Kasih Tak Sampai

Kasih Tak Sampai

Kasih Tak Bertepi
Oleh : Dewi

Seorang perempuan berkemben serta tiga anaknya menangis tersedu-sedu di sebuah rumah. Mereka duduk di tanah mengelilingi sebuah bale kayu. Sesosok tubuh laki-laki terbaring kaku di atasnya dengan beberapa bagian tubuh telah menghitam. Terutama pada ujung kaki.

Sesekali terdengar jeritan dari perempuan berkemben itu. Bisa jadi, ia masih tak rela ditinggal oleh kepala keluarganya. Sementara itu, salah seorang anak perempuannya menggoyang-goyang tubuh lelaki yang baru meninggal beberapa saat lalu.

Dokter Amsel Meyer mendesah saat menyaksikannya. Ia memutuskan keluar dari rumah yang terbuat dari anyaman bambu itu. Bukan pertama kalinya lelaki itu mendapati pemandangan miris seperti tadi. Kematian dan tangisan adalah santapannya sehari-hari begitu menjejakkan kaki di tempat ini.

Lelaki itu berkacak pinggang sembari menggeleng. Air matanya hampir saja tumpah. Ia mengedarkan pandangan ke cakrawala. Senja jatuh sempurna di Sengguruh–tempat ia berada sekarang. Sepasang mata birunya lalu menyapu sekitar. Suasana desa senyap. Sebagian besar penduduk mati. Menyisakan sedikit orang yang mampu bertahan.

“Dokter Meyer ….”

Seorang lelaki berpakaian beskap putih dengan kotoran yang menempel pada beberapa bagian bajunya menghampiri dokter Belanda yang sedang termangu itu. “Sebaiknya kita kembali ke balai desa. Magrib sebentar lagi tiba,” ucapnya. Wajah lelaki itu tampak letih dengan peluh membasahi keningnya.

Dokter Meyer mengangguk pelan. “Suruh orang-orang itu keluar dari rumah,” katanya sembari menoleh ke belakang. “Makamkan segera mayatnya. Kita harus membakar rumah ini untuk mengurangi penyebaran penyakit pes. Isolasi desa ini!” sambungnya. Tarikan wajahnya menegang saat memberikan perintah kepada bawahannya itu.

“Ba … ik.” Koesma–sang mantri kesehatan–sedikit tergugup. Kesekian kalinya perintah untuk membakar rumah keluar dari Dokter Meyer.

Saat kaki mereka berdua hendak beranjak, terdengar suara teriakan dari depan. Seorang lelaki bertelanjang dada dengan kulit kecokelatan karena terpanggang matahari tergopoh-gopoh mendatangi mereka. Napasnya tersengal-sengal. Wajahnya dipenuhi ketakutan.

“Tu … Tu … an, tolong kami. Di rumah yang sudah kami bakar terdengar tangisan suara bayi. Kami tak berani memasukinya!”

Lelaki itu memutar tubuh. Telunjuknya tertuju ke sebuah arah.

Ucapan lelaki itu seketika membuat Dokter Meyer dan Koesma tercengang.

Godverdomme!” pekik dokter berkumis lebat itu.

Mereka bertiga bergegas lari menuju rumah yang dimaksud. Dari kejauhan, tampak asap hitam mulai membumbung. Dua orang lelaki dengan raut muka cemas mematung di depan rumah. Api mulai melahap satu per satu bagian rumah dari anyaman bambu itu.

“Mengapa kalian hanya mematung di sini?”

Teriakan sang dokter membuat wajah kedua lelaki itu pucat pasi. Mereka membeku di tengah hawa panas yang menyelubungi sekitar. Tak mampu menjawab pertanyaan Dokter Meyer.

“Dokter Meyer, mau ke mana?” Koesma memegang bahu lelaki itu ketika sang dokter hendak melangkah menuju rumah yang terbakar.

“Menolong bayi itu, Koesma!” sergah lelaki yang memakai jas tutup itu.

Dokter Meyer bergegas memasuki rumah yang terbakar. Ia menutup hidungnya supaya tak menghirup asap. Bola matanya bergerak liar mencari sumber suara tangisan bayi.

Sementara Koesma yang menunggu di luar mulai khawatir. Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk menyusul atasannya itu. Masuk ke rumah anyaman bambu di depannya.

Koesma melangkah ke dalam. Namun, pandangannya tersapu asap. Tak butuh waktu lama, sepasang matanya menangkap sosok Dokter Meyer yang sedang menggendong seorang bayi. “Dokter Meyer, kita harus segera keluar!” teriaknya. Berharap agar lelaki itu mendengar suaranya.

Dokter Meyer memandang ke arah Koesma. Ia mengangguk lemah.

Hampir sebagian anyaman bambu yang menjadi dinding rumah telah terbakar. Begitu pula dengan kayu yang menjadi penyangga rumah. Sedikit demi sedikit dilalap jago merah lalu berjatuhan.

Nyali Dokter Meyer menciut mendapati pemandangan di sekitar. Matanya mengarah ke atas. Kayu penyangga utama terbakar dan siap jatuh. Secepatnya, ia berusaha mencapai posisi Koesma yang berada di dekat pintu.

Sembari mendekap erat bayi perempuan yang berada di gendongan, Dokter Meyer berusaha keluar. Tubuhnya yang kurus dan tinggi itu dengan gesit menghindari kobaran api. Hampir saja sebuah kayu yang jatuh menimpanya jika saja Koesma tidak berteriak memperingatkannya. Dokter kulit putih itu pun berhasil mencapai posisi Koesma. Segera, mereka berdua keluar.

Tangisan bayi masih menggema beriringan dengan langit yang berangsur gelap. Dokter Meyer berusaha menenangkan bayi yang sedang didekapnya itu. Namun, sia-sia. Tangisnya makin menjadi-jadi. Syukurlah, tak berapa lama, bayi itu lalu memasukkan jemarinya ke dalam mulut.

Tak terdengar lagi suara tangis. Meskipun begitu, raut muka Dokter Meyer masih terlihat keruh. Ia masih mengkhawatirkan bayi yang digendongnya. Hingga sebuah pikiran tebersit di benaknya.

“Koesma, bawa segera bayi ini ke rumah Minah. Suruh dia menyusui bayi ini,” perintahnya. Dokter Meyer teringat akan salah seorang penduduk desa ini yang kemarin sempat diperiksanya. Minah, perempuan itu juga mempunyai bayi berumur lima bulan.

Sejenak, Koesma terdiam. Tangannya kemudian meraih bayi itu dari gendongan sang dokter. Lelaki itu kemudian bergegas menuju rumah yang berada dekat balai desa yang berjarak sekitar seratus meter dari tempat dia berada saat ini.

Dokter Meyer masih menatap kepergian Koesma hingga sosok laki-laki itu menghilang dari pandangannya. Lelaki berumur 40 tahun itu menggeleng. Ia masih belum memercayai apa yang baru saja dilaluinya.

Tiga hari sudah ia menjadi dokter relawan untuk membantu menangani wabah pes yang sedang menggila di wilayah Malang ini. Tanpa alat pelindung maupun perlengkapan memadai, ia bersama Koesma nekat memasuki desa yang sebagian besar penduduknya mati.

Malam makin larut.

Semula, atas nama kemanusiaan, Dokter Meyer mencoba mengajak beberapa kenalannya sesama dokter Belanda untuk turun ke lapangan. Namun, orang-orang itu justru mencemooh niat baiknya. Dokter Meyer mungkin lupa. Berbeda dengan ia yang selama ini tak pernah memilih saat hendak menerima pasien. Para dokter kulit putih itu hanya mau menerima pasien sesama Eropa atau dari kalangan berada saja.

***

Dokter Meyer memandang teduh Pestiwati. Ya, lelaki berdarah Yahudi itu menyematkan nama itu kepada bayi berumur lima bulan yang tampak tertidur pulas di gendongannya. Ia memutuskan untuk mengangkat bayi malang itu. Evelyn pasti bahagia. Dokter Meyer membatin. Dua puluh tahun sudah usia pernikahan mereka, tetapi Tuhan belum berkehendak menitipkan seorang anak pun kepada pasangan suami-istri itu.

Seminggu sudah mereka berdua menunaikan tugas di Sengguruh. Kini, mereka berdua menaiki kereta api. Bermaksud kembali ke kota. Sesekali tangan sang dokter melindungi wajah Pestiwati dari embusan angin yang melalui celah-celah jendela kereta dari tiang besi tipis yang berjejer.

“Apakah setelah ini, kita akan langsung bertugas lagi ke desa, Dokter Meyer?” Suara Koesma memecah keheningan sejak kereta berangkat dari Stasiun Kepanjen.

“Tentu, Koesma. Apa kau keberatan?” Dokter Meyer balik bertanya. Dahinya membentuk lipatan.

“Tentu saja tidak. Ini sebuah kehormatan bagi saya untuk mendampingi Dokter.”

Koesma tersenyum tipis. Sepasang matanya menatap lekat sosok yang duduk di depannya. Syukurlah, masih ada manusia kulit putih yang berhati baik bersedia memeriksa dan mengobati bumiputra yang terkena pes. Dalam hati dia merasa beruntung bertemu Dokter Amsel Meyer ketika hendak menuju Sengguruh. Kebetulan mereka satu kereta.

Sementara itu, Dokter Meyer menerawang jauh ke luar jendela. Pandangan matanya jatuh kepada sawah yang terhampar sepanjang rel. Dia hanya bisa membatin. Andai saja sejak awal pemerintah kolonial serius menanggapi korban-korban yang mulai berjatuhan sejak tahun lalu. Bisa jadi warga pribumi yang meninggal tak akan sebanyak ini.

“Negeriku sungguh kejam terhadap kalian, Koesma.”

Koesma menengadah setelah kupingnya mendengar kata-kata Dokter Meyer. Ia yang mulanya menunduk dan berusaha memejamkan mata seketika tersenyum kecut. Tarikan wajahnya muram. Hatinya membenarkan perkataan sang dokter.

“Bukankah hal ini sudah berlangsung lama, Dokter Meyer? Entah sampai kapan mereka seperti ini kepada kami. Padahal negeri ini telah banyak menyumbang kemakmuran untuk negeri Dokter nun jauh di sana.” Koesma berucap pelan. Ia tak ingin lelaki yang dihormatinya itu tersinggung.

Dokter Meyer mencoba meredakan dadanya yang sedang bergemuruh. Laki-laki itu tahu, Koesma tak bermaksud menyindir. Ia merasa pertanyaan yang diajukan lelaki mengenakan blangkon batik itu tak membutuhkan jawaban. Kata-kata yang baru didengarnya tadi hanya sebuah penguatan untuk memastikan apa yang telah terjadi. Kembali, Dokter Meyer mengarahkan matanya keluar. Hamparan sawah telah berganti dengan rerimbunan tanaman tebu.

Negeri ini memang kaya. Sayangnya pemerintah Belanda sulit untuk berempati kepada bumiputra yang telah membawa kemakmuran kepada negeriku.

Dokter Meyer kembali merutuki negerinya yang telah kehilangan rasa kemanusiaan. Namun, sebagai manusia, ia tak ingin kehilangan rasa itu juga. Senyum samar menghias bibirnya. Matanya lekat menatap Pestiwati.

 

Editor : Lily

 

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply