Kamu Kenapa?
Oleh : Andi Dela
Mentari pagi menelusup masuk ke kamar seorang gadis cantik bermata indah. Membangunkan ia dari tidur nyenyaknya, tampak raga seakan nyaman dengan cuaca sejuk pagi ini. Ia masih memerlukan sedikit waktu untuk bergelung di ranjang king size-nya itu. Sampai suara ketukan memecah keheningan di kamar tersebut.
“Lia, bangun, Nak. Ini udah jam setengah tujuh loh, kamu nggak lupa kan hari ini mau ngapain?” teriak seorang wanita dengan senyum yang mampu membius sekitarnya.
“Lima menit lagi, Bun. Lia masih pengen tidur,” jawab gadis bernama Ardelia tersebut.
“Nggak bisa, Sayang, masa kamu mau telat ke sekolah barumu itu,” ujar wanita itu, berusaha membujuk anaknya.
“Ya udah deh, Lia bangun skarang,” desahnya pasrah.
Akhirnya ia berusaha sekuat tenaga melawan gaya tarik ranjangnya itu. Mengingat hari ini, menjadi hari pertamanya di sekolah baru setelah kedua orangtuanya pindah ke kota tersebut. Terhitung sudah empat kali ia pindah sekolah, termasuk SMA Dream tempatnya bersekolah mulai hari ini.
Setelah bersiap, ia turun menemui orangtuanya di meja makan. Sesampainya di sana, ternyata semua anggota keluarganya telah berkumpul. Termasuk juga adiknya.
“Gimana, Kak, emang jadi hari ini pindah ke sekolah aku?” tanya pemuda jangkung itu antusias.
“Iya, jadi kok. Nanti kamu anterin aku urus kelengkapan berkas di ruang guru yah,” pinta Ardelia dengan halus.
“Pastilah kalo itu, Kakak tenang aja.” Sambil menampilkan senyum manisnya.
Kemudian ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, seperti mencari sesuatu. Lalu beralih ke wanita yang saat ini sedang mengoleskan selai stroberi kesukaan gadis itu ke rotinya.
“Oma ke mana, Bun?” tanyanya dengan rasa penasaran.
“Oma tadi ke kamar, katanya lagi nggak enak badan,” jelas bundanya.
“Kalo gitu, aku sama kakak berangkat dulu Bun. Takut telat nanti,” pamit pemuda itu sambil mencium tangan kedua orangtuanya.
Ardelia yang peka dengan situasi, akhirnya mulai merapikan diri lalu menyandang tas sekolahnya. Setelah mencium tangan orangtuanya itu, dia pun bergegas menyusul adiknya yang sudah lebih dulu berlari ke garasi guna mengambil mobil.
Sesampainya mereka berdua di sekolah bertaraf internasional tersebut, langsung saja keduanya menjadi pusat perhatian para siswa-siswi yang berlalu-lalang pagi itu. Seragam sekolah yang dipakai Ardelia sangat pas di badan rampingnya, serta rambut yang dibiarkan tergerai indah memberikan kesan anggun pada gadis tersebut. Adiknya Arya, juga salah satu most wanted di sana. Semakin membuat para siswi iri sekaligus kagum dengan perpaduan kecantikan serta ketampanan kakak beradik itu. Mereka sempurna dari ujung kaki sampai ujung kepala, tanpa ada celah sedikit pun. Setiap pasang mata yang melihat mereka pasti tak akan mampu berpaling dari ciptaan Tuhan satu ini.
Saat melewati koridor yang menghubungkan mereka ke tempat tujuannya itu, tiba-tiba dari arah berlawanan, datang seorang siswa bersama buku-buku tertumpuk tinggi di tangannya. Siswa tersebut tanpa sengaja menyenggol bahu Ardelia, yang mengakibatkan ia kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh terjungkal. Untuk saat itu Arya dengan sigap menangkap tubuh kakaknya, sehingga bokong gadis cantik itu tak jadi menyentuh lantai beton karena kemalangannya pagi ini.
Siswa tadi jatuh bersama buku-bukunya. Melihat kemalangan siswa tadi, Ardelia mengajak Arya untuk membantunya merapikan kekacauan yang terjadi saat ini. Siswa tadi tampak sedang berusaha bangkit dari lantai, sambil menahan sakit akibat tertimpa buku. Menambah kemalangannya hari ini.
“Aduh, maaf yah. Aku nggak sengaja nabrak kamu tadi,” ujar Ardelia merasa tidak enak.
“Iya, nggak apa-apa. Aku juga salah kok, nggak hati-hati tadi,” jawab siswa itu. Kemudian bertanya, “Kamu siswi baru, yah? Aku baru liat kamu hari ini.”
“Iya, aku siswi pindahan. Baru masuk hari ini,” jawab Ardelia.
“Kalau begitu kami permisi, mau ke ruang guru urus berkas kepindahan,” ujar Arya menyela.
Kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan mereka yang sempat terhenti tadi. Setelah mengurus semua berkas kelengkapan pindah sekolahnya, Arya kembali ke kelas karena bel jam pelajaran pertama telah berbunyi.
Ardelia duduk menunggu guru yang akan menjadi wali kelasnya nanti pada kursi yang ada di sana. Setelah guru tersebut sudah bersiap, mereka kemudian berjalan menuju kelas 2-3 yang akan menjadi kelasnya.
Ruangan kelas itu tadinya sangat riuh dengan percakapan dan segala aktivitas murid di dalamnya. Saat guru itu memasuki kelas, seketika mereka semua berhamburan menuju ke tempat duduk masing-masing. Ardelia kemudian disuruh memperkenalkan dirinya.
Segera saja ia berujar, “Halo, perkenalkan nama saya Ardelia Safira. Saya biasa dipanggil Lia, pindahan dari Bandung. Saya harap kita semua bisa menjadi teman, dan mohon bantuan teman-teman dalam masa penyesuaian saya dengan lingkungan sekolah nantinya.” Setelah itu, ia menampilkan senyum manisnya.
“Oke, Lia. Kamu bisa duduk di bangku tengah dekat jendela itu, ya,” ujar wali kelasnya kemudian.
“Iya, Bu. Terima kasih,” jawabnya.
Lia berjalan menuju ke tempat duduknya dengan semua mata tertuju padanya.
“Sekarang, kalian buka halaman 36 buku latihan Matematika,” ucap wali kelasnya.
Kini, tiba waktunya jam istirahat, suasana kantin saat ini tengah ramai. Ardelia saat ini tengah menunggu Arya, mereka telah berjanji tadi di perjalanan menuju sekolah kalau jam istirahat mereka akan bersama-sama ke kantin. Kemudian, seorang siswi datang menemuinya.
“Hai, perkenalkan namaku Bella. Kamu mau ke kantin bareng, nggak?” tanya siswi itu.
“Halo, aku Lia. Boleh, aku kabari Arya dulu, yah. Takut nanti dia menungguku di sini,” jawab Ardelia.
“Baiklah, aku tunggu di depan kelas. Oke?” usul Bella.
“Oke, makasih Bella,” sahutnya sambil tersenyum manis.
Setelah Ardelia mengabari Arya tentang teman barunya itu. Ia kemudian menghampiri Bella yang saat ini tengah berbincang dengan salah satu teman kelas mereka. Entah apa yang tengah mereka perbincangkan, tampak sangat seru kelihatannya.
“Bel, aku udah nih. Yuk, ke kantin,” ajak Ardelia.
“Yuk … Mel kita bicara lagi nanti, yah,” ujar Bella pada gadis berkacamata di depannya itu.
Setelah mendapat anggukan tanda persetujuan, mereka berdua berjalan beriringan menuju tempat tujuan awal mereka tadi, sambil berbincang ringan mengenai hari pertama Ardelia di sekolah ini.
Sesampainya mereka berdua di kantin yang penuh sesak dengan siswa-siswi seluruh sekolah. Mereka kemudian memilih tempat duduk di sudut ruangan yang masih tersisa saat itu.
“Kamu tunggu di sini, biar aku yang pesan makanan,” ujar Bella kemudian, “kamu mau pesan apa?”
“Nggak apa-apa nih?” tanya Ardelia. “Aku mau pesan nasi goreng sama minumnya es jeruk.”
“Oke, kalo gitu aku pesan sama kayak punya kamu aja.” Lalu Bella berjalan menjauh dari meja tersebut.
Kemudian Arya datang menghampiri Ardelia dan ikut bergabung bersama di meja itu, sambil menunggu Bella datang mereka memilih untuk memulai pembicaraan dengan topik ringan.
“Gimana hari pertama sekolahnya, Kak?” tanya Arya.
“Seru sih, teman kelasku juga baik. Contohnya Bella,” ujarnya. “Tadi di kelas dia menghampiriku terlebih dahulu, mengajak berkenalan setelah itu ke kantin sama-sama. Dia juga sempat jelasin ke aku, letak-letak ruangan yang ada di sekolah sama kapten basket yang katanya ganteng banget. Aku jadi penasaran sama dia, kamu tahu nggak orangnya?”
“Oh … si Dimas? Seluruh sekolah juga tahu kali siapa dia. Seorang kapten basket kebanggaan sekolah dengan wajah di atas rata-rata. Kenapa? Kamu mau kenalan sama dia? Aku tahu kok kok mana orangnya, dia kan satu tim sama aku,” ujar Arya panjang lebar.
Sebelum Ardelia menjawab pertanyaan Arya tadi. Bella tiba-tiba datang membawa pesanannya, dia tampak kesusahan membawa nampan yang penuh dengan makanan dan minuman tersebut. Melihat Bella seperti itu, langsung saja Arya berlari menghampirinya. Kemudian mengambil nampan yang dibawanya. Sempat menerima penolakan dari gadis itu, tetapi Arya tetap kekeh membantunya. Jadi Bella hanya bisa pasrah menerima bantuan dari pemuda tersebut.
Sesampainya di meja Ardelia, wajahnya penuh dengan tanda tanya. Bingung dengan kehadiran Arya di sini, yang merupakan anggota tim basket sekolah. Siswa incaran para siswi seluruh sekolah, termasuk juga dirinya yang sangat mengagumi seorang Arya dalam diam.
“Tadi aku lihat kamu akrab banget sama Arya, sampe ketawa bareng gitu.”
Ardelia yang mengerti arah pembicaraan Bella saat ini, kemudian menjawab, “Dia kan adik aku, Bel.”
“Kok aku baru tahu, Arya punya kakak cantik gini,” sahut Bella sambil menowel dagu perempuan di depannya.
“Ih, apa sih, Bel. Aku biasa aja kok, nggak cantik-cantik banget kayak yang kamu bilang barusan,” gumam Lia sambil tersipu malu.
“Merah deh pipinya, cieee yang dipuji,” ujar Arya yang juga menggoda kakaknya itu.
“Kamu nggak usah ikut-ikutan, Ar. Aku malu tahu.” Sambil memasang muka cemberutnya.
Saat mereka bertiga lagi asyik bercanda, dari kejauhan sana terlihat segerombolan siswi memenuhi pintu kantin. Ternyata orang yang menyebabkan kegaduhan itu, siswa yang sedari tadi menjadi bahan pembicaraan mereka tengah berjalan memasuki area kantin. Hal yang wajar terjadi, saat siswa tersebut melangkah di setiap sudut sekolah, pasti menciptakan kegaduhan akibat para pengagumnya itu.
“Dim, duduk sini,” ajak Arya tiba-tiba.
Pemuda itu hanya mengisyaratkan dengan tangan jempol ke atas, kemudian berjalan santai menghampiri Arya. Sebelum itu tak lupa pula memamerkan senyumnya ke para penggemarnya itu. Sesampainya ia di sana, mereka berdua bertos layaknya seorang lelaki pada umumnya. Setelah itu Dimas memilih duduk tepat di depan Ardelia, karena satu-satunya tempat duduk yang tersisa hanya itu.
“Mulai deh, tebar pesona sama cewek-cewek. Iya tahu yang famous,” cibir Arya.
“Bukan gue yah, mereka aja yang ikutin ke mana-mana,” protes Dimas tak terima.
“Terserah apa kata lo. Eh … kenalin kakak gue, baru masuk hari ini dia.” Sambil menunjuk Ardelia.
“Oh, halo. Gue Dimas, selamat datang di SMA Dream.” Kemudian menjulurkan tangannya pada Ardelia.
“Halo, Ardelia. Iya, terima kasih.” Menyambut uluran tangan pemuda di depannya.
Setelah itu, mereka tenggelam dalam dunianya masing-masing. Para lelaki sibuk membicarakan pertandingan basket antarsekolah, yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Lia dan Bella melanjutkan makan mereka yang sempat tertunda tadi. Tanpa sengaja mata Ardelia bertemu dengan Dimas, saat dirinya mengangkat kepala berniat untuk mengambil saus di ujung meja. Buru-buru ia paling wajahnya ke arah lain dengan jantung yang tiba-tiba berdetak tidak biasanya. Seperti merasakan getaran yang tak tahu berasal dari mana.
- ••
Hari-hari Ardelia di SMA Dream penuh dengan canda tawa. Dalam setiap waktu senggang, mereka saling mendengar curhatan satu sama lain. Sejak kejadian di awal ia bersekolah, Bella menjadi sahabatnya hingga kini. Saat jam istirahat seperti sekarang ini, mereka akan duduk di meja penuh kenangan Lia saat awal mereka bertemu. Tetapi topik yang menjadi bahan pembicaraan mereka sejak beberapa minggu lalu tidak pernah berubah, seakan mereka sudah tak ada topik lain untuk jadi bahan pembahasan.
“Lia, kamu nanti ke lapangan basket sama siapa? Aku boleh nebeng, nggak?” bujuk Bella ambil memasang muka memelasnya.
“Aku paling nanti sama Arya pake mobilku. Boleh… kamu nebeng aja sama aku masih muat kok,” ujarnya. “Itu muka nggak usah kamu kayak gituin, jelek tahu.” Kemudian mencubit pipi Bella.
“Aduh!! Sakit, Lia … kamu kebiasaan deh, suka cubit-cubit pipi aku.” Ia memonyongkan bibirnya.
“Nggak usah ngambek dong, Bel.”
Capek membujuk Bella yang sudah telanjur marah, Ardelia akhirnya mengeluarkan jurus paling ampuh sebagai jalan satu-satunya. Saat itu Lia pura-pura minta izin ke kamar mandi, tapi belum sampai beberapa meter perginya, kemudian ia berbalik. Berjalan mengendap-ngendap ke belakang gadis itu, lalu menggelitiki pinggangnya sekuat tenaga.
“Hahaha … Hahaha … Hahahaha … udah, udah Lia perutku sakit,” mohon Bella disela tawanya.
“Aku akan berhenti, kalo kamu mau maafin yang tadi.”
“Iya, iya, aku maafin kamu, Lia. Ini berhenti dulu gelitikin aku.” Sambil memegang perutnya.
Lia berhenti menyiksa Bella dengan gelitikan mautnya. “Eh, kamu mau nggak aku bantuin biar deket sama Arya?” tanya Lia tiba-tiba.
“Apa sih, Lia, jangan keras-keras gitu. Aku malu tahu,” ucapnya tersipu malu.
“Hehehe … ya maaf, Bel, aku terlalu semangat soalnya.” Lia memperlihatkan deretan gigi putih bersihnya. “Nanti kamu dandan yang cantik yah, biar si Arya suka sama kamu,” ujarnya kemudian.
“Kalo masalah dandan aku bisa lah. Tapi nanti kalau di lapangan gimana? Aku nggak bisa nyari topik buat ajak Arya ngobrol, pasti canggung gitu rasanya,” keluh Bella.
“Tenang kalo itu, bisa diatur. Aku duluan yah, mau ke perpustakaan minjem buku kemarin yang direkomendasiin Dimas ke aku, bye.” Ia melambaikan tangannya pada Bella sambil berlari menjauh dari sana.
“Aku tuh heran sama Lia, dia sibuk banget jodoh-jodohin aku sama Arya. Dia sendiri cuma bisa mencintai dalam diam. Eh, Lia hari ini udah check-up belum, ya?” Langsung saja Bella mengejar Lia yang sudah jauh.
Ya, Bella telah mengetahui penyakit berbahaya yang diderita Lia selama ini. Seorang gadis belia yang harus menanggung penyakit berbahaya selama sisa hidupnya, Ardelia menderita leukemia. Harusnya ia menjalani perawatan intensif. Tetapi karena keras kepala, ia lebih memilih untuk bolak-balik rumah sakit memeriksakan penyakitnya itu. Katanya penyakitnya masih belum perlu untuk dirawat intensif.
Sejak kapan Bella mengetahuinya? Pertama kali saat mereka berdua sedang jam pelajaran olahraga, Bella secara tak sengaja melihat hidung Lia mengeluarkan darah, katanya cuma kecapekan saja. Jadi Bella tak mau ambil pusing saat itu. Tetapi setelah dirinya mematai-matai Lia karena merasa ada yang disembunyikan oleh sahabanya, kedua kalinya Bella memergokinya berlari ke kamar mandi, barulah ia mendesak Lia untuk jujur padanya dan mengetahui kebenaran dugaannya selama ini.
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore waktu setempat, setelah tadi Bella menemani Ardelia ke dokter. Mereka kemudian menuju tempat janjian dengan Arya sebelum ke lapangan. Setelah itu barulah mereka bertiga pergi ke tempat dilaksanakannya pertandingan.
Sesampainya mereka di lapangan, Arya berpisah dengan mereka berdua menemui teman-temannya di lapangan. Pertandingan itu berlangsung sengit dengan hasil akhir 55 banding 54 poin untuk SMA Dream, otomatis sekolah mereka memenangkan pertandingan itu. Saat merayakan kemenangan timnya, tiba-tiba Dimas menarik Steffani, kapten cheerleader SMA Dream ke tengah lapangan. Kemudian berlutut di depannya, lalu mengeluarkan sebuah kalung liontin berbentuk hati.
“Steff, kamu mau nggak jadi pacar aku? Kalo kamu mau, ambil kalung ini. Tapi kalo kamu nggak mau, tinggalin aku di sini,” ujar Dimas.
Sambil menutupi wajahnya dengan pom-pom, Steffani mengambil kalung itu. Kemudian berkata, “Iya, aku mau jadi pacar kamu, Dim.”
Seketika pemuda tersebut bangkit kemudian memeluk perempuan di depannya yang telah resmi jadi pacarnya mulai saat ini. Para penonton riuh menyaksikan adegan romantis sepasang remaja itu. Tapi, lain halnya dengan Ardelia. Dia seperti dihujani ribuan jarum yang menusuk hatinya, sama halnya dengan Bella. Ia turut merasakan kesedihan sahabatnya itu.
Seketika pandangan Ardelia berubah gelap dan rasa sakit di kepala yang semakin menjadi. Rasanya seperti mau pecah saja kepalanya saat itu. Langsung saja ia memegang lengan Bella, berdiri tak jauh darinya saat ini. Bella yang merasakan cengkeraman kuat dari seseorang di sampingnya pun menolehkan kepala. Mendapati sahabatnya tengah menahan sakit yang amat sangat.
Karena khawatir, ia pun bertanya, “Kamu kenapa?” tapi tak ada jawaban dari gadis tersebut. Kemudian ia bertanya lagi, “Kamu kenapa?” Setelah itu, tubuh Ardelia ambruk ke lantai dengan darah segar mengalir dari hidungnya. (*)
Andi Nur Vira Dela dengan nama pena Puuus. Aku lahir di Makassar, 14 April 1999. Sekarang berdomisili di Kota Makassar. Genre yang aku suka itu romance dan teenfic. Penyuka segala hal yang berbau K-Pop. Bagi yang mau berkenalan lebih dekat dengan aku, bisa ke akun Instagram @delayndni, bisa juga membaca karya-karyaku di akun Wattpad @Puuuus. Terima kasih dan semangat berliterasi bagi kita semua.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata