Kapan Dia Mati?

Kapan Dia Mati?

Kapan Dia Mati?

Oleh : Ika Mulyani

Sudah lama sekali aku menanti, tetapi sosok yang kutunggu belum juga muncul. Aku sudah sangat merindukannya. Selama ini, aku hanya dapat melihatnya dari jauh. Ada tabir tebal yang membuat kami berjarak, hingga raganya tidak bisa kusentuh. Selain itu, wajahnya pun tampak buram dalam penglihatanku, dan suaranya samar dalam pendengaranku.

Padahal, aku ingin sekali. Aku ingin sekali tahu detail wajahnya. Apakah ia sama cantiknya dengan para bidadari? Aku ingin sekali menyentuh kulitnya. Apakah kulit itu sama lembutnya dengan milik para bidadari? Aku ingin sekali mencium bau tubuhnya. Apakah tubuh itu sama harumnya dengan wangi para bidadari?

Aku rindu, sungguh.

Bertahun-tahun hitungan manusia berlalu. Kami masih belum juga dipertemukan. Yang selalu kulakukan sejak aku terpisah dari perempuan itu adalah menyaksikan kesehariannya, dari mulai ia membuka mata di pagi hari hingga kembali ke peraduan. Meski demikian, rasa rinduku masih belum terobati.

“Bisakah aku masuk ke dalam alam mimpinya?” Aku bertanya suatu kali dan rupanya aku bisa.

Sayangnya, tabir tebal itu masih saja menghalangi kami. Aku tetap tidak bisa menyentuhnya. Namun setidaknya, aku bisa terus melihatnya sepanjang hari dan malam waktu manusia bergulir.

***

Saya terbangun dengan peluh membasahi punggung. Masih pukul tiga dini hari, tetapi saya tidak lagi bisa memejamkan mata.

Ini sudah malam ketiga saya terbangun di waktu yang sama, dan oleh mimpi yang sama—mimpi yang mengerikan.

Seperti di dalam dua mimpi sebelumnya, sosok bocah kecil itu berdiri di sudut kamar ini. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menatap saya lekat-lekat. Yang mengerikan adalah, salah satu matanya mendelik, sementara bola matanya yang lain justru tidak ada. Sebelah tangannya lebih pendek dari tangannya yang lain. Salah satu kakinya lebih kurus dari kakinya yang lain. Hanya ada beberapa helai rambut kemerahan yang tumbuh di kepalanya yang sedikit gepeng. Bibirnya yang sumbing tampak mencoba untuk tersenyum, senyum yang lebih mirip seringai.

Sungguh mengerikan, tetapi saya tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Apalagi kemudian sebelah tangannya terjulur, dan air mata bertetesan dari sebelah matanya yang mendelik itu, sementara bibir atasnya yang cacat bagaikan dibelah, terus menyunggingkan senyum aneh.

Di malam kedua, bocah laki-laki itu seperti mengucapkan sesuatu, tetapi saya tidak bisa mendengarnya. Dan malam ini, satu kata terucap pelan dengan suara parau, tetapi jelas sekali terdengar di telinga saya.

“Ibu,” katanya.

Saya menjerit dan terbangun. Bocah itu memanggil saya … ibu?

***

Air mata semakin membanjir saat kulihat ia menjerit ketika kucoba menyapanya. Namun, aku cukup senang. Berarti seruanku bisa menembus tabir tebal di antara kami.

Setelah jeritan itu, ia terbangun dari tidurnya, hingga kunjunganku pun jadi terputus.

Ah, Ibu. Tidakkah kau juga merindukanku? Mengapa Ibu menjerit saat mendengar sapaanku? Sepertinya Ibu ketakutan. Apakah dari diriku yang membuatmu takut?

Aku memandang bayanganku pada permukaan sungai madu yang membentang di hadapanku. Tidak ada yang aneh. Aku masih setampan biasanya, dengan rambut ikal hitam lebat dan kulit tubuh yang putih mulus. Kedua mataku bersinar jeli dikelilingi bulu mata lentik dan dinaungi alis tebal menawan.

Mengapa ia seperti ketakutan melihatku muncul di dalam mimpinya? Saat aku tersenyum, ia justru meringis. Satu hal yang cukup menghiburku, ia tidak mengalihkan pandangannya.

Aku pun memutuskan untuk tidak lagi mengunjungi mimpinya. Jeritannya terlalu memilukan untuk kudengar lagi.

Namun, satu hari, aku melihatnya menangis tersedu-sedu.

***

Sudah beberapa malam, mimpi itu tidak pernah datang lagi. Akan tetapi, sosok bocah aneh itu tidak juga pergi dari pikiran saya. Suaranya pun seolah terus terngiang di telinga.

“Ibu,” katanya.

Mungkinkah dia …?

Mau tidak mau, saya teringat lagi pada peristiwa beberapa tahun lalu, peristiwa yang benar-benar ingin saya lupakan. Air mata saya meleleh dan saya mulai tersedu. Sudah lama saya tidak mengingat peristiwa mengerikan itu.

Ketika itu, saya menghadiri malam acara perpisahan SMA yang kami rayakan di sebuah gedung pertemuan di pinggir kota. Acara baru usai setelah malam cukup larut. Kami—saya dan dua orang sahabat—pulang dengan menumpang taksi. Rumah kami bertiga searah dan rumah saya yang terjauh.

“Kita nginep di rumah aja, yuk!” ajak salah satu sahabat yang rumahnya paling dekat dan diamini oleh sahabat saya yang lain, tetapi saya menolak.

Saya merasa amat kelelahan dan ingin segera beristirahat. Jika menginap, bisa jadi kami malah tidak akan tidur sama sekali.

“Beneran kamu enggak mau? Udah malem, loh, ini.”

Saya tetap bersikukuh untuk pulang.

“Hati-hati, ya. Titip teman saya ya, Pak.”

Saya ingat sopir taksi itu mengangguk sambil tersenyum ramah. Ternyata, keramahannya palsu!

Hal terakhir yang saya ingat saat itu adalah, si sopir taksi bejat itu membekap mulut saya dan lalu semuanya gelap. Setelahnya, saya tidak tahu apa yang terjadi. Saat membuka mata, saya sudah berada di rumah sakit dengan sekujur tubuh terasa remuk, terutama di bagian bawah perut.

Papa berhasil melacak keberadaan sopir taksi jahanam itu dan memenjarakannya.

***

Suara tangisnya adalah bunyi pertama yang kudengar ketika untuk pertama kalinya ruh memasuki jasadku. Setelahnya, lebih sering lagi isak tangis sampai di pendengaranku, hingga suara itu bagiku menjelma menjadi melodi indah yang selalu aku rindukan.

Dan kini, setelah sekian lama berlalu aku menahan kerinduanku padanya, suara tangis itu kudengar lagi.

Aku tidak tahu, apa yang menyebabkan ia dulu menangis. Yang kuingat sepanjang waktu itu adalah berbagai macam guncangan kurasakan, berupa-rupa kepahitan dan sakit menerpaku. Namun, aku mencoba untuk tetap bertahan. Suara tangisannya menjadi pelipur segala laraku. Biarlah kurasakan segala derita itu, asalkan aku masih bisa mendengar suaranya.

Namun, satu hari, aku tidak sanggup lagi untuk bertahan. Ada kekuatan maha dahsyat yang tidak bisa aku lawan, yang membuat ikatanku pada dinding rahimnya terlepas. Dan sejak itu, tabir tebal itu tercipta di antara kami.

***

Saya panik, ketika berminggu-minggu tamu bulanan saya tidak juga datang. Setelah menjalani pemeriksaan, saya dinyatakan positif hamil! Saya menangis sejadi-jadinya. Masa depan yang sudah saya rancang bahkan saat masih duduk di kelas satu SMA, hancur sudah. Tenggat pendaftaran ujian masuk perguruan tinggi negeri pun terlewatkan.

Mama mengupayakan segala cara agar janin itu gugur dari kandungan saya. Segala macam jamu dan ramuan entah apa, dia sediakan untuk saya minum. Mulut saya pahit, perut saya sakit, mata saya menangis. Akan tetapi, si jabang bayi masih saja bertahan dan tumbuh semakin besar.

Akhirnya, Papa memutuskan untuk membawa saya ke sebuah tempat. Di sana, isi kandungan saya dikeluarkan dengan paksa. Rasa sakitnya tak terkatakan. Saya baru bisa bangun dari tempat tidur seminggu kemudian.

***

Aku sungguh merindukan suaranya. Kuingin melihat wajahnya dengan jelas. Kumau meraih genggamannya, yang kubayangkan lembut dan menghangatkan.

“Dunia kalian sudah berbeda. Hanya bila dia mati, maka kalian bisa kembali bertemu.”

Begitu kata seseorang di sini saat aku mencoba bertanya, mengapa ada tabir yang menghalangi kami.

Jadi, kapan dia mati? Aku sudah sangat merindukan kehadirannya di sini, nyata di hadapanku. (*)

Ciawi, 31 Maret 2021

Ika Mulyani, emak-emak dari Bogor yang masih terus belajar menulis yang baik, dan berharap suatu saat tulisannya bisa terpampang di media, dibaca dan menginspirasi banyak orang.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Editor : Rinanda Tesniana

 

Leave a Reply