Kamu dan Perkataan Meyakinkan Itu

Kamu dan Perkataan Meyakinkan Itu

Kamu dan Perkataan Meyakinkan Itu
Oleh : Ning Kurniati

Kamu sedang duduk bersama dengan teman-temanmu di bawah pohon mangga di samping kelas. Guru tidak masuk di jam terakhir pelajaran hari ini. Sehingga kalian merasa tidak ada alasan untuk bertahan di dalam dengan tembok cat warna hijau itu. Itu sama saja dengan membatasi ruang gerak. Kami yang anak laki-laki juga tak jauh beda dengan kalian. Masing-masing keluar mencari hal-hal yang menyenangkan, apalagi kalau bukan kesenangan yang dicari. Ini masa SMA—masa putih abu-abu, masa bagi sebagian orang mengalami cinta pada pandang pertama, pikirmu dan teman-teman.

“Kenapa jarang bergabung dengan teman laki-laki yang lain?” tanya Lita, sahabatmu.

“Kenapa harus?”

“Bukan kenapa harus, hanya ya, kenapa saja?”

“Memang salah bergabung dengan kalian. Atau jangan-jangan kalian tidak suka saya ikut bergabung di sini?”

“Tidak begitu.”

“Kamu tidak takut jadi kemayu?” sambarmu.

“Kenapa pula bila lebih sering bersama anak perempuan, saya akan jadi kemayu?”

“Ya, memang begitu ‘kan, rata-rata.”

Saya mengalihkan pandangan pada orang-orang yang sepertinya akan menuju ke sini. Meski orangnya belum kelihatan, tetapi suaranya semakin dekat semakin besar. Benar saja, Diman dan kawan-kawan. Seorang anak laki-laki yang menjadi idola para adik kelas, kalian juga, mungkin. Tetapi, kalian cukup pintar menjaga bahasa tubuh, untuk tidak diketahui dengan jelas. Siapa pun itu, orang yang di luar kita—saya menyebut kata kita, karena tak ada kata yang lebih tepat untuk mewakili—tidak akan pernah berpikir demikian. Tetapi, sebagai orang yang cukup dekat, saya tahu ada perubahan pada sikap kalian. Tidak apa-apa ‘kan, saya menyebut dekat?

Diman mulai melancarkan pesonanya, membahas tentang hal-hal yang menarik perhatian teman-teman perempuan pada umumnya: kepemimpinan dan ketenaran. Tentu saja itu didapatkannya karena dia adalah seorang ketua osis. Sehingga, telinga di balik kerudung-kerudung sedada itu dipasang seolah hanya untuk mendengarkan perkata lelaki yang terlihat biasa-biasa ini. Itu pandangan saya sebagai orang yang perlahan seolah tersingkirkan karena keberadaan dia dan teman-temannya yang sok kegantengan. Tetapi memang begitu kenyataannya. Saya perkirakan tingginya itu tak lebih dari seratus enam puluh uuh, pendek untuk ukuran laki-laki; kulitnya kuning langsat, seperti kulit anak perempuan saja; matanya bolak, dengan wajah yang bulat bola. Iya, bola, berisi di mana-mana.

Saya perlahan melangkah menjauh. Untuk apa di sini, menjadi tampak seperti kambing congek1. Lalu, tiba-tiba kamu bertanya, “Mau ke mana?”

“Mau ke WC. Mau ikut?”

“Iih…”

“Ke kelas.”

“Ikut.”

Saya berjalan di depan dan kamu mengikut di belakang meninggalkan teman-teman yang seperti peserta rapat, khusuk diam mendengarkan. Pada saat berbalik itu, saya melihat Diman melirikmu sebentar dan karena hal itu mendadak saya merasa telah menang atas pertarungan yang entah kapan dimulai, tapi yakin kalau hari ini saya keluar sebagai pemenang.

Beberapa teman sedang berkumpul di pintu, entah sedang membicarakan apa. Kita pun berhenti di sana, tidak jadi masuk ke kelas. Toh, Untuk apa? Sedang teman-teman berkumpul di sini. Tidak ada pembicaraan berarti yang mereka lakukan. Hanya duduk, tiga perempuan pada dua bangku tepat di depan pintu, yang kalau-kalau ada orang ingin ke dalam kelas satu dari mereka harus menyingkir. Di sebelahnya teman kami yang laki-laki duduk sendiri karena memiliki badan yang tambun. Selebihnya lagi dua perempuan dan tiga laki-laki lesehan bersandar pada tembok kelas di samping kursi-kursi itu.

Begitulah hari-hari di sekolah yang bila kamu hadir sebagai pemeran di sana, tidak satu pun yang terlewatkan dari benak saya. Semuanya mengendap, seperti bentos-bentos di danau kampus. Kamu begitu bahagia ketika mendengar saya lulus di kampus itu. Salah satu kampus terbaik di bagian timur, Indonesia. Saya harus bangga, katamu. Tetapi, apa yang harus saya banggakan? Sedang itu berarti kamu tidak lagi hadir sebagai pemeran di beberapa jam hari-hari yang akan saya lewati. Kamu lulus di tempat lain. Kampus yang dari sana kamu akan memulai karirmu sebagai tenaga pengajar kelak di sekolah kelurahan atau kecamatan. Bukankah ada kata cinta yang mengikat di antara kita, katamu meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja, sampai waktunya tiba.

Saya tidak pernah menyangka bahwa dunia kampus akan menyita waktu sedemikian itu. Kita sama-sama tenggelam dalam kesibukan yang tak berujung, habis satu tumbuh yan lain lagi. Tidak waktu kuliah, laboratorium, praktik lapang, beroorganisasai. Katamu, tidak apa toh, itu tidak mengurangi keinginan untuk bersama selepas kuliah. Tidak, ralatmu. Setelah kerja, ya setelah kerja, rapal saya. Saya mengingat baik-baik kalimat itu, bila-bila seorang perempuan mendekat. Saya bukan orang yang tidak peka untuk paham bahwa mereka diam-diam menaruh harapan, diam-dian memberikan perhatian yang tentu saja berbeda dengan teman laki-laki yang lain. Mereka itu datang menguji saya untuk kamu. Dan, mungkin di tempat lain kamu pun sedang diuji.

“Bagaimana kalau orangtuamu tidak merestui kita?”

“Maka kita harus merayu Tuhan.”

“Merayu Tuhan?”

“Ya, kenapa tidak.”

Saya selalu meragukan kalimat itu, “Merayu Tuhan” oh, ada-ada saja. Mana mungkin Tuhan mau dirayu oleh kita yang seperti ini. Saya sudah paham, bahwa ini salah. Aku salah. Kamu salah. Hubungan kita salah. Teman-teman yang menjadi pengurus musala fakultas itu, begitu gencar mendatangi saya. Sebentar ke sana, sebentar ke situ dan saya mau-mau saja. Kamu girang, begitu saya mengatakan bahwa ada aktivitas tambahan yang sedang saya lakukan, bersama teman-teman datang ke majelis-majelis ilmu agama.

“Itu bagus!”

“Apanya yang bagus?”

“Kamu bisa merayu Tuhan dengan lebih baik. Tuhan akan mendengarkan doa-doa setiap hambanya, bukan?”

Oh, ya, ampun! Kamu masih belum mau mengubah kalimat itu. Walaupun begitu, saya tetap melaksanakan apa yang kamu minta, merayu Tuhan. Saya merayunya setiap lima waktu. Kadang-kadang juga di waktu yang lain. Sebegitu berusahanya saya.

“Apa kamu tidak meragukan hubungan kita?”

“Kenapa saya meragukan? Tidak sedikit pun. Saya akan menunggumu, dan tidak akan menerima laki-laki lain.”

Kamu selalu menegaskan kalimat itu, menunggu. Meski saya bilang, orangtuamu tidak akan merestui lantaran kalian keturunan Karaeng2 sedang saya cucu dari seorang yang pernah mengabdi pada kalian, ata3. Ini 2019, tidak lagi ada begitu-begitu, lagi kamu meyakinkan. Dan, kamu selalu kekeh mempertahankan pendapat itu: akan menunggu, merayu Tuhan, zaman sudah modern. Hingga pada akhirnya kamu menyerah juga dan mengundang paksa saya untuk datang ke rumahmu hari ini.

Semua orang dengan senyum semringah memasuki tenda khusus itu meski matahari masih menggilas siapa pun dengan sengat panasnya sore ini. Rangkaian bunga dengan warna putih dibentuk sedemikian rupa sebagai gapura. Persis seperti apa yang sudah kita bicarakan. Saya yakin kamu bahagia dengan itu.

Saya mengamatimu dari jauh di tempat khusus yang sudah disediakan. Orangtua yang melahirkanmu tak henti-hentinya mengumbar senyum. Kamu juga, padahal sebelum berangkat ke sini saya sudah berpikir akan ada setitik kesedihan di wajah itu. Wajah yang sering mengumbar kata-kata meyakinkan.

Teknik arsitektur, saya tidak tahu apa yang salah dengan itu? Dan kenapa orangtuamu mensejajarkannya dengan pekerja bangunan? Tidak punya masa depan yang jelas. Oh, matanya sungguh buta. Itu hanya alasannya saja. Namun, terlalu jauh untuk disayangkan dibanding alasanmu bisa menerima dia. Saya berjalan mendekat, setelah sengaja membiarkan rombongan orang-orang bersalaman duluan dengan kalian. Apa? Apa kamu kaget melihat saya mengosongkan waktu untuk datang ke sini, hari ini, di jam ini? Matamu membelalak, saya tersenyum. Diman menatap kesal, saya menyalamimu. Orang-orang berdeham, saya malah memelukmu.

“Dulu, kamu bilang apa, ya?”(*)

 

Catatan:

  1. Kambing congek: sebutan ketika seseorang diam tidak tahu harus beruat apa—tampak bodoh, sedang disekitaran orang-orang sedang riuh dengan urusannya masing-masing.
  2. Karaeng: Sebutan untuk para bangsawan.
  3. Ata: Sebutan untuk orang-orang yang bekerja melayani kebutuhan para karaeng.

 

Kemarau di September 2019

Ning Kurniati, perempuan biasa dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link: bit.ly/AkunNing dan email: niningkurniati11@gmail.com.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

Leave a Reply