Karena Benci dan Cinta Datang dari Tempat yang Sama.
Oleh : Nur Khotimah
Perempuan yang sedang tergolek lemah itu menoleh, kemudian tersenyum melihat kedatanganku. Mungkin itulah senyum termanis yang kuterima sepanjang aku menjadi anaknya. Rambutnya yang kini dipotong sepundak terlihat kusut masai dan hampir semuanya memutih. Setengah badannya tertutup kain sarung lusuh dan kumal. Jangan tanya baunya, apak dan pesing. Kalau bukan karena ia ibu yang melahirkanku, mungkin aku tak ‘kan berada di sini saat ini.
“Pulanglah barang sebentar, Ibu butuh bantuan. Ayu pulang malam, katanya,” ujarnya di telepon sekitar dua jam yang lalu. Setelah hampir enam bulan aku tak menyambanginya.
Mungkin aku berada pada batas antara benci dan cinta, sebab meski aku membencinya, sisi kemanusiaanku juga tak tega membayangkannya terbujur di kasurnya sendirian. Bahkan terkadang aku takut ia mati saat tak ada siapa-siapa di sampingnya.
Kamar ini begitu pengap, mungkin karena jendelanya yang jarang di buka. Di samping dipan sebelah kanan terdapat meja kecil tempat untuk menaruh piring makan—ada sedikit sisa nasi di sana–, gelas yang berisi sisa teh, serta beberapa stoples berisi kudapan. Tadinya aku hendak membersihkan meja tersebut terlebih dahulu andai dia tak menyela.
“Ibu pengen ganti pampers,” katanya, tangannya yang lemah mencekal lenganku, terasa begitu dingin.
“Jadi Ibu menghubungiku hanya untuk ini? Ke mana anak kesayangan Ibu?” tanyaku sembari merapikan meja makannya. Menumpuk piring bekas makan dengan gelas, kemudian memunguti tisu yang berserakan di meja.
“Kalian anak Ibu, kesayangan Ibu,” ujarnya lemah, tangan kanannya terjulur, menarik sehelai tisu di atas meja, kemudian meremas-remasnya di atas perutnya yang gepeng, hampir rata dengan kasur. Perempuan berusia hampir enam puluh itu sudah tiga bulan terbaring sakit akibat kanker yang menggerogotinya ususnya. Kondisi keuangan yang pas-pasan tak memungkinkan kami—mungkin lebih tepatnya Ayu, karena aku tak begitu ambil pusing—membayar orang untuk mengurus Ibu.
“Karena Ibu sekarang membutuhkanku,” ujarku. Kudengar perempuan itu menghela napas kemudian mengembuskannya. Aku tak melihat bagaimana ekspresi wajahnya saat itu karena sibuk menyiapkan kain sarung, baju, juga diapersnya dari dalam lemari.
“Ayu lembur hari ini ….”
Aku mengacuhkan jawabannya karena Ayu sudah mengabariku tadi, dan bergegas ke dapur. Menjerang sepanci air kemudian mencampurnya dengan air dingin. Menyiapkan sabun, washlap, handuk, juga kantong keresek untuk membuang kotorannya nanti. Lagi pula aku malas, kalau diladeni, pasti sebentar lagi dia akan memuji-muji anak kesayangannya itu.
“Ayu itu anak kesayanganku. Dia pintar, cantik, juga nurut. Beda sekali sama Rega.” Begitu kata Ibu suatu hari sewaktu aku dan adik tiriku, Ayu, masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku tak sengaja mendengarnya kala itu, saat Ibu sedang mengobrol dengan temannya yang sedang berkunjung ke rumah. Aku, yang memang dianugerahi wajah dan otak pas-pasan merasa tak percaya diri. Ibu sendiri pun menyepelekanku. Selain itu, aku merasa dibedakan dalam segala hal. Aku harus berjuang untuk mendapatkan sesuatu, Ayu kebalikannya. Ibu menuruti semua keinginannya, bahkan sebelum anak itu meminta.
Ibu seakan sangat membenciku, namun aku tak pernah menanyakan alasannya. Hanya dari kasak-kusuk tetangga, aku jadi tahu kalau aku merupakan anak yang tak diharapkan. Ayah memperkosa Ibu, suatu malam, saat kedua orang tua Ibu keluar kota setelah cintanya ditolak mentah-mentah. Kejadian malam itu menumbuhkan benih di rahim perempuan Jawa tersebut. Kelicikan Ayah membuahkan hasil, Ibu mau menikah dengan Ayah, hanya untuk mendapatkan status atas anaknya. Setelah aku lahir Ibu menggugat cerai. Dan aku, tumbuh menjadi anak yang tak dicintai ibunya.
Aku menarik napas, mencoba melupakan bayang-bayang masa lalu yang membuat hatiku terasa nyeri. Kemudian tanpa banyak bicara, aku melucuti pakaian yang menempel di tubuh Ibu, dan membasuh badannya. Menyabuni kaki dan tangannya, tangan yang entah sudah berapa puluh kali melayang kemudian mendarat di badanku ketika pusing dengan kondisi keuangan keluarga yang morat-marit, meski aku tak melakukan kesalahan sedikit pun. Menyisakan panas dan perih pada betis juga bokongku, dan terutama pada hatiku. Dan aku yakin, tak sekalipun Ayu pernah merasakannya.
“Kapan kamu tinggalkan pekerjaan kamu?”
“Belum tahu. Aku menikmatinya,” jawabku ketus. Apa urusannya pula dengan pekerjaanku? Aku malas terlalu banyak bicara. Kalau bisa aku malah ingin menahan napas, aroma Ibu sungguh tidak karuan. Mungkin karena sejak Ayu berangkat kerja tadi pagi belum ganti diapers.
“Kembalilah ke rumah ini, Ibu kangen.” Begitu katanya setelah semua rapi dan aku hendak berlalu ke dapur.
Aku termenung sebentar, kemudian meninggalkannya.
***
Aku pernah di rumah ini, delapan belas tahun lamanya sebelum akhirnya aku memutuskan untuk tinggal sendiri sepuluh tahun lalu. Masih kuingat hari itu, malam di mana perempuan yang kupanggil Ibu mengata-ngataiku, menghinaku, merendahkan martabatku sebagai seorang gadis hanya karena pulang lebih larut dari biasanya.
“Mau jadi apa kamu? Baju kayak gini, tengah malam baru pulang,” ujarnya seraya menarik rok mini yang kupakai, rok yang saat itu sedang menjadi tren anak-anak remaja seusiaku. “Melacur, kamu?” ketusnya.
Sakit. Sangat menyakitkan. Lebih sakit dari rasanya ketika ujung sendok mendarat di kepalamu, lebih pedas dari tamparan di pipi, lebih nyeri daripada sekadar cubitan di paha. Sakit, menghunjam jantung. Hanya karena aku pergi menonton bersama teman-teman, dan pulang larut.
Aku pergi, setelah delapan belas tahun bertahan dengan sikap Ibu. Akulah si samsak hidup yang bebas ia hajar sewaktu-waktu. Hidup yang serba sulit menjadikannya pribadi yang menyeramkan bak monster. Terutama setelah suami keduanya—ayah Ayu—pergi, aku semakin menjadi sasaran emosinya.
Aku pergi, menjauh darinya, mewujudkan kata-katanya. Melacur!
Tamat.
Cikarang, 21 Agustus 2020
Bionarasi
Nur Khotimah, ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis.
Editor : Freky Mudjiono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata