Kamu yang Tidak Pernah Tersenyum

Kamu yang Tidak Pernah Tersenyum

Kamu yang Tidak Pernah Tersenyum
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Kamu tidak pernah tersenyum.

Lebih tepatnya, kamu malas tersenyum.

Ketika seseorang bertanya mengapa, jawabnya karena hidup tidak memberi kesempatan agar kau bahagia. Ketika di rumah, yang kamu dengar hanyalah suara piring-gelas pecah; ketika di sekolah, bapak-ibu guru selalu marah dan berkata kamu bodoh; ketika berusaha berbaur dengan temanmu, mereka enggan mendekat lantaran tahu keluargamu sudah bubrah. Kamu pernah mencoba bergaul dengan mereka-mereka yang bernasib sama, tetapi orangtuamu malah marah dan berkata kamu nakal, tidak tahu diri.

Dunia seolah-olah bersekongkol dengan nasib untuk membikinmu sengsara.

Dunia tidak mengizinkanmu tersenyum sejak kamu dilahirkan. Hidup adalah arena perang, lintasan panjang tanpa ujung, yang penuh dengan derita pun lara lapa. Lahir guna menghirup udara yang ada sama saja omong kosong; dunia adalah musibah, dan kamu mengakuinya.

Kamu membenci dunia yang membenci kamu, jadi kamu memutuskan untuk tidak akan pernah tersenyum. Namun, hari itu, usai pergi ke salah satu apotek sendirian, tatkala angin berdesir, menuntunmu melewati jalan yang jarang kaulalui karena terlampau jauh, akhirnya kamu melihat pemandangan itu.

“Hei, teman-teman! Ayo bermain!”

Kamu terdiam, tidak menyangka langit pun mengetuk pintumu yang enggan terbuka atas semua anugerah yang ada.

Di hadapanmu yang sudah membeli satu pak obat tidur, seorang anak usia 7-8 tahun berdiri dengan satu tungkai penyangga. Ia menegak di depan rumah asri yang kau tahu merupakan kediamannya para yatim-piatu. Beberapa meter darinya, segerombolan anak yang bermain sepak bola menoleh dengan pandangan mencemooh.

“Bermain apa? Berlari pun cuma punya satu kaki! Sudah, masuk saja ke panti dan bermainlah dengan anak perempuan!” Anak paling bongsor tergelak diikuti kawan-kawannya.

“Kau hanya jadi beban! Kami tidak mau kalah gara-gara membiarkanmu ikut permainan kami!”

Mereka berdengung, seperti lebah, lalu berlari ke lapangan bola di seberang jalan, meninggalkannya yang terpaku sendirian. Akan tetapi, dia masih tersenyum.

“Sudah, ndak usah dipikirkan. Anggara memang suka begitu; gawan lair, Le. Ndak bisa diubah. Sudah, daripada sedih, ayo main bareng sama Bunda!” Seorang wanita dewasa berjilbab datang menghampirinya dan anak itu malah tertawa.

“Tidak apa, Bunda! Biar begitu, saya tahu Anggara menganggap saya teman, sama seperti Bunda menganggap saya sebagai anak! Saya tidak sendirian di dunia ini karena banyak orang yang menyayangi saya, termasuk Ayah dan Ibu di surga!” Anak itu tertawa tetapi kamu tahu Bunda tidak tega melihatnya.

Bunda memeluknya erat dan kamu dapat mendengar lagu manis yang ia dendangkan, “Iya, kamu tidak sendirian—kamu tidak sendirian sebab Allah senantiasa mendampingi hamba-Nya yang selalu bersabar dan bersyukur sepertimu.”

Bunda menangis. Hatimu ikut menangis.

Kresek putih di tanganmu jatuh sedangkan sang Nasib berkata lembut, “Dunia adalah arena pertarungan, penentuan mana pemenang mana pecundang. Akan tetapi, tahukah kamu? Pecundang bukanlah mereka yang hidup dalam kesengsaraan dan air mata; pecundang adalah orang-orang yang menolak untuk bersyukur atas apa yang dimilikinya.” (*)

 

Devin Elysia Dhywinanda adalah hasil hibridisasi dunia Koriya dan wibu yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply