Karma
Oleh : Ardhya Rahma
Dari sini, gerbang kokoh berwarna biru dengan garis putih di atasnya tampak bagai pintu neraka bagiku. Sekolah yang harusnya menjadi tempat bersuka ria, berubah mengerikan. Perundungan yang tak henti membuatku ingin menyerah saja.
Sejak awal aku sudah menolak disekolahkan di sini, sekolah swasta tempat kaum elit menuntut ilmu. Kelas bawah seperti aku rasanya tak pantas berada di tempat ini. Sayang, Ibu tak mau mendengar argumenku. Perbedaan kelas sosial inilah yang membuatku harus rela menerima perundungan hampir tiap hari.
Hanya satu sebab yang membuatku tetap melewati gerbang itu setiap hari. Bertemu dan berbicara dengan sahabatku, Karin. Gadis manis berambut ikal sebahu yang selalu baik kepadaku. Dia tidak pernah menganggapku sebagai “anak pembantu” yang tidak layak berteman dengannya.
Sebagai anak seorang buruh cuci, aku sempat merasa heran Ibu menyekolahkan di sini. Biaya sekolah yang mahal membuatku bertanya-tanya dalam hati. Uangnya dari mana?
“Tak usah dipikirkan. Ada beasiswa.” Pertanyaanku waktu itu hanya mendapat jawaban singkat dari Ibu.
“Beasiswa apa, Bu? Bukannya aku tidak pintar?” balasku.
“Sudahlah, yang penting kamu sudah bisa sekolah di sana,” tukas Ibu.
Selalu seperti itu jawabannya. Tidak mau menjelaskan lebih detail, seolah-olah ada yang disembunyikan Ibu. Sama seperti ketika aku bertanya di mana Bapak, jawabnya meninggal karena perang. Tidak mau menjelaskan perang apa. Akhirnya aku tidak pernah bertanya lagi. Aku takut Ibu marah atau sedih.
Sudah hari ketiga Karin tidak masuk sekolah. Kabarnya dia sakit. Anehnya saat aku menengok di rumahnya, tidak terlihat dia sedang sakit. Tubuhnya terlihat sehat, hanya saja wajahnya terlihat mendung. Dia yang biasanya ceria, kali ini tidak mau berucap apapun padaku.
Keesokan harinya aku tahu penyebab sakit Karin. Dia bercerita telah dilecehkan oleh idolanya, seorang pesohor, bintang ternama yang juga anak penguasa negeri ini. Memang bukan pelecehan seksual, tapi perundungan itu direkam dan disebar di dunia maya. Membuat Karin mengalami depresi akibat malu.
Melihat kondisinya, jelas aku tidak terima dan bermaksud melaporkan perbuatan pesohor tersebut. Sayang, Karin melarang aku membalas perbuatan bintang tenar itu.
Seminggu sudah Karin memilih menepi untuk menenangkan diri. Akhirnya dia pun masuk sekolah kembali. Karin tetap baik kepadaku dan masih terlihat ceria, meski sesekali dia terlihat melamun.
Aku sudah lupa dan tidak pernah lagi membahas perundungan yang dialami Karin, sampai dia tidak masuk sekolah kembali. Kali ini aku tidak bisa menemuinya di rumah, karena ibunya sendiri tidak tahu keberadaanya. Karin menghilang! Dia tidak bisa ditemukan di mana pun.
Pada hari ketujuh dia menghilang, tubuhnya ditemukan mengambang di sebuah sungai yang cukup jauh dari rumahnya. Namun yang lebih mengherankan, menurut polisi Karin baru meninggal tiga puluh enam jam lalu, artinya belum dua hari. Lantas ke mana selama ini Karin pergi?
Diam-diam aku melakukan penyelidikan, dan menemukan bahwa selama ini Karin menginap di sebuah hotel bintang empat. Sungguh mengherankan, dari mana dia punya uang? Karin masih berusia 15 tahun, sama sepertiku.
Penyelidikan lanjutan yang kulakukan menemui jalan buntu. Titik terang justru aku temukan setelah menerima kiriman paket darinya. Paket tersebut berisikan buku harian. Karin mengirimkannya sebelum meninggal.
Kubuka lembar demi lembar buku harian Karin. Aku tersenyum membaca lembar-lembar awal tapi semakin sedih ketika membuka beberapa lembar akhir. Bahkan, tak jarang aku harus mengepalkan tanganku membaca perlakuan yang Karin terima. Dia gadis baik, tak pantas diperlakukan seperti itu.
Tidak membuang waktu, aku segera menghubungi Reno sosok yang sangat dia idolakan sekaligus yang telah mematahkan jiwanya. Lembaran berisi nomor ponselnya kutemukan di buku harian tersebut.
“Katakan, Reno, apa yang sudah kamu perbuat pada Karin?” kataku tanpa basa-basi pada Reno yang kutemui di sebuah bangunan kosong.
“Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apapun padanya,” jawab Reno.
“Kamu membunuh Karin!” tuduhku histeris.
“Enak saja kamu bilang! Terakhir aku bertemu Karin, dia baik-baik saja. Dia bahkan sangat menikmati petualangan kami. Bilang saja kamu cemburu melihat hati dan tubuhnya dia persembahkan padaku.” Reno tertawa bangga. Dia pun beranjak pergi meninggalkanku diliputi amarah.
Seminggu kemudian rumahku didatangi polisi. Entah apa yang polisi tersebut sampaikan pada ibuku. Kulihat dia menangis ketika melihat polisi menggiringku menuju mobil dan segera menyusul ke dalam mobil.
“Ibu, kita akan ke mana?” tanyaku.
Ibu tidak menjawab pertanyaanku dan hanya mengelus kepalaku sambil menghembuskan napas dengan berat.
Akhirnya pertanyaanku terjawab. Rupanya kami dibawa ke kantor polisi. Aku bersama Ibu diantar masuk ke dalam ruangan yang memiliki satu jendela kaca besar di salah satu sisi. Persis seperti kulihat di televisi film tentang polisi.
Tak lama masuklah dua orang polisi, mereka duduk di hadapan kami.
“Tolong sebutkan nama dan umurmu, Dik,” ujar salah satu polisi.
“Kurniawan Bastian,” jawabku. “umur lima belas tahun.”
Selanjutnya kedua polisi tersebut memberikan pertanyaan secara bergantian. Pertanyaan tentang Karin dan Reno. Aku menjawab semua pertanyaan tersebut, meski tidak mengerti mengapa mereka mengajukan pertanyaan tersebut.
“Setelah kamu bertemu dengan Reno, apa yang terjadi?” tanya polisi yang usianya lebih tua.
“Saya pulang, karena sudah menjelang malam.”
“Kalau begitu, kenapa Reno bisa meninggal?” tanya polisi yang lebih muda.
“Reno … meninggal? Saya gak tahu, Pak.” jawabku sedikit bingung.
“Bagaimana bisa kamu tidak tahu. Bukannya tadi kamu mengakui baru bertemu dengannya?” cecar salah satu polisi.
“Iya, saya bertemu dengannya untuk bertanya kenapa dia menyakiti Karin, tapi saya gak tahu kenapa dia meninggal,” jawabku.
Aku mengamati dua polisi di hadapanku yang terlihat gusar. Mereka kemudian keluar dan meninggalkan aku juga ibu.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya masuklah seorang perempuan berumur lebih tua daripada Ibu. Sepertinya dia bukan polisi, terbukti sekarang dia tersenyum ramah ketika melihat kami. Dia juga menyodorkan dua minuman dingin kepada kami.
“Bolehkah aku memanggilmu Wawan?” tanya perempuan itu.
Melihat aku mengangguk, dia berkata kembali, “Wawan, tolong ceritakan pertemuanmu dengan Reno.”
“Tadi, saya sudah cerita ke Pak Polisi,” kataku.
“Iya betul, tapi saya ingin mendengar Wawan bercerita langsung kepada saya. Santai saja, ya. Anggap saja seperti cerita ke ibu kamu.”
Awalnya aku bercerita sama seperti kepada polisi tadi, tapi wanita tersebut pintar sekali memancing sehingga aku berbicara lebih banyak. Terkadang dia menyodorkan beberapa gambar dan meminta aku memilihnya. Dia terlihat mengangguk-angguk melihat pilihanku.
“Ketika kamu memukul Reno, apa yang kamu pikirkan?” tanya dia kembali.
“Aku marah pada Reno karena telah melecehkan Karin dan tak merasa bersalah. Padahal dia sudah mendapatkan semua kebahagiaan dunia. Orang tua lengkap, kaya raya dan terkenal, tapi kenapa tega menyakiti orang lain,” sahutku.
“Harusnya aku yang marah pada dunia, karena tidak menerima hak yang sama seperti dia. Tapi tidak kulakukan. Aku hanya emosi sesaat, kemudian memukul dan meninggalkannya. Aku tidak berniat membunuhnya. Karena dia kakakku! Darah kami berasal dari ayah yang sama!” Aku mengakhiri ceritaku dengan jeritan dan tangisan.
Perkataan terakhirku rupanya membuat kaget dua wanita di ruangan itu.
“Bagaimana kamu tahu tentang hal itu?” tanya Ibu.
“Sudah lama aku mencari tahu, Bu, kenapa aku bisa bersekolah di sekolah tersebut, sementara pekerjaan ibu hanya buruh cuci.”
“Aku juga sudah menemui ayah kandungku untuk meminta pengakuannya. Sayang, beliau tidak berniat mengakui aku sebagai anaknya. Sepertinya kekuasaan lebih penting baginya.”
“Mungkin itu penyebab aku marah pada Reno, tapi sungguh aku tidak berniat membunuhnya,” jawabku sambil menangis sesenggukan.
Ibu menangis mendengar pengakuanku. Kami berdua menangis lebih keras saat dua orang polisi datang memisahkan dan membawaku jauh dari Ibu, entah sampai kapan.
Surabaya, 2020
Ardhya Rahma, penulis novel Matahari untuk Aditya. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan traveling. Baginya, menulis adalah proses mengikat ilmu dan pengalaman hidup. Berharap mampu menuangkannya dalam buku yang sarat makna bagi pembaca. Penulis bisa dihubungi di akun FB @Ardhya Rahma dan IG @ardhya_penulis.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata