Karma Cinta
Oleh: Zufarie Mariyanto
Ada banyak wanita yang aku kencani. Tapi hanya satu yang ada di hati.
***
Langit sore sedang bernostalgia, mengenang hadirnya sinar mentari yang merangkak perlahan di kaki langit timur, tepatnya pada pagi tadi. Beberapa menit lagi semburat jingga akan tertebar di sepanjang langit barat, pertanda senja akan tiba. Saatnya mentari beralih ke peraduan dan senja memainkan peran.
Burung-burung gereja beterbangan. Berjajar rapi mengudara. Teringat bahwa sekarang adalah waktunya pulang, mengistirahatkan diri dan mengatur aktivitas apa yang bakal mereka laksanakan selain terbang, dan terus terbang.
Haris masih berkumpul bersama teman-temannya di sebuah warung kopi yang terletak di tepi persimpangan jalan kota, tepatnya di jalan Rajawali. Suara gelak tawa mereka dengan bisingnya suara kendaraan beradu menjadi satu. Sebentar-sebentar mereka meminum kopi, sebentar-sebentar membahas isu-isu yang membuat mereka lupa waktu.
Dalam otak Haris tak lepas dari memikirkan aktivitasnya setiap malam, berkencan dengan beberapa wanita yang dia kenal. Bahkan yang baru kenal sekalipun. Kebanyakan wanita-wanita itu adalah dari kalangan rendah finansial namun cantik wajahnya, atau dari kalangan kaya yang tergila-gila dengan ketampanana Haris, tubuhnya yang atletis, mobil Avanza, dan juga kata-kata gombal sebagai pelengkapnya. Ke mana-mana berpenampilan layaknya seorang konglomerat. Padahal itu semua milik ayahnya, Tuan Tirta, seorang bos besar dari perusahaan Bagaskara Group.
Mungkin hanya warung kopi sederhana inilah yang menjadi muara dari segala emosinya, juga tempat persembunyian sewaktu para bodyguard ayahnya sedang mencari keberadaanya. Hidup Haris hanya dihabiskan untuk menghambur-hamburkan uang ayahnya, pergi ke diskotek, membelanjakan barang-barang mahal permintaan wanita yang dikencaninya, menyatakan cinta pada wanita yang diincarannya, menebar kata-kata romantis yang mampu membuat setiap wanita yang mendengarkan jatuh hati. Kemudian jiwanya serasa melayang hingga ke luar angkasa. Dan satu lagi, mengencani mereka kapan pun yang dia inginkan.
Memang dirinya tak pernah memandang status sosial untuk para wanita yang pernah dkencaninya itu. Wajah cantik dan tubuh indahlah yang menjadi prioritasnya. Kebetulan malam nanti dia akan berkencan dengan dengan salah satu wanita yang baru dia kenal empat hari yang lalu. Rupanya wanita tersebut terbius dengan kata-kata Haris yang dilontarkan lewat chat WhatsApp dengan emoticon termanis.
Luar biasa!
Hanya dengan lontaran kata-kata, emoticon dan suaranya lewat voice note, dia bisa dengan mudah melakukan kesenangannya itu. Kegemarannya—merayu—akan terus dia lakukan pada setiap wanita yang diinginkannya. Menurutnya bermain-main dengan seorang wanita adalah kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Jika tidak, maka jiwanya akan terasa hampa.
Semua itu muncul setelah dia berusia 25 tahun. Tepat ketika dirinya merasa tertipu atas ulah kekasihnya yang memutuskan untuk hidup dengan pria lain. Barangkali ini semua dia lakukan sebab rasa sakitnya yang tak tertahankan. Sejak itu juga dia menjadi pemalas. Padahal ayahnya membangga-banggakan kalau dia akan menjadi pengganti sebagai direktur utama di perusahaan Bagaskara Group. Namun itu semua hanya menjadi angan-angan saja bagi ayahnya. Dia terlampau tak mempercayai putra pertamanya itu.
Malam ini dia berdandan rapi, dengan pakaian bergaya kasual, sepatu kets, dan bertopi. Tak lupa mobil Avanza berwarna silvernya yang terparkir di garasi rumah segera dia pacu dan berjalan menuju kafe Twilight. Salah satu kafe ternama yang ada di kota ini.
Setibanya dia di kafe tersebut, terlihat seorang wanita cantik dengan rambut kecokelatan yang terurai, bergaun tanpa lengan, make up sekadarnya saja, memakai high heels, dan tas menggantung di lengan kirinya. Dia sedang berdiri di depan di kafe itu. Tangannya melambai tanda dia kegirangan. Senyum manisnya begitu menawan di mata Haris. Namun itu semua hanya sebatas hiburan saja—bagi Haris. Tak lebih dari sekumpulan mawar segar yang dibuat hiasan di meja depan rumah, lalu dibuang ketika layu dan mulai mengering.
“Halo …,” sapa Haris. Tangannya melambai.
Senyum wanita itu semakin melebar. Matanya berkaca-kaca. “Hai ….”
“Oh ya, maaf ya nunggu lama. Abis aku terbayang wajahmu terus sih, jadi lama deh.” Haris mulai melancarkan aksinya.
“Ih, kamu bisa aja.” Tangan wanita itu mencubit lengan Haris.
Mereka memasuki kafe Twilight. Sementara Haris mendekap bahu wanita itu, dan tak henti-hentinya melontarkan rayuannya. Telinga wanita itu hingga geli dibuatnya. Tapi hatinya teramat bahagia. Nampaknya wanita itu sudah termakan dengan jururs-jurus andalan Haris.
Wanita itu adalah orang kesembilan yang telah teracuni oleh rayuan maut Haris. Dia tebar virus-virus cinta sesuka hatinya. Kemudian para wanita yang berhasil terjangkit virus tersebut dia tinggal begitu saja.
“Kamu cantik sekali malam ini. Dan aku suka lihat kamu dandan seperti ini. Seperti seorang putri raja.”
“Terima kasih. Ngomong-ngomong kerajaan mana ya?”
“Kerajaan hatiku,” jawabnya genit.
Sontak saja wanita itu kegirangan. Kini giliran Haris bermain mata. Jurus ini dia lakukan pada semua wanita yang pernah dikencaninya. Anehnya ia tak pernah ketahuan mengencani wanita sebanyak itu.
Entah besok atau seminggu kemudian wanita mana lagi yang akan dia gandeng.
***
Di tengah heningnya malam, mata Haris terus memandangi foto dalam bingkai. Bibir tipisnya tersenyum. Pandangannya itu seperti menanamkan sebuah harapan yang benar-benar ingin dicapainya. Seorang wanita yang berwajah tak begitu cantik, namun tatapan matanya amat teduh. Membuat Haris merasa terlepas dari segala masalahnya, termasuk kegemarannya yang tak lazim itu dan masalah mantannya. Dia rindu berada di samping Aryani, satu-satunya wanita yang ada di hatinya saat ini. Baginya Aryani adalah wanita yang luar biasa.
Aryani adalah putri pemilik warung kopi yang biasa Haris kunjungi bersama teman-temannya. Dia seorang guru di sebuah sekolah dasar luar biasa (SDLB) milik guru SMA-nya sekaligus sebagai relawan di Rumah Belajar Pelangi, sebuah tempat belajar yang menampung para anak jalanan yang terlantar di sekitar kota ini. Kebaikan hati Aryani dan kesantunan sikapnya membuat jiwa Haris sejuk ketika berada di sampingnya. Haris mulai mengenalnya ketika dia melayani para pelanggan di warung kopi milik ibunya, termasuk dia dan teman-temannya.
Awalnya Haris sama sekali tidak tertarik dengan wanita yang berpenampilan amat sederhana itu. Namun di suatu ketika mereka tak sengaja berpandangan mata. Hati Haris merasa damai, lalu dia mendekati Aryani, berteman, dan berlanjut ke sebuah hubungan percintaan.
“Aryani, kekasihku. Sungguh ada banyak wanita yang aku kencani. Tapi hanya satu wanita yang dapat membuat hatiku merasa tertaklukan. Wanita itu adalah dirimu, Aryani,” ucap Haris dalam hati sembari terus memusatkan pandangannya pada foto Aryani.
Akhir-akhir ini Haris memang tak pernah melihat Aryani di warung kopi langganannya. Selang empat bulan ini dia juga tak mengunjungi warung kopi itu. Rupanya dia mulai sadar diri. Dia merasa tak pantas bersanding dengan wanita yang sangat dicintainya itu jika masih dengan kebiasaan buruknya. Pelan-pelan dia mulai mengubah kebiasaannya, menyusun rencana ke depan, menekuni pekerjaannya sebagai manajer pemasaran di Bagaskara Group. Dia tahu ayahnya bakal menjadikan dirinya sebagai direktur utama. Maka dari itu Haris mulai bersungguh-sungguh mengikuti bimbingan ayahnya. Harapan terbesarnya ialah dapat menikah dengan Aryani. Dapat hidup bahagia dan terlepas dari segala beban batin dan kebejatan moralnya.
Agaknya cintanya begitu tulus dengan wanita itu.
***
Sekuntum bunga tulip berwarna merah muda yang terbungkus rapi, lengkap dengan pita berwarna merah muda pula terus menerus Haris pandangi. Pagi ini Haris sangat bersemangat. Dia akan menemui Aryani di warung kopi yang telah lama tak dikunjunginya. Terlintas di pikirannya bahwa kekasihnya itu pasti sangat merindukannya setelah berbulan-bulan tak bertemu dan hanya berkomunikasi lewat ponsel. Namun Haris heran, sebulan belakangan Aryani mulai jarang menghubunginya. Juga jarang membalas pesan darinya. Setiap ada panggilan darinya pasti ditolak oleh Aryani. Masalah ini membuat hatinya terguncang. Haris sama sekali tak pernah mengaitkan kejadian ini dengan kegemaran bejatnya selama ini.
Mobil dipacu dengan cepat menuju warung kopi langganannya. Air mukanya panik tak keruan. Tatapan matanya terus menajam ke depan. Alisnya beradu bak dua garis yang bersikeras ingin menyatu.
Hari ini aku harus bertemu dengan Aryani, demikian kata hatinya.
Ketika sampai di persimpangan jalan Rajawali, yang tak lain lokasi warung kopi ibu Aryani, Haris cepat-cepat membuka pintu Avanzanya. Berjalan memasuki warung dan langsung nyelonong ke dalam dapur. Ibu Aryani terkejut bukan main atas kedatangan Haris yang tiba-tiba berdiri tegak di belakangnya.
“Astaga!” Matanya seketika melebar.
“Maaf, Bu. Saya mengagetkan.”
“Ah, tidak apa-apa. Oh ya lama sekali Nak Haris tidak ke sini?” tanya ibu Aryani dengan nada akrabnya.
Haris tersenyum tipis, tapi agak getir. “Emm iya, Bu. Ada banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan.”
“Wah, lama tak ke sini, Nak Haris bikin Ibu pangling. Penampilannya beda jauh dengan yang dulu.” Mata wanita paruh baya itu menelisik lebih dalam lagi.
“Memangnya sekarang gimana, Bu?”
“Lebih rapi. Dan pastinya tambah ganteng saja.”
Haris kembali tersenyum. Bibirnya yang tebal itu sedikit digigitnya. Matanya mengitari beberapa sudut ruangan. Mencari-cari seseorang yang biasa membantu ibunya melayani para pelanggan di warung ini.
“Oh ya, Aryani di mana, Bu? Kok tidak bantu Ibu?”
“Memangnya Nak Haris belum tahu?”
“Apa?”
“Aryani, kan sudah menikah. Masak Nak Haris sebagai teman akrabnya sama sekali tidak tahu. Kemarin pas pernikahannya juga Nak Haris tidak datang.” Dengan santainya ibu Aryani memberi kabar tentang putrinya. Dia belum mengetahui bahwa Aryani dan Haris adalah sepasang kekasih.
“A—apa? Sudah menikah?”
Bagai sembilu yang seketika tumbuh di hatinya, perih sekali meski tak berdarah. Ingin dibalikkan saja pikirannya itu agar tak teringat dengan kata-kata wanita paru baya yang ada di depannya.
“Lalu sekarang di mana dia, Bu?” Haris bertanya seakan-akan tak terjadi apa-apa.
“Seperti biasanya, mengajar anak-anak di Rumah Belajar pelangi.”
“Oh, ya sudah, Bu. Terima kasih.”
Belum sempat ibu Aryani membalas ucapan terima kasihnya, Haris bergegas mengeluarkan diri dari warung kopi itu dan memacu kembali mobilnya menuju Rumah Belajar Pelangi. Haris tak pernah berpikir sebelumnya bahwa perasaannya akan tersakiti untuk yang kedua kalinya. Pikirannya tak keruan. Bahkan di tengah perjalanan dia hampir saja menabrak motor yang ada di depannya. Untungnya dia tak sampai berurusan dengan pihak yang bersangkutan.
Di dalam salah satu dari deretan ruang kelas Rumah Belajar Pelangi, dia melihat segerombolan anak kecil melingkar, menyanyi dengan riang. Raut wajah bahagia mereka tak bisa terbantahkan lagi dalam pandangan Haris. Sementara di tengah-tengah mereka berdiri seorang wanita dengan rambut hitam sebahu, matanya berbinar-binar, bibirnya menuntun anak-anak itu untuk menirukan kata-katanya. Ditepuk-tepukkan tangannya dengan keras. Raut wajahnya terlihat segar sekali, seperti terlepas dari beban berat yang telah menimpanya. Wanita itu tak lain ialah Aryani.
Haris perlahan mendekati segerombolan anak-anak kecil itu. Sebisa mungkin hari ini dia harus mendapatkan penjelasan dari Aryani. Mengapa wanita itu tiba-tiba meninggalkannya dengan pria lain tanpa memberi kabar meski sekadar lewat ponsel.
“Aryani.”
Aryani menoleh. Tatapan matanya sekejap menajam. Wajahnya yang tadinya tersenyum melihat tingkah lucu para anak didiknya itu sekejap berubah, saat matanya menatap wajah Haris yang berdiri tegak di belakang salah satu dari mereka.
“Adik-adik, sementara ini kalian belajar sendiri dulu ya …. Nanti kita lanjut lagi.” Aryani berusaha terlihat ceria.
Ramai-ramai mereka menjawab, “Baik, Kak.”
Wanita itu berjalan menuju ke arah barat. Tepatnya di rest area yang berjarak 20 meter dari samping kiri Rumah Belajar Pelangi. Langkah kaki Aryani sengaja dipercepat, gerakan tubuhnya kaku sekali. Tak gemulai seperti biasanya yang dia tunjukkan ketika mengadakan pertemuan dengan Haris. Ini adalah kali pertama Haris melihat raut muka Aryani penuh dengan kemarahan.
“Aryani, tunggu!” Haris mencegah. Menggenggam erat tangan Aryani.
Perbuatan Haris itu pastinya sangat tak pantas dilakukannya terhadap wanita yang telah bersuami.
Aryani mengibaskan tangannya dan menajamkan pandangannya. “Lepaskan! Jangan dekat-dekat atau aku akan pergi!”
“Tunggu, mengapa jadi seperti ini? Mengapa kamu meninggalkanku begitu saja tanpa ada kabar sedikit pun?”
“Masih pantaskah kamu menanyakan hal itu di depanku?”
“Memangnya aku salah apa?”
“Dasar dungu!” Mata Aryani terbelalak. Tampak sekali kemarahannya memuncak. “Kamu kira, aku ini wanita macam apa? Aku bukan boneka! Aku bukan wayangmu yang bisa kamu permainkan sesukamu! Lebih baik kamu pergi sana, urusi saja para kekasihmu itu!”
“Ba—bagaimana kamu bisa tahu?” Haris semakin terpojokkan.
“Aku bukan wanita bodoh yang bisa kamu bohongi. Aku tahu dan sadar kalua aku dilahirkan dari keluarga miskin. Aku tak pantas bersanding denganmu, seorang calon direktur dari perusahaan ternama. Tapi tak berarti aku bisa dengan mudah kamu permainkan sesuka hatimu, Tuan Haris Tirta!”
“Tapi cintaku tulus, Aryani. Aku tak pernah memedulikan statusmu. Bahkan aku telah menyusun harapan-harapan indah yang akan kucapai bersamamu. Hanya bersamamu.”
“Tak usah membual! Tak usah berbicara tentang ketulusan jika hatimu sendiri buta akan kebenaran.”
Pertikaian itu terus berlanjut hingga wajah Haris memerah. Dan Aryani meneteskan air mata. Terlihat amat jelas jika Aryani tak tahan dengan kehadiran Haris. Ingin sekali cepat-cepat dia hengkang dari tempat itu.
Tak lama kemudian Haris melempar pandangannya ke arah seseorang yang baru datang dari arah belakang Aryani. Ternyata orang itu adalah Alan, teman Haris dulu semasa dia masih kuliah. Mereka cukup akrab. Melihat mata Haris yang memandang ke arah Alan, maka Aryani juga ikut menoleh ke belakang. Kakinya berlari ke arah Alan dan langsung memeluk erat-erat pria itu sembari menangis tersedu-sedu.
Haris bingung bukan kepalang. Bibirnya tak sanggup lagi berkata apa-apa.
Alan segera menenangkan Aryani, tapi Aryani tak ingin melepaskan pelukannya, seakan-akan meminta perlindungan. Dia menyandarkan kepalanya di dada pria yang sekarang menjadi suaminya itu.
“Kau apakan istriku?”
“Apa? Dia istrimu?”
“Ya, kenapa? Kau tidak suka?”
“Jelaslah aku tidak suka. Dia itu kekasihku.”
“Dia adalah wanita kebanggaanku, dan tak pantas mendapatkan perlakuan bejat dari pria sepertimu. Aryani adalah wanita yang suci, yang tak seharusnya dipertemukan denganmu. Dasar pria tak tahu diri! Berani-beraninya kau mendekati wanitaku!”
“Asal kamu tahu. Cintaku tak main-main dengan Aryani. Tapi mengapa kamu rebut dia dariku? Begitu tega kamu memakan temanmu sendiri.”
“Tak main-main katamu? Coba sekarang kau pulang, bawa semua wanita yang pernah kau kencani dan kau rayu ke hadapanku sekarang juga, jika kau benar tak main-main dalam mencintai Aryani! Akan aku tanyai mereka satu per satu seperti apa bejatnya dirimu!”
Kata-kata Alan itu tak ubahnya seperti petir yang menyambar telinga Haris, hingga sekarang dia tak berdaya membalas serangan Alan yang bertubi-tubi.
“Aku melakukan hal yang benar dengan menyelamatkan wanita baik ini dari pria macam dirimu. Aku sangat mencintainya, tidak sepertimu. Sekarang terimalah karmamu. Sebuah karma yang kau tanam sendiri sebab telah mempermainkan cinta yang murni dari seorang wanita,” Alan berkata lagi dengan menatapnya tajam.
Haris tak berkutik sama sekali. Tubuh dan hatinya gemetar, begitu juga jiwanya. Dia amat menyesali perbuatannya selama ini. Melihat mata Aryani yang dulu memandang indah dirinya dan sekarang berubah menjadi sebuah kebencian, dia seakan-akan ingin mati saja di tempat itu.
Segera Alan membawa Aryani pergi, meninggalkan Haris yang limbung akan karma cinta yang sedang dia terimanya. (*)
Zufarie Mariyanto adalah nama pena dari Zuni Fatmasari. Gadis yang dilahirkan 21 tahun silam ini sekarang sedang menempuh semester 4 program studi ilmu komunikasi di Universitas PGRI Ronggolawe Tuban, Jawa Timur. Dia adalah penulis novel yang berjudul ‘Kau Seumpama Bintang Fajar’. Jika ingin mengenal lebih dekat dengan penulis, bisa dihubungi melalui akun Facebook: Zufarie Mariyanto atau email: zufariemariyanto@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita