Kartini
Oleh: Mila Athar
Jari-jari itu telah mulai mengeriput. Titik-titik keringat mengucur di wajah dan tubuhnya. Tubuhnya mulai mati rasa. Meski begitu, tangan-tangan tua itu masih sibuk mengeruk butiran pasir di dasar sungai dengan sekop. Tumpukan pasir telah menggunung di bantaran sungai. Perempuan dengan rambut yang sudah memutih itu memutuskan untuk segera keluar dari air. Dia menyadari, kondisi tubuhnya meminta untuk diistirahatkan. Dia segera naik ke pinggir sungai dan mengistirahatkan badannya di atas batu-batu yang berjajar untuk sejenak menghela napas.
Bunyi gemericik air sungai yang mengalir adalah teman karibnya selama ini. Nyanyian burung pipit di pohon jati adalah simfoni yang memberikan semangat baginya setiap hari. Beberapa ikan yang sering wara wiri di sekitarnya mampu sedikit mengusir penatnya. Sungai ini adalah sebagian napas kehidupan bagi perempuan berhati baja sepertinya.
“Sudah selesai, Kar?”
Lamunan terputus ketika suara seseorang menggema di gendang telinganya. Dia mengalihkan pandangan dan mendapati Surti tetangga sebelah rumah tengah berjalan ke arahnya. Ada baju-baju kotor di belakang punggungnya.
“Belum, Sur. Lagi ngaso sebentar,” jawabannya disertai getaran karena badannya yang mulai menggigil.
“Kar, mending pulang wae. Badanmu wis nggigil ngono. Lagian tadi aku sempet lihat, Wira anakmu mengamuk di belakang rumah.”
Mendengar perkataan Surti, Kartini segera bergegas memberesi semua peralatan. Wira, satu nama yang selalu bisa menimbulkan goncangan dalam hatinya. Badan tua itu dengan langkah agak terseok segera naik untuk menuju perkampungan. Butuh beberapa menit untuk sampai ke gubuknya. Tak dihiraukan pakaian basah yang sudah membuat gigil di tubuhnya semakin menjadi.
Sambil berjalan, ingatannya berlari mundur saat Wira berusia 90 hari. Saat itu bayi kecilnya panas tinggi dan tak kunjung reda. Hal yang bisa dilakukannya hanyalah memberikan selembar daun di kening bayi tampan itu. Hingga tengah malam, kondisi panasnya tak kunjung reda. Kartini yang panik segera bergegas membawa Wira ke bidan desa. Belum sempat kakinya mencapai pintu, tiba-tiba kakinya terpeleset dan membuat bayinya terpental dan jatuh mengenai daun pintu. Kartini hanya mampu menjerit dan tiba-tiba semuanya gelap. Kenyataan pahit yang akhirnya menimpa Wira. Sejak saat itu, rasa bersalah menggelayuti. Kartini akan memikulnya seumur hidup. Mungkin semua itu adalah buah dari perbuatannya semasa muda.
Gubuk beratap rumbia itu mulai terlihat. Kartini mempercepat jalannya. Dengan tergopoh, dia segera menuju kamar Wira. Kartini terperanjat. Saat masuk, kondisi kamar seperti kapal pecah. Barang-barang berserakan di mana-mana. Selimut dan bantal sudah teronggok di ujung amben[1]. Kasur tipis mereka telah koyak dan beberapa kapasnya berhamburan ke luar. Bau pesing juga menguar dari kamar tersebut.
Kartini segera bergegas dan mencari Wira ke seluruh bagian rumah. Beberapa sudut rumah diperiksanya, namun hasilnya nihil. Dia menyesal meninggalkan Wira seorang diri di rumah. Kartini tiba-tiba tersentak, bagian dapur belum diperiksanya. Detak jantungnya berpacu ketika langkahnya menuju dapur. Benar saja, ia mendapati putranya terduduk di depan tungku dan nampak sedang menimang sesuatu. Belum sempat Kartini bersuara, bau asap tiba-tiba menusuk hidungnya. Daun kelapa yang susah payah ia kumpulkan telah dilalap si jago merah. Wira yang berada paling dekat tampak tersenyum ceria dan bertepuk tangan seolah-olah sedang menonton pertunjukan menarik.
Kartini yang panik segera menghampiri Wira, sesak mulai ia rasakan di paru-parunya. Namun, Wira bergeming. Lelaki bertubuh bongsor tersebut, tak beranjak sedikit pun. Teriakan Kartini bahkan tak digubris. Jilatan api mulai membesar dan dengan cepat menyambar atap rumahnya.
Titik-titik air mata Kartini mulai menetes. Tanpa pikir panjang, dia segera menarik tangan Wira. Namun, sekali lagi Wira tak menggubris meski ia sudah mulai terbatuk-batuk. Tenaga tuanya tak sebanding dengan kekuatan putra semata wayangnya.
Tiba-tiba sesuatu yang berat dan panas menghantam punggung Kartini. Panas dia rasakan di beberapa bagian tubuhnya. Tubuhnya tersungkur dan mata Kartini masih sempat terbuka dan ia melihat Wira semakin berteriak kesenangan.
“Mbok, ebat. Mbok, ebat.”
Tepuk tangan dan celotehan Wira yang kurang jelas bercampur air liur menetes menutup pemandangan terakhir Kartini. Sebelum menutup mata Kartini tersenyum, beban hidup yang dipanggulnya akhirnya telah diminta oleh Pemilik-Nya. Setidaknya, sebelum ia menutup mata, putranya tersenyum begitu ceria. Ia berharap Wira tak menyusulnya ke alam baka.(*)
Catatan:
[1] amben: Tempat tidur
Mila, biasa menggunakan nama pena Mila Athar. Gadis Jawa yang saat ini masih belajar menulis. Memiliki keinginan bisa menebar manfaat lewat tulisan. Sangat suka membaca. Baginya membaca bukanlah hobi tapi menjadi bagian dari kewajiban. Membaca juga merupakan asupan gizi bagi seorang penulis. Saat ini sangat berharap bisa bergabung lewat berbagai forum kepenulisan untuk memperkaya wawasan dalam dunia tulis menulis. Jika ingin berteman bisa lewat FB: Mila Athar
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata