Kapak: Puisi RD Kedum
1
Telah lama suara ayunan kapak mendengung bagai ribuan lebah menggali lubang kepala menjadi liang-liang kemurkaan. Jebakan demi jebakan dirancang siang malam, gelisah digasingkan, lalu pelan-pelan digiring ke bibir tebing. Ya, pelan-pelan. Hingga tak terlihat ketika daun bersentuhan dengan angin, atau tatkala fajar mencumbu matahari.
2
Kapak terhunus. Lalu berkesiur mendesingkan angin. Kembali diayun, rimbun hutan dibabas, bertumbanganlah kayukayu kehidupan. Bergemuruh menghantam bumi, menghunjam ulu hati, akarakar membusuk, tak mampu menyimpan resap air, jadilah siringsiring limbah saluran comberan, menguapkan aroma asam, membubung ke langit, menjadi jerit yang tenggelam.
3
Kapak yang berdengung terhunus ke langit. berubah auman harimau menyeramkan. Kapak kembali terayun membelah kerongkang kepala, segumpal otak dikunyah, mata kapak kembali berayun membelah dada, seisi perut dicacah, dimakan dengan lahapnya. Darah merah yang mengalir diseruput hingga kering. Lalu tumbuhlah taring-taring, berderet di gusi-gusi lemah, menyebarkan seringai, menenggelamkan jakun yang turun naik.
4
Kapak diasah. Mata kapak memancarkan sinar. Tangkai kapak tergenggam di lenganlengan berotot. Aroma kemenangan tercancang, kapak seperti bendera, tegak kokoh menantang langit. Siap menghunjam, memapas, membelah dan menikam jiwa jiwa.
Lubuklinggau, 6 Mei 2017
RD Kedum, mendapat gelar Doktor untuk Pendidikan Bahasa pada PPs Universitas Negeri Jakarta (2015). Dosen tetap di STKIP-PGRI Lubuklinggau. Aktif menulis sastra dan karya ilmiah.
FB: RD Kedum