Kasih yang Hilang
Oleh: Asrunalisa
Kembali kupijakkan kaki di tanah desa yang indah nan asri. Angin semilir menggodaku dengan embusannya yang lembut dan menyejukkan. Dedaunan bergoyang seakan menyambut kedatanganku kembali. Tanpa terasa lima tahun sudah berlalu, aku meninggalkan desa ini. Mencoba menjauh dan membuang luka lama yang pernah mengoyak hati.
Langkah demi langkah kutelusuri jalan setapak itu. Aku sangat merindukan Ibu. Dosakah aku meninggalkannya seorang diri selama lima tahun silam, dikarenakan kepergianku yang hanya ingin menguburkan kenangan pahit dan kelam.
“Mak, apa salah Aisyah, Mak? Kenapa mak selalu….”
“Jangan panggil aku mak. Aku ini bukan makmu. Aku muak akan kehadiranmu di sini.”
“Tapi, Mak….”
Aku terperanjat mendengar suara tangisan seorang anak dari sebuah rumah panggung di pinggir hutan yang sedang kulewati. Terdengar juga suara pecahan piring dan bantingan pintu. Ada apa gerangan yang terjadi. Kucoba mengintip dari balik semak-semak. Terlihat seorang balita yang sedang duduk membenamkan wajahnya sambil menangis tersedu seakan membutuhkan perlindungan.
Aku mencoba mendekat. Bukan maksud ingin mencampuri urusan rumah tangga orang. Tapi aku tidak tega melihat seorang balita dilempari benda-benda dan dipukul dengan sapu lidi. Tubuhnya pun dipenuhi lebam. Apa kesalahan yang telah ia perbuat sehingga ibunya berbuat demikian. Belum sempat aku mengeluarkan suara, anak itu malah berlari menjauh. Air bening yang begitu deras membasihi wajahnya. Dengan tertatih-tatih ia terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Entahlah.
***
Seiring berjalannya waktu, aku sering melihat perlakuan yang tidak wajar, yang dilakukan oleh seorang ibu pada sang anak. Wanita itu merupakan seseorang yang pernah berlabuh dan menghiasi hatiku. Suaminya seorang saudagar kaya, namun dia jarang sekali pulang menjenguk anak dan istri mudanya itu. Sosok pria tua itulah yang telah merampas kebahagiaanku dengan Sonia—seorang ibu yang selalu menyiksa anaknya tanpa belai kasihan.
“Om, kenal sama, Mak?” suara Aisyah mengejutkanku.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum pada gadis cilik yang malang itu. Kami duduk bersebelahan di tepi balai surau. Ternyata selama ini Aisyah sering ke sini untuk menyendiri. Hari-hari yang dilaluinya begitu menyedihkan. Pulang ke rumah pun dia selalu disiksa oleh ibunya, terkadang makan saja tidak disisakan. Aisyah pernah bilang, dia sering makan nasi kerak yang sudah direndam oleh ibunya. Itu terpaksa ia lakukan karena perutnya sering keroncongan.
“Kalau Om kenal, tolong bilang sama Mak, Aisyah sayang Mak. Aisyah pengen tidur sama Mak, belajar mengaji sama Mak. Shalat bersama, dan makan sama Mak. Aisyah mau dipeluk oleh Mak, walau sebentar saja.”
“Iya, boleh, nanti Om sampaikan, ya. Yang penting sekarang, hapus air mata Aisyah dan selalu tersenyum.”(*)
Tentang Penulis:
Asrunalisa, wanita yang suka membaca dan selalu mencoba menuangkan imajinasinya dalam bentuk rangkaian kata. Lahir di tanah serambi mekkah, 6 Mei silam. Mencoba kuat dalam menjalani kehidupan, dengan tersenyum semua itu tidak terasa berat. Selalu berusaha menebar kebaikan, karena itu merupakan sebagai pengingat bagi dirinya sendiri. FB: Asrunalisa Asnawi
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata