Karena Cinta(?)

Karena Cinta(?)

Karena Cinta(?) 
Oleh : Syania Azahra. 

Kupandangi helai rambut ibu yang semakin memutih seraya berkata lirih,
“Bu…, Naura habis gajian tadi. Ibu lagi pengen makan apa? Biar Naura belikan ya?” tanyaku pada ibu yang kini tengah berbaring lemah di atas tempat tidur.

“Ndak usah nduk… duitnya kamu simpan saja. Mudah-mudahan terkumpul biar kamu bisa melanjutkan keinginanmu untuk kuliah,” lirih ibu berkata sembari mengelus lembut pundakku yang kini duduk di sampingnya.

Duhai Ibu …, sungguh aku menyayangimu.

Namaku Naura, tahun ini umurku genap delapan belas. Aku sempat bercita-cita ingin menjadi seorang dosen, karena otakku yang encer ini membuat nilai akademisku di atas rata-rata.  Namun sepertinya keinginanku itu kubiarkan menguap begitu saja.

Dulu hidupku normal seperti remaja seumuranku, yang hanya mementingkan pelajaran sekolah,  sibuk berkutat dengan tugas dan PR. Hanya sesekali hangout  bareng teman-temanku. Ketika masih dibangku sekolah pun, aku sudah menentukan perguruan tinggi mana yang ingin aku pilih.

Manusia memang hanya bisa berencana. Namun kehendak Tuhan tetaplah yang terbaik. Begitupun denganku, yang punya rencana dan cita-cita namun semua itu harus kupendam dalam-dalam semenjak kepergian bapak dua tahun yang lalu. Kehilangan yang begitu membekas, menyisakan rindu yang tak berujung sampai saat ini.

Ya.., kepergian bapak yang begitu mendadak membuat kami merasa begitu kehilangan, terutama bagi ibu. Batinnya sangat terguncang, tubuhnya menjadi lemah dan sering dihinggapi penyakit, hingga tubuhnya yang renta itu lebih banyak menghabiskan waktu diatas tempat tidur.  Sejak saat itu, aku menggantikan peran ayah yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga dan menyiapkan segala ibu kebutuhan di rumah.

Aku bekerja di sebuah yayasan yang merupakan panti rehabilitasi kejiwaan. Selain untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, aku merasa banyak pelajaran berharga yang bisa kupetik dari tempat ini. Melihat pasien yang berada di sini membuatku banyak bersyukur, karena mempunyai keluarga yang menyayangiku. Tidak seperti mereka yang mayoritas dibuang dan tak diakui keluarganya karena malu. Padahal yang mereka butuhkan hanyalah tangan yang terbuka untuk menerima dan kasih sayang yang tulus.

Selain bekerja di yayasan, aku juga bisa membuat berbagai jenis kerajinan tangan yang kujual secara online untuk menambah penghasilanku.

Sebenarnya aku mempunyai seorang kakak perempuan, mbak Anin namanya. Namun sayang hidup hanya dihabiskannya dengan mengurung diri di dalam kamar. Selalu muncul pertanyaan dalam hatiku, apa yang pernah dialaminya? Sehingga dia menjadi pribadi yang introvert. Andai kuketahui apa penyebabnya. Pintu kamarpun selalu terkunci dan dia keluar kamar hanya seperlunya saja.


“Bu, kenapa sih mbak Anin selalu di dalam kamar? apa dia nggak pengen nikah? Padahalkan umurnya udah hampir kepala empat. Dia juga cantik, pasti banyak yang suka kan?” tanyaku pada ibu.

Pertanyaan yang entah sudah berapa puluh kali kutanyakan, meskipun aku tahu tidak akan pernah mendapatkan jawaban. Sebab ibu selalu mengalihkan pembicaraan yang akhirnya aku akan lupa dengan pertanyaanku.

***
Suara adzan subuh berkumandang merdu di masjid. Kokok ayam pun mulai bersahut-sahutan, udara dingin sisa hujan semalam membuatku enggan membuka mata dan keluar dari selimut. Tubuhku terasa sakit semua, tulangpun kaku. Kupaksakan membuka mata dan tersadar,  ternyata aku tertidur di ruang tamu ketika membungkus orderan beberapa pelanggan olshopku.

‘Siapa yang nyelimutin aku? Ah, pasti ibu.’ Gumamku dalam hati.

Kebiasaannya tak pernah berubah, takut mengganguku , setiap aku ketiduran ibu akan pelan-pelan menyelimuti dan membelai lembut rambutku. Meskipun semenjak ibu sakit, sekedar berjalan ke kamar mandi pun butuh perjuangan ekstra baginya.

Setelah selesai membereskan rumah,  menyiapkan sarapan serta menyediakan obat dan semua kebutuhan ibu, akupun bersiap-siap untuk berangkat kerja. Celana jeans hitam kupadukan dengan kaus lengan panjang garis coklat dan hijab warna senada. Kuketuk  pintu kamar mbak Anin untuk berpamitan.

Lagi dan lagi ….
Jangankan membuka pintu, menjawab lewat suarapun tak pernah ia lakukan.


***
“Jangan lakukan itu Pak, bahayaaa!”

“Pak Ali tenang yaa, Pisaunya boleh saya pinjam sebentar Pak…?”

Terdengar keributan ketika aku baru saja sampai di tempat kerja, ternyata Pak Ali. Penyakitnya kambuh, kali ini beliau berusaha untuk bunuh diri lagi ….

Pak Ali adalah salah satu pasien di panti ini. Keterangan yang kudapatkan dari staf sebelumnya,  beliau di tempatkan di sini karena keluarganya sudah tidak sanggup merawatnya. Selama hampir dua tahun bekerja di sini tak pernah sekalipun aku melihat keluarga pak Ali datang menjenguk. 
Ketika penyakitnya kumat, dia akan mengamuk, berteriak-teriak,  membanting benda-benda yang berada disekitarnya dan berusaha bunuh diri.

Stres dan depresi itu bermula ketika dia harus kehilangan anak dan istrinya yang pergi meninggalkannya.
Diantara semua staf di panti ini, beliau hanya mau aku yang mengurusnya. Ketika keadaannya sedang stabil, sambil menyuapinya beliau sering bercerita tentang mereka yang pergi tanpa kabar bertahun-tahun yang lalu. Matanya pun berkaca-kaca. Terlihat betapa ia begitu merindukan keluarga kecilnya. Setiap hari matanya selalu memandang sebuah foto. Selembar foto itu tak pernah lepas dari genggaman tangannya dan selalu dibawa kemanapun ia pergi.

Foto sepasang suami istri bersama seorang bayi. Terlihat si wanita sedang memangku bayi dan di sampingnya berdiri pak Ali yang terlihat gagah ketika masih muda meskipun wajah sang istri sudah tidak jelas karena foto tersebut sudah sangat usang.

“Pak, bapak tenang yaa … kalau bapak bunuh diri, nanti ketika anak dan istri bapak datang kesini untuk mencari bapak dan ternyata bapak nggak ada mereka pasti sedih,” bujukku, sembari memperlihatkan foto lusuh kesayangannya yang terjatuh dari genggamannya setelah mendapatkan sebilah pisau.

Awalnya beliau ragu, tapi sepertinya ia mulai memikirkan kata-kataku. Kulihat genggaman pisau ditangannya mulai melemah. Pisau yang akan ia gunakan untuk menyayat tangannya tadi terjatuh. Kudekati beliau dan tangispun akhirnya pecah dalam pelukanku. Ada rasa yang tersayat di dalam sini hingga tak disadari membuat ujung netraku berembun.

Aku rindu almarhum bapak ….


Aku selalu pergi ke tempat favoritku di hari libur. Tempat di mana orang yang kusayang dan menyayangiku selalu setia menunggu. Puas hatiku leluasa bercerita tentang semua yang kurasakan padanya, kuceritakan semua rahasia, keluh kesah dan seluruh aktivitasku.

Di bawah pohon yang rindang ini,  dibelai angin sepoi-sepoi membuatku tak sadar telah tertidur di samping yang kusayangi. Entah sudah berapa lama aku terlelap hingga akhirnya suara penjaga makam membangunkanku. Memberitahu bahwa hari sudah hampir gelap. Perlahan aku bangkit dan berpamitan pada gundukan tanah yang sudah ditumbuhi rumput, namun tidak mengurangi keindahan nama almarhum bapak yang terukir di atas batu nisan itu.

Sebelum pulang kusempatkan membeli makanan kesukaan ibu, martabak kacang ketan hitam. Beliau memang selalu menolak setiap kali aku menawarkan sesuatu, aku tahu alasannya, karena tidak mau merepotkan dan menambah bebanku. Meskipun itu hanya sekedar makanan kecil.

Betapa terkejutnya aku ketika membuka pintu rumah, kudapati ibu tersungkur menangis didepan kamar mbak Anin.

“Astagfirulloh … Ibu jatuh? Trus kenapa mbak Anin nggak nolongin ibu?” tanyaku pada ibu.

“Mbak, Ibu jatuh kenapa mbak nggak keluar!” Geram ku berteriak memangginya, tapi tidak ada jawaban.

Tega!

Kupapah ibu ke kamar, tangisnya sudah mereda. Namun masih enggan menjawab pertanyaanku.

“Mbak Anin sudah keterlaluan bu!” ucapku geram.


Kutinggalkan ibu sendiri di kamarnya. Tak kuhiraukan ia yang berusaha menahanku untuk menemui mbak Anin. Meski ia kembali menangis melihatku begitu emosi pada anak pertamanya.

“Mbaakk …”

“Mbak Aniiinn …”

“Mbak Aniin … bbuka pintunya …!”

Tiga kali, aku memanggil dan menggedor-gedor, pintu kamarnya tapi tidak ada sahutan dari dalam. Emosiku semakin tak bisa dikendalikan.

“Mbak …  buka pintu atau aku dobrak pintunya!” gertakku.

Lima belas menit tak ada tanda-tanda pintu akan dibuka, hanya terdengar suara tangisan di dalam yang semakin membuatku marah.


Bbrraaakkk …!

Akhirnya kudobrak pintu yang  yang selama puluhan tahun selalu dikunci sang empunya kamar.

Kutemui tubuhnya bergetar, menangis dengan wajah ketakutan, melihatku bisa senekad itu. Kudekati dia ingin meminta penjelasan kenapa ibu menangis, karena aku tahu ibu bukanlan tipe orang yang mudah mengeluarkan air mata.

Emosiku yang sedari tadi sudah memuncak, sirna setelah mataku menyapu seisi ruang kamar ukuran tiga kali empat meter dengan peraduan warna putih biru yang terlihat rapi. Pandanganku terhenti pada sebuah pigura yang terpajang di dinding. Foto sepasang pengantin dengan wajah yang sangat aku kenali.


Belum hilang rasa terkejutku, kembali kutemukan sesuatu yang membuat otakku tak sanggup berfikir, jantungku berdegup tak karuan, hingga kaki ini pun tak lagi mampu menopang beban tubuh.
Aku bersimpuh di lantai, tak berdaya dengan tujuh belas surat dan satu surat belum selesai ditulis, yang kini berada di tanganku.

Lembaran demi lembaran kubaca dan kuresapi maknanya.

‘Dear Naura,
Happy birthday bidadari kecil bunda yang kini telah menjadi remaja cantik solehah.’

Jemariku beralih ke lembaran surat yang lain.

‘Hari ini usiamu genap delapan belas tahun nak, semoga semakin dewasa, selalu bisa menjaga diri dan tambah patuh sama eyang.’

‘Semakin hari kamu semakin mirip ayahmu, hingga kebiasaanpun sama.
Kalian bisa tertidur di mana saja dan akan marah jika di bangunkan.
Makanya bunda akan sangat hati-hati menyelimutimu agar tidurmu tak terganggu …. ‘


Belum selesai membaca surat itu kulihat ibu berjalan ke arah kami dengan langkah tertatih bersamaan derai air mata di netra tua nya yang tak bisa lagi ia tahan. Sedangkan di sudut ruangan mbak Anin tengah gemetar memeluk lutut. Rasa ketakutan tergambar jelas karena raut mukanya yang kian memucat.


“Mau sampai kapan kamu merahasiakan ini, nak? Naura sudah cukup dewasa, dia pun berhak tau siapa dia yang sebenarnya,” ucap ibu pada mbak Anin yang kini kembali menangis.

Kucoba mengaitkan kejadian demi kejadian, menerka apa yang sebenarnya terjadi, mencari jawaban di balik tabir rahasia. Kupaksakan pikiranku untuk menemukan jawabannya, namun kurasakan benda-benda di sekelilingku berputar, pertahananku ambruk. Sayup kudengar suara keduanya memanggil namaku.
Kutatap nanar wajah ibu dan mbak Anin. Perlahan pandangan pun kabur dan semua menjadi gelap.


***
Kucoba membuka mata meski nyeri di kepala masih bagitu menyiksa.
Samar kulihat wajah ibu yang duduk di sampingku dan mbak Anin berdiri didekat nya. Terlihat rona khawatir di wajah keduanya.


“Istirahat dulu nduk, nanti kalau keadaanmu sudah pulih akan ibu ceritakan semuanya,” perintah ibu sambil menahan aku yang mencoba untuk duduk.

“Ceritakan sekarang Bu, Naura baik-baik saja. Apapun yang akan terjadi Insyallah Naura siap. Justru dengan ibu tidak mau bercerita itu semakin membuat Naura jadi sakit,” bujuk suaraku melemah.

Bulir-bulir airmata ibu tak mampu dibendung ketika mengungkapkan tabir rahasia yang coba disimpan mbak Anin selama ini. Kurasakan satu demi satu bening air berhamburan dari mataku, menerima  kenyataan bahwa mbak Anin dan pak Ali adalah orang tua kandungku yang sebenarnya.
Mereka dipaksa berpisah karena ibunya Pak Ali tidak menyukai mbak Anin sebagai menantu. Beliau cemburu dan takut kehilangan pak Ali sebagai anak. Beliau  merasa dengan kehadiran mbak Anin dapat mengambil alih perhatian anak semata wayangnya, yang tak lagi utuh kepada dirinya. Tidak peduli walaupun waktu itu itu aku telah lahir sebagai pelangkap kasih sayang mereka berdua. Aku tergugu dihadapkan kenyataan bahwa nenekku lah yang bersikeras, memaksa untuk memisahkan orang tuaku dengan berbagai cara.

Ingin mewujudkan bakti pada ibunya, pak Ali akhirnya menyetujui untuk perpisahan meskipun sebenarnya mereka masih saling mencintai. Nurani yang sebenarnya tidak menerima perpisahan itu akhirnya hidup dalam penyesalan. Jiwa yang terguncang. Perasaan bersalah pun menghantui, membuat pak Ali dan mbak Anin terjebak dalam halusinasi kenangan masa lalu.

Baik menurut orang tua belum tentu baik untuk sang anak. Begitupun keinginan orang tua, belum tentu sama dangan keinginan sang anak. Namun banyak orang tua yang tak sadar telah memaksakan kehendaknya, dengan alasan ‘sayang’ hingga membuat anak tak bisa berbuat banyak.
Dilema antara memenuhi keinginan orang tua yang membuat batin tertekan. Atau menjadi sosok pembangkang dan tertuduh durhaka karena keinginan yang berbeda dengan maunya orang tua.

Terkadang orangtua merasa lebih banyak mencicipi asam garam kehidupan,  tanpa disadari telah membuat mereka menjadi sosok egois dan merasa paling mengerti apa yang dibutuhkan buah hatinya. Memanjakan anak dengan penjara kasih sayang dan over protective dapat mengungkung kepribadian anak. Mereka lupa bahwa buah hatinya akan terus tumbuh berkembang,  mendewasa dan merakapun tidak akan selamanya bisa berada di samping sang buah hati untuk melindungi.
Andai semua orangtua bisa bijaksana dalam menghadapi anak-anaknya, tentu akan tercipta rasa nyaman pada mereka hingga mereka mampu untuk mengutarakan pendapat tanpa ada beban.


***
Hari ini adalah hari ulang tahunku.
Ada yang spesial kurasakan pada hari ini. Aku melihat orang tuaku bersatu kembali. Ya … hari ini kami memutuskan menjemput pak Ali.
Harusnya aku bahagia, bukan? Karena doa ku terkabul, melihat anak dan istri beliau datang menjemput dan berkumpul bersama lagi. Tapi semua rasa berkumpul jadi satu dan bermuara dihatiku, hingga aku tak mengerti apa yang kurasa,ada yang tereremas di dalam sini, membuat netraku kabur karna ada genangan di sudutnya. (*)

 

Syania Azahra, penggemar bacaan romance dan prosa yang pobia pada mahluk lucu seperti kucing. Ia mulai mencintai dunia tulis menulis sejak awal tahun ini. Nama FB: Syania Azahra.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply