, yang mengatakan ibuku hanyalah berbohong. Perang macam apa yang dilakukan Ayah sampai harus menghabiskan waktu hampir puluan tahun? Tapi Ibu lagi-lagi berkata: ayahmu pasti akan kembali. Dan betapa bodohnya aku memercayainya begitu saja.
Entah berapa tahun yang lalu, sekumpulan orang dengan berpakaian rapi mendatangi kami. Mereka memberi Ibu surat, serta sebuah buku semacam catatan harian. Wajah mereka tidak tampak bahagia, sendu. Mereka tidak lama, hanya sebentar lalu meninggalkan kami. Tidak lupa salah satu di antara mereka memelukku. Setelahnya, Ibu-lah yang terus memelukku dengan mata yang sembap.
Sejak saat itu, Ibu sudah jarang berbicara tentang Ayah. Lebih suka berdiam diri. Ibu juga memiliki hobi lama yang masih dilakukan sampai saat ini: menatap mentari terbenam. Jarak laut dengan rumah kami tidak terlalu jauh, dari rumah kecil kami, sudah dapat dilihat jelas hamparan laut. Dan yang paling indah ketika matahari sudah berada di kaki langit, memandikan laut dengan sinar jingganya.
“Kamu tahu, dulu Ibu dan ayahmu suka sekali menatap senja. Kami awalnya dipertemukan di tepi laut, saat sedang menikmati senja di tempat yang berbeda. Dan setiap Ibu memandang senja, Ibu akan selalu teringat akan ayahmu. Seakan sedang memandangi ayahmu dari kejauhan yang rupanya mulai terlihat samar di ingatan Ibu.” Suara Ibu terdengar menyimpan seribu luka tatkala mengucapkan kalimat itu. Aku yang masih belum terlalu paham waktu itu tak bisa apa-apa, termasuk memahami isi hati Ibu.
Tapi sekarang, aku mulai paham. Berusaha mengerti semua ini sejak lama. Dan pada akhirnya memang bisa kumengerti, terlebih lagi saat membaca surat yang diberikan sekelompok orang berpakaian rapi itu.
Di sana, aku bisa mengerti. Tertanda jelas tanggal dan waktu gugurnya ayahku. Sekarang aku benar-benar paham, Ibu melarangku secara tidak langsung agar tidak mengikuti jejak Ayah, agar tidak bernasib sama seperti Ayah. Ibu selalu berkata, kalau ayahku sedang pergi berperang, tanpa mengikut sertakan kenyataan jika Ayah telah gugur dalam perang. Dan sepertinya aku sudah salah mengagumi orang. Sejak kecil hingga terbongkarnya kenyataan yang ada, aku hanya selalu mengagumi ayahku yang terdengar keren dan jagoan. Tanpa memperhatikan Ibu yang lebih dari kata jagoan.
End.
Aisyahir. Gadis kelahiran 2001 yang saat ini tengah menekuni dunia literasi. Menjadikan siang untuk berkarya, dan malam untuk belajar. Ig: Aisyahir_25.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata