Kanak-Kanak

Kanak-Kanak

Kanak-Kanak

Oleh: Rachmawati Ash

 

Debu berwarna keabuan melayang-layang di antara tawa anak-anak yang sedang bermain engklek, tidak kalah dengan suara sahut-sahutan pedagang jajanan keliling. Lingkungan yang panas dan kondisi penduduk yang padat menjadi salah satu penyebab masyarakat di tempat ini berbicara dengan suara yang nyaring.

Empat anak kecil sibuk menggambar kotak-kotak di tanah yang kering. Mereka adalah empat sekawan yang selalu bermain bersama. Rian adalah satu-satunya anak laki-laki yang berada di antara empat sekawan tersebut. Tugas Rian adalah menuruti semua keinginan ketiga temannya yang berjenis kelamin perempuan. Sama seperti siang yang terik ini, Rian mengabulkan keinginan sahabat-sahabatnya untuk membuat sketsa kotak-kotak di tanah. Memang, permainan engklek masih digemari di daerah tanah merah ini.

Rian telah selesai membuat kotak-kotak di tanah yang berdebu, lalu memerintahkan ketiga sahabatnya untuk menyiapkan koinnya masing-masing. Mereka melakukan hompimpa untuk menentukan siapa yang akan main lebih dulu. Keasyikan terlihat di antara empat sekawan itu.

“Yeeee! Aku main lebih dulu!” teriak Desi kegirangan, kakinya berjinjit-jinjit dan tubuhnya berputar-putar seperti penari balet.

Rian, Dewi, dan Mala mengatur posisi. Ketiganya mengambil uang koin di kantong masing-masing. Mereka mengeluarkan dan menggosok-gosoknya di telapak tangan supaya membawa keberuntungan.

“Ayo, Des! Kamu main duluan, kan?” Dewi mengingatkan Desi untuk memulai permainannya.

Setengah jam berlalu, matahari yang terik semakin naik, meninggalkan bayangan di tanah merah yang mereka pijak. Daun-daun tampak tenang, angin enggan menyapa di musim kemarau yang panjang ini. Pohon-pohon besar di sekitar mereka masih berdiri kokoh, sedikit memberikan perlindungan dari sinar matahari yang menyengat.

Empat sekawan bermain dengan riang, saling memberikan kesempatan kepada yang lain sesuai dengan koin yang mereka lempar ke dalam kotak engklek. Suasana riuh di sekitar mereka tidak menjadi penghalang untuk tetap bermain. Mereka sama sekali tidak terganggu dengan tukang ojek yang saling berbincang di warung kopi ujung lapangan atapun lalu lalang pedadang keliling yang menggunakan sepeda atau motor.

“Mala, makan dulu. Sini Mama suapi, Nak.” Seorang Ibu mendekat dengan piring merah muda di tangannya. Mala yang sedang menunggu giliran bermain, berjalan ke arah suara yang memanggilnya. Mala membuka mulutnya lebar-lebar dan menerima nasi sup yang diulurkan oleh mamanya. Ketiga sahabatnya masih asyik bermain, sedangkan Mala sesekali melanjutkan memakan nasi sup yang disuapkan oleh Mamanya.

Keringat membanjir di pelipis anak-anak usia empat tahun itu, rambut mereka juga mulai lepek oleh sinar matahari yang menyengat. Rasa lelah tidak mengurangi semangat anak-anak itu untuk melanjutkan permainan engklek.

“Giliranku.” Rian maju beberapa langkah dan mengambil ancang-ancang untuk melempar koinnya. Dengan tangkas, Rian melempar koin dan berhenti tepat di kotak yang diincarnya. Beberapa menit berlalu, Rian masih menguasai permainan dengan kekuatan satu kakinya.

Kini, giliran Dewi bermain. Wajahnya terlihat sedih. Sejak awal permainan dimulai, koinnya selalu gagal masuk ke kotak yang diincarnya. Alhasil, dia masih tertinggal jauh dibandingkan teman-temannya.

“Aku mau ganti koin, aku mau pulang dulu, ambil koin baru di rumah.” Dewi meninggalkan ketiga sahabatnya, berjalan ke rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter dari lapangan. Sayangnya, bukan uang koin yang didapatnya dari rumah, tapi justru adik kecil yang berjalan di sampingnya untuk ikut bermain.

“Aku harus membawa adikku ikut bermain. Ibuku sedang menjemur baju di rumah.” Dewi mencoba memberi tahu sahabat-sahabatnya mengenai kedatangan adiknya.

“Enggak apa-apa, nanti kita bantu jagain, kok. Sini, biar adikmu duduk dulu sama aku, kamu mainlah dulu, sekarang giliranmu.” Desi duduk di kursi kayu, mengelus-elus rambut adik kecil yang duduk di sampingnya.

“Aku mau tukar koin sama Rian! Itu tadi, kan, koinku.” Dewi menyodorkan uangnya kepada Rian. Seketika Rian mengambil koinnya yang masih tergeletak di kotak engklek di tanah.

“Enggak, mau!” Rian mendorong tubuh Dewi dengan kasar, merasa bahwa uang koin itu sudah diberikan kepadanya sejak awal.

“Tapi itu uang koinku! Sini tukeran!”

“Enggak mau! Dasar kamunya aja enggak bisa main engklek. Kalah mulu!” Rian mengumpat. Kedua sahabatnya yang lain hanya diam melihat keduanya berselisih.

“Kalau begitu, aku ganti uang yang lebih banyak. Lima ribu, mau?” Dewi memberi penawaran kepada Rian, membuat Rian bimbang. Dalam hati, Rian berpikir bahwa sahabatnya ini bermain licik, hendak membodohinya dengan menukar uang koinnya dengan nilai yang jauh lebih besar. Rian tidak menjawab. Dia semakin berpikir bahwa uang koinnya berharga, membawa keberuntungan.

“Enggak, mau!” Rian kembali mendorong tubuh Dewi yang subur.

“Sini! Itu tadi, kan, uangku! Kamu yang pinjam! Kembalikan!” Dewi membalas mendorong tubuh Rian yang lebih kecil dari tubuhnya. Rian jatuh tersungkur ke tanah, wajah dan rambutnya dipenuhi debu dari tanah merah. Tangisnya pecah, membuat beberapa orang dewasa mendatangi mereka.

Seorang ibu berlari tergopoh-pohoh. “Tuh, kan, Mama bilang jangan main sama Dewi, suka main kasar!” Wanita itu menuntun Rian bangun dari tanah tempatnya tersungkur. Disusul kedatangan seorang wanita di sampingnya. Wanita itu berdiri dengan muka merah karena marah, Dewi berjalan, bersembunyi di belakang tubuh wanita itu. Dewi menangis dengan suara keras.

Tangisan keras Dewi membuat Rian ketakutan, Rian pun kembali menangis dengan suara lebih keras dari sebelumnya. Kedua wanita yang berada di samping mereka beradu mulut, saling membela anaknya masing-masing. Beberapa warga melerai kedua wanita itu, tetapi tidak berhasil. Pertengkaran menjadi-jadi, membuat warga sekitar datang untuk melihat pertengkaran itu. Desi dan Mala hanya duduk diam memperhatikan kegaduhan itu, mereka menahan tangis karena tidak ada ibu di samping keduanya.

Rian digendong oleh ibunya pulang. Tangisnya tersedu-sedu, Desi dan Mala melihatnya dengan sedih. Dewi berjalan di samping ibunya yang menggendong adiknya. Mulut ibunya tidak berhenti menggerutu, mengancam Dewi jangan bermain lagi dengan Rian.

Mala dan Desi terdiam beberapa menit, rasa takut masih terlihat di wajah keduanya. Permainan yang seru berakhir dengan mencekam. Keceriaan masa kanak-kanak mendadak lenyap setelah terjadi sebuah pertengkaran yang menakutkan. Menanggapi keadaan tersebut, Mala berbisik kepada Desi, mengajaknya membeli es krim di sebelah lapangan tempat mereka bermain.

Mala pun berdiri, mengambil dua uang koin yang tergeletak di tanah. Keduanya berlari menuju tukang es krim, menyodorkan uang koin yang ditinggalkan Rian dan Dewi di lapangan. Dua es krim contong diterima, lalu keduanya kembali duduk di kursi kayu, menikmati es krim dengan tersenyum-senyum.

Rian dan Dewi sudah duduk di samping mereka, saling menjilat es krim milik Mala dan desi secara bergantian. Mereka tertawa, duduk berdempet-dempetan dengan riang. (*)

 

Rachmawati Ash. Wanita penyuka bunga hias.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply