Kappa: Si Gila dan Semesta dalam Perut Bumi

Kappa: Si Gila dan Semesta dalam Perut Bumi

Kappa: Si Gila dan Semesta dalam Perut Bumi

 

Ini adalah cerita pasien no. 23 sebuah rumah sakit jiwa yang biasa diceritakannya kepada siapa pun yang ia jumpai. Kukira sekarang umurnya 30 tahun lebih tetapi wajahnya kelihatan lebih muda. Suka-duka yang dialaminya sebelum ia kehilangan kewarasan biar saja terpendam dalam masa lampau. Ia menceritakan kisah ini kepadaku dan dr. S., dokter kepala rumah sakit tersebut, dengan tangan memeluk lutut selalu dan sekali-sekali melihat ke luar, ke balik jeriji-jeriji jendela.

….

Kappa, novel pendek karya Ryunosuke Akutagawa ini terbit pada tahun 1927, tahun yang sama dengan tahun kematian Akutagawa sendiri. Jika membaca potongan cerita di atas (yang diambil dari pembukaan bab PENGANTAR), kita tentu tahu siapa tokoh utama dalam cerita ini. Ya, si pasien no. 23. Seorang pasien dari sebuah rumah sakit jiwa. Sehingga salah sedikit saja Akutagawa dalam menyusun cerita ini, maka semua akan berakhir dengan omong kosong.

Dalam novel pendek dengan ketebalan 83 halaman ini, saya menemukan semesta baru, semesta (yang mungkin) khayalan si Pasien No. 23. Dunia Kappa.

Berkisah tentang seorang pria, yang tentu saja si Pasien No. 23, yang meninggalkan penginapan di peristirahatan air panas di Kamikochi untuk menuju Gunung Hodaka yang hanya dapat dilakukan melalui Lembah Azusagawa yang sempit, di tengah menyusuri lembah tersebut, untuk pertama kalinya ia melihat kappa—makhluk yang mirip anak manusia umur 10 tahun, telanjang, berdiri tegak, dapat bicara dengan bahasa manusia, berambut pendek dengan kepala yang memiliki cekungan berisi air sedikit, dan berlendir. Lantas mengejarnya, setelah sempat diam sejenak.

Sialnya, saat sedang mengejar, dan hampir saja mendapatkan kappa tersebut, Pasien No. 23 jatuh ke dalam lubang, atau lebih tepatnya pintu masuk ke dunia kappa.

Dalam dunia kappa, “aku” atau Pasien No. 23 ini melihat dan mengenal kappa lebih dalam. Seperti kebiasaan kappa yang mencampuradukkan yang sungguh-sungguh dengan lelucon atau sebaliknya, percintaan kappa yang lebih didominasi oleh pengejaran kappa betina kepada kappa jantan, kepedulian kappa dalam memberantas kejahatan-kejahatan keturunan, aturan-aturan hukum yang berlaku di dunia kappa, kesenian dan sudut pandangnya, dan lainnya.

Selain berhasil menciptakan semesta baru, Akutagawa atau penulis cerpen “Rashomon” ini juga berhasil “menyentil” banyak hal dalam berbagai aspek kehidupan, serta memberikan pesan yang mendalam—terutama buat saya pribadi—kendati menyajikannya dalam bentuk yang konyol, seperti:

… Tetapi jika akhirnya sang bayi hampir keluar, ayahnya mendekatkan mulutnya pada perut sang istri dan bertanya dengan suara keras:

“Apa kau ingin dilahirkan ke dunia ini? Pikir dulu dan berikan jawabanmu.”

Bayi yang di dalam rahim istrinya seperti ketakutan, sebab suara jawabannya hampir berbisik:

“Aku tidak ingin dilahirkan. Pertama, karena aku tidak ingin mewarisi darahmu. Kegilaanmu sudah cukup mengerikan untuk dipikirkan. Kedua, karena aku yakin, bahwa kehidupan kappa terlalu mengerikan.”

Dari potongan ini, kita akan teringat pada sebuah pengandaian “andai aku tidak terlahir dari keluarga ini” atau sejenisnya. Dan penolakan itu dengan baik dikabulkan oleh Akutagawa dalam dunia kappa. Hanya saja, apa artinya hidup jika semua berjalan sesuai kehendakmu, memilah mana yang kamu inginkan dan tidak inginkan, mana yang kamu sukai dan tidak kamu sukai? Apa ada yang berkesan dari hidup semacam itu? Lagi pula, bukankah pengalaman adalah guru terbaik sepanjang masa?

Dan tentu kita akan setuju dengan kutipan berikut:

“Apa yang paling ingin kita banggakan ialah yang tidak ada pada kita.”

Kalaupun kamu menolak untuk setuju, saya tak akan memaksa, karena barangkali penerimaan pada diri sendiri selalu menjadi hal tersulit. Sama seperti yang dirasakan Tock, seorang kappa penyair yang merasa gagal dan memilih untuk bunuh diri demi mencari hal yang diinginkannya.

Kembali ke Kappa, dalam cerita ini kita akan melihat kehidupan kappa, dari segi sosial, aturan hukum, adat/kebiasaan kappa, dll. Kehidupan itu sendiri merupakan karikatur kehidupan masyarakat modern Jepang—juga masyarakat kita. Dan betapa di dunia itu pembunuhan dengan kata-kata dinilai lebih kejam dan dianggap cara terbaik dibanding membunuh dengan memenggal atau memancung atau menembak atau sejenisnya. Serta betapa mahabesar pula suatu pujian atau kritikan sehingga hidup ini seperti tak ada harganya.

Dan bisa jadi, kecemasan serta depresi akan kata-kata inilah yang pada akhirnya menuntun Akutagawa pada pilihan mengakhiri hidupnya.

Namun, mengesampingkan semua itu (alasan Akutagawa bunuh diri), setelah membaca cerita ini, masuk ke dalam dunia kappa yang begitu nyata, saat Pasien No. 23 meminta kembali ke dunianya, dunia manusia, lantas merasakan dampak dari pilihannya itu (belajar membiasakan diri pada tempat di mana seharusnya ia berada, setelah berada cukup lama di dunia kappa), muncullah sebuah pertanyaan di benak saya, “Nyatakah kisah yang diceritakan Pasien No. 23 itu?”

Mendapati pertanyaan semacam itu sambil terus membaca kelanjutan ceritanya, saya mengakui kalau Akutagawa berhasil menyuguhkan cerita ini dengan baik hingga ke akhir. Dengan segala kegilaannya.

 

Jakarta, 2 Juni 2020

Halimah Banani, anggota Lokit yang paling doyan rebahan dan camilin mi rebus pedas atau nasi goreng telur saat lewat tengah malam.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply