Tentang Kamu yang Dibilang Hendak Mengencingi Tanah Ini
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
Ketika kekalahanmu menjadi berita utama tiap media tanah ini, kamu cuma diam. Kamu pandangi orang-orang itu—yang tertawa hingga tersedak; menari sampai telapak kaki mengelupas; meneriakkan kemenangan dan keadilan sampai pita suaranya meloncat keluar—lalu memejamkan mata.
Semua demi perdamaian, kamu membela diri, tetapi kenapa rasanya hampir mati?
Kamu ingat, semua bermula setelah kamu melihat pemilik gigi tajam yang tubuhnya mengeluarkan cahaya keemasan. “Ia adalah panutan,” jelas Ibu waktu itu, “karena berani mengoyak aorta tiap orang jahat di tanah ini.”
Kamu ingat pada darah para pendosa yang menetes dari ujung gigi tajam orang itu serta bagaimana ia tanpa takut menerjang seorang pejabat korup. “Apa pun akan kulakukan jika itu memang sebuah kebenaran,” katanya lantang dan seketika kamu pun mematrikan diri untuk mengikuti jejaknya.
Tidak heran, kamu pun mengasah gigimu siang-malam. Kamu bangun kuil keberanian dalam dirimu sembari mempelajari apa itu keadilan. Kamu memahami etika berdialog, mempraktikkan tips dalam How to Win Friends and Influence People yang katanya best-seller dunia, dan lambat laun menjadi amat andal dalam memersuasi orang lain. Kamu mencoba berbagai keahlian serta menelaah berbagai bidang berbeda agar bisa berpikir independen, tidak menjadi alas dari kaki-kaki kotor di luar sana.
Akhirnya, kamu mempunyai gigi tajam seperti orang itu, pun disukai karena hal serupa. Sebagian orang menganggapmu teladan, lainnya meludah sambil mengumpat lantaran tahu kamu berbahaya. Kamu sendiri menulikan diri dan hidup sebagaimana ucapan orang itu dahulu: Apa pun akan kulakukan jika itu memang sebuah kebenaran.
Namun, kamu baru tahu bahwa ada harga mahal yang mesti dibayarkan untuk gigi-gigi tajam tersebut … karena itulah kamu berakhir di ruangan pengap ini.
***
Kalau dipikir, alasanmu sudi menumbalkan diri demi orang-orang yang menari dan tertawa sampai gila itu adalah karena kamu terlalu cinta pada tanah ini.
Kamu ingat, dulu, orang-orang biasa memandangmu sebelah mata, berkata bahwa cintamu cuma cinta monyet, bohongan, sebab kamu—keluargamu—memiliki fisik nyaris sama dengan para pendosa yang datang dan mengencingi tanah ini berpuluh tahun silam. Itu memang fakta, tetapi kamu tentu saja menolak disamakan. Kamu tahu kisah kelam itu, pun menolak untuk kembali mereka kencingi. Kamu juga terluka, sama seperti orang-orang dengan pandangan menyebalkan itu, karena itu kamu berusaha menajamkan gigi agar tidak ada pendosa lain yang diam-diam mengencingi tanah ini.
“Bahkan bukan lagi masalah jika saya dicap sebagai orang asing. Saya cinta tanah ini. Saya melakukan yang terbaik untuk tanah ini. Apakah itu bukan berarti saya telah menjadi bagian dari tanah ini?”
Sebagian orang mengapresiasi rasa cintamu pada tanah ini. Sekali lagi, kamu patut dijadikan teladan.
Namun, mereka yang merasa memiliki tanah ini—yang mengaku nenek serta kakeknya merupakan keturunan asli—merasa tersisih. Mereka kentara sukar menerimamu sebagai bagian dari tanah ini dan bukannya orang asing yang datang mengencingi tempat ini. Mereka barangkali takut kamu berkhianat, takut rasa cintamu cuma bohongan, atau justru takut kamu saingi. Oleh karena itu, ketika berita tentangmu yang seolah menantang, menjelek-jelekkan, penghuni tanah ini merebak tidak terkendali, mereka serta-merta kebakaran jenggot.
Mereka membenarkan spekulasi bahwa kamu seorang pengkhianat; rasa cintamu cuma bohongan; kamu mempertajam gigi untuk bisa menjadi penguasa baru. Katanya, kamu adalah pendosa yang sesekali bisa mengencingi tanah ini.
Tak ayal, pernyataan itu menyulut api lain. Orang-orang yang mengapresiasi rasa cintamu merasa tidak terima dan berkata berita itu cuma berita bodoh yang dibesar-besarkan. Kelompok lain balas tidak terima dan membuat poster, grafiti, bahkan iklan satir tentang seseorang yang mengencingi gundukan tanah. Lantas tiba-tiba, alun-alun penuh dengan warga yang saling jambak, saling tonjok, bahkan berencana ganti-darah.
Waktu itu, kamu sadar bahwa kamu adalah salah satu pemilik gigi paling tajam di tempat ini. Kamu tahu bahwa itu hanya berita yang dibuat oleh mereka yang tidak suka pada keberanian serta bagaimana kamu mengoyak para pendosa. Kamu mestinya dapat dengan mudah menemukan si provokator dan mengoyak aortanya, sebagaimana yang kamu lakukan pada para pendosa lain.
Sayangnya, sebagian orang terlanjur terpaku dan ketakutan pada capmu orang asing—dan jumlahnya sangat banyak, nyaris seimbang dengan mereka yang menjadikanmu sebagai teladan. Kemudian, dua kubu ini—golongan yang menolak serta golongan yang menerima kebaikanmu—terus berseteru seperti anak kecil yang mempermasalahkan benar-salah. Bahkan, mereka mulai meninggalkan usaha, ibadah, serta keluarga demi memperjuangkan kebenaran masing-masing … dan itu seketika membuatmu membatu.
Kamu teringat dongeng kelam tanah ini serta orang bergigi tajam yang tubuhnya mengeluarkan cahaya keemasan itu. Kamu merenungkan banyak hal, merunut rasa cinta serta apa yang telah kamu lakukan sampai sekarang. Lantas pada satu waktu, kamu menyadari satu hal.
Kamu mesti berkorban. Berkorban banyak sekali … hal berharga.
***
Dahulu, ketika pertama melihat orang dengan tubuh bercahaya itu, kamu bertanya pada Ibu, kenapa cahaya keemasan dapat memancar dari tubuhnya tidak habis-habis, dan Ibu menjawab bahwa orang itu telah melalui banyak masa sulit—bahwa ia telah mengorbankan banyak hal berharga sepanjang hidupnya—karena itu ia pun bertransformasi menjadi sosok suci, sosok terpilih. Kamu terpukau, tentu, dan kamu berkata pada kunang-kunang yang beterbangan di sawah belakang rumahmu bahwa kamu ingin sepertinya: kamu ingin memberikan banyak hal sehingga cahaya keemasan lambat laun terpancar dari tubuhmu.
Kamu masih anak-anak waktu itu. Kamu tidak berpikir pengorbanan seperti apa yang telah orang itu lakukan hingga disebut sebagai Yang Terpilih. Kamu hanya tahu arti “sosok idola” serta impian.
Jadi, tatkala kamu diundang ke rumah Kepala Tanah secara rahasia—ketika kalian berbicara tentang hal rumit semacam kedaulatan serta opini publik—kamu cuma bisa diam. Kamu pulang dengan pandangan kosong, mengukir senyum palsu pada anak serta istrimu, lantas menonton televisi dengan perasaan campur aduk. Kamu ingat, waktu itu kamu bertanya apakah kamu siap berkorban; apakah kamu siap menggadaikan kebahagiaanmu untuk hal utopis semacam perdamaian; apakah kamu siap dijadikan kambing hitam—dan kamu tidak mendapat jawaban apa-apa.
Kini, lama setelah malam itu kamu lalui dengan perasaan hampa—setelah kamu dijadikan tersangka, istrimu pergi dengan dalih tidak lagi sepemikiran, dan kunang-kunang dalam dirimu lesap menjadi kegelapan tidak bertepi—kamu sadar bahwa kamu tidak siap untuk sepenuhnya berkorban. Kamu paham bahwa butuh berliter-liter kesabaran dan keikhlasan untuk menjadi sepertinya. Kamu mengerti bahwa keegoisan adalah hal yang manusiawi dan kamu—yang bertahun-tahun berkawankan udara pengap serta jeruji dingin atas dakwaan dibuat-buat—akhirnya memilih untuk menyerah, memotong semua gigi tajam, kemudian tidur di balik selimut ketidakberdayaan.
Katamu, kamu lelah melepaskan hal-hal berharga.
Di luar, orang-orang yang dahulu mendukungmu menangis, berharap kamu kembali bersama gigi tajammu. Mereka berkata akan menerimamu apa adanya. Namun, kamu lebih tahu bahwa penerimaan masyarakat tidak dapat sepenuhnya menghapus luka alamiah karena dikambinghitamkan, ditinggalkan, dan direnggut paksa mimpinya. Kamu sadar bahwa kamu bukanlah dia … dan cahaya keemasan itu bukanlah milikmu sepenuhnya.
Jadi, setelah kamu dibebaskan dan menanggalkan semua gigi tajammu, kamu berjalan … dan berjalan.
Lantas, saat kamu terduduk di tempat berkumpulnya kunang-kunang sembari menangis keras, menyesali pengorbanan bodoh yang kamu buat untuk mereka yang tidak tahu apa-apa … sebersit cahaya keemasan berpendar dari bilik sanubarimu. Tanpa disangka. (*)
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Koriya dan wibu yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata