Kamu Kenapa, Dek?

Kamu Kenapa, Dek?

Kamu Kenapa, Dek?
Oleh: Fitri Fatimah

Aku bukan orang yang susah dibangunin, sekalipun tidur sangat pulasnya kalau ada yang manggil namaku tiga kali niscaya aku akan muncul (et dah emangnya aku jin?). Enggak, aku bakal bangun, kok, meski dengan misuh-misuh, karena berani-beraninya bangunin putri tidur! Bukan putri tidur karena tukang tidur, tapi karena meski tidur tapi tetap cantik kayak putri-putri. Begitu. Jadi biasanya orang rumah tidak akan ada yang berani mengusik tidurku kecuali ada situasi darurat semacam gempa, kebakaran, atau muncul pikap tahu bulat. “Tahuuu, bulat, digoreng, dadakan, jangan, penasaran,” Haha …. Sehingga ketika Adek, orang yang paling mengerti tabiatku, tiba-tiba pada sebuah tidur siangku, tahu-tahu mengguncang pelan bahu, aku disuruhnya geser. Aku sudah siap dengah misuh paling pedasku, bahkan tak akan peduli kalau mulutku masih bau jigong, hanya saja tiba-tiba lagi Adek ikut tidur di sampingku, menyurukkan kepalanya ke ceruk bahuku, tangannya menarik ujung kaosku seakan berpegangan erat di sana, aku tahu ada yang tidak beres.

Aku … jujur saja tidak tahu apa yang harus kulakukan. Adek selalu adalah orang yang paling pendiam di rumah ini. Entah dia dapat gen dari mana, padahal Ayah Ibu dua-duanya pada berisik, aku apalagi. Kalau ngumpul kami bertiga kalah deh sound Simbada milik Pak Haji, tetangga kami. Adek adalah anak yang pendiam idan penurut. Kalau disuruh ke pasar atau nyapu langsung dikerjain, beda sama aku yang masih nyari seribu alasan. Iya, daripada aku, Ayah dan Ibu pasti lebih senang punya anak kayak Adek. Bukannya aku lagi kena sindrom haus kasih sayang. Hanya saja sifat penurut Adek membuat Ayah dan Ibu mengira bahwa dia baik-baik saja—ya jelas dia anak baik-baik, tapi apakah anak baik-baik selalu baik-baik saja, belum tentu. Dan aku tidak akan pernah tahu kapan Adek sedang tidak baik-baik saja karena ditutupi sikap pendiamnya. Jadi saat ini aku hanya bisa mereka-reka sedikit, apakah dia hanya ingin ikutan ngadem di kamarku—satu-satunya kamar yang ada kipas anginnya—atau inilah bagaimana dia menunjukkan sikap tidak baik-baik sajanya itu.

Selang beberapa menit berlalu Adek masih tetap dalam posisi yang sama. Bukannya aku peduli, tapi bajuku pasti kucel dipelintirnya begitu erat. Dan juga embusan napasnya di selangkaku. Untung rambut Adek rajin disampo.

Aku baru menyadari bahwa posisi bergelungnya tampak amat rentan. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tertutup rambut dan kepalanya yang tenggelam di bahuku, jadi aku tidak tahu apakah dia menangis atau tidak. Tapi kalau dilihat dari embus napas Adek yang teratur, kurasa dia baik-baik saja. Atau ya kuharap begitu. Maksudku, kalau dia sedang tidak baik-baik maka harusnya dia menangis saja.

“Kamu kenapa, Dek?” akhirnya aku bertanya karena tak tahan. Yah, sabar bukan salah satu keahlianku.

Dia tampak menarik napas dalam, lalu menghempaskannya pelan. Lalu kepalanya di leherku terangkat.

“Enggak apa-apa, kok, Mbak. Cuma kepanasan baru pulang kuliah,” jawabnya sambil mengulum senyum kalem. Dan aku makin curiga. Karena bibir mungkin saja bisa berbohong tapi mata, bahkan sekalipun mata itu kering tak dilelehi tangis, tetap saja, ada redup yang … seakan dia baru saja kehilangan, atau tersakiti.

Aku akhirnya memutuskan bangun dari posisi tidurku, menendang selimut. “Cerita aja sama Mbak, Mbak bakal dengerin.”

Dia menaikkan alis tampak agak geli dengan kata-kataku. Apa-apa? mentang-mentang biasanya aku yang berisik jadi disangkanya aku enggak bisa menjadi pendengar yang baik, gitu? Ah, jangan menilai buku dari sampulnya dong.

“Aku enggak apa-apa, Mbak. Serius. Mau mandi dulu ya aku, lengket banget abis dari kampus belum salin.”

Lalu dia menggeluyur keluar.

Yang tidak kusangka, keesokan harinya ternyata adalah hari terakhirku melihat Adek. Tidak, bukan, bukan, jangan sampai kalian menerka yang terburuk dulu. Aduh istighfar kalian sana. Maksudku, karena keesokan harinya Adek kemudian berangkat KKN. Sebulan aku tidak akan melihatnya. Dia berangkat sambil membawa ransel penuh di punggungnya.

“Kalau rindu sama Mbak tinggal telepon, ya? Kalau ada cowok yang ganggu tinggal bilang ya?! Mbak tendangin nanti anunya!” teriakku urakan dari pagar rumah saat melepas Adek. Ibu dan Ayah sudah keburu masuk ke dalam, malu sama tingkah anak gadis sulung mereka. Adek cuma tertawa kecil, dan melihatnya entah kenapa aku jadi ingin berlari memeluknya. Serius, itu adalah tawa yang paling tidak ikhlas, jelas-jelas ada sesuatu yang mengganggunya, jelas ada kesedihan di matanya. Dan meski aku tidak begitu jelas, sepertinya mata Adek bengkak? Aku tidak sempat memastikan karena bus rombongan Adek keburu datang, Adek langsung naik. Aku masih melambai-lambaikan tangan “dadah” kepada busnya yang menyisakan asap debu.

Aku masuk ke dalam rumah sambil menggaruk rambut yang memang gatal, kapan terakhir kali aku keramas, ya? Bukan … aku serius bingung. Ada apa dengan Adek? Dia sama sekali tidak mau cerita. Memangnya seberapa besar masalahnya? Padahal kalau sama aku, “Adek bertanya, Mbak punya solusinya.” Rencana aku bakal pakai slogan itu. Sayang Adek tetap tidak mau terbuka. Huh. Mungkin aku harus cari tahu sendiri?

Ini agak melanggar privasi sebenarnya—aku menyelinap ke kamar Adek dan mengutak-atik barangnya. Tenang, habis kuobok-obok kubereskan lagi seperti semula. Tak akan kutinggalkan sedebu pun jejak yang bakal sampai bisa buat dia curiga. Oh gini-gini aku pernah nonton film detektif, lho.

Satu jam pertama aku aku tidak menemukan apa-apa. Yah, kalau yang kamu maksud adalah sederet bukunya di rak, atau bros-brosnya di laci, atau seprei kasurnya yang ditinggalkan rapi, apanya yang mencurigakan dari itu. Mungkin aku memang harus bertanya langsung pada Adek, mungkin harus kupepet dia sudut kamar lalu kuancam, “Ngaku tidak? Kalau tidak ngaku awas ….” Awas apa ya … aduh, aku tidak punya cerita memalukan soal Adek yang bisa kupakai sebagai senjata. Seumur hidup, Adek hidup dengan santun dan elegan. Iya, iya, 360 derajat kebalikan dari mbaknya. Yah aku cuma tahunya kalau Adek bakal bereaksi seru tiap aku menggoda bakal mencuri-baca buku hariannya. Atau kalau kadang aku mengendap-ngendap dari belakang ketika dia sedang curhat di buku harian itu, saat Adek akhirnya menyadari kehadiranku dia akan langsung terpekik histeris macam lihat setan. Hei, ini mbakmu. Sadar. Lagian apa sih yang dia tul—sebentar, buku harian … oh, ya ampun, otak! Dasar kau otak lelet. Butuh loading berapa lama!

Aku segera mencari buku harian Adek. Biasanya Adek meletakkannya di … ya! Di lemari bajunya, rak kedua dari bawah, diselipkan di bawah lipatan baju. Nah, ketemu! Oh, aku tahu dong. Aku gitu, lho. Si tukang intip. Dan kamu bangga? Ckckck.

Sial!

Wahai Adek tersayang, kalau kamu mau nulis puisi, kirim ke media aja kek gitu … ke majalah, kek. Ke koran, kek. Apa deh, kek. Pokoknya—ih, puisi kok malah disembunyikan di buku harian doang. Siapa yang mau baca. Bikin pencarian Mbak sulit aja. Aku melompati halaman-halaman yang bentuk tulisannya seperti puisi, bisa kutahu dari bentuk barisnya yang pendek-pendek. Oh puisi, puisi lagi, lagi … sampai halaman belakang semuanya isi puisi. Padahal aku baca novel saja suka tiba-tiba kayak mabuk darat; pusing, mual. Apalagi yang puisi, yang maknanya masih tersirat-sirat, yang maknanya masih—berapa lapis? Ratusan!

Akhirnya menyerah, aku hendak mengembalikan buku harian Adek ke tempat semula, ketika secara tak sengaja aku melihat ujung kertas yang menyumbul dari bawah lipatan baju yang lain. Aku mengambilnya. Sebuah kertas undangan.

Ada banyak gambar bunga-bunga di permukaan kertasnya yang berwarna merah muda. Yang paling besar adalah gambar rangkaian bunga yang membentuk pola hati, mengurung dua nama di tengahnya, Umam & Leha.

Oh, undangan pernikahan. Ngapain Adek masih pakai menyimpannya segala. Kutengok tadi di tanggalnya sudah jatuh tempo, maksudku, sudah lewat, sudah kemarin hari resepsinya. Jadi kenapa masih repot-repot disimpan? Apa mau dia jadikan kipas lipat? Wah, kreatif nian adekku. Mirip siapa co—aku terhenyak. Saat aku mengipas-ngipaskan kertas undangan itu, aku baru menyadari teksturnya yang agak lembek, seakan sudah kusut, padahal tidak lecek, kok. Aku mencoba memperhatikannya lebih teliti. Ada beberapa cetakan kata yang pudar, seakan dirembesi hujan. Dan sumpah demi apa, pada beberapa bagian, bekas hujannya masih terasa lembab ketika kuraba. Tak mungkin hasil cipratan ludahku, kan? Atau … tiba-tiba pemandangan mata Adek yang tampak bengkak saat tadi kulepas berangkat KKN menghantamku. Dia tadi menangis? Dia menangis di atas ini? Dia menangisi si—siapa tadi namanya? Aku menengok lagi. Umam! Umam awas kau dasar kampret-belalang-sembah! Awas kau, ya! Kutendang anumu!

 

Fitri Fatimah, suka membaca. Menulis adalah kegiatan yang baginya wajib dibarengi kopi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply