Kampungku Indah Sekali di Malam Hari

Kampungku Indah Sekali di Malam Hari

Kampungku Indah Sekali di Malam Hari
Oleh: Erlyna

Hari ini adalah hari istimewa. Sudah satu jam aku berdiri di depan cermin, meyakinkan diri bahwa penampilanku malam ini akan sempurna. Bagaimanapun, aku tidak ingin malam ini kacau. Ini hari yang penting.

Tak lama terdengar ketukan pintu. Ah, itu pasti Mas Rama.

“Sudah siap?”

Aku mengangguk sambil tersenyum. Tak lama kami berdua sudah berada di antara keramaian malam. Mencari celah untuk melaju lebih cepat dengan sepeda motor yang dikendarai Mas Rama. Setelah cukup jauh, Mas Rama membelokkan sepeda motornya ke arah kiri, melewati gapura sebuah perkampungan.

Cukup lama aku duduk sambil memeluk punggungnya. Aku tidak tahu, sudah berapa tikungan yang terlewat. Yang pasti, Mas Rama membawaku menuju sebuah tempat yang belum pernah kudatangi.

“Kita sudah sampai,” ucap Mas Rama setelah menghentikan laju sepeda motornya.

Aku menatap sekeliling, mataku yang bulat rasanya seperti hendak meloncat keluar.

Tunggu! Tempat apa ini?

Bagaimana bisa ada kampung seindah ini di malam hari? Aku bahkan baru tahu ada tempat seperti ini di kotaku.

“Bagaimana? Kamu menyukainya?”

“Hu um. Ini cantik sekali. Aku baru tahu ada tempat seperti ini.”

“Ini kampung tempat aku dilahirkan. Setiap purnama di akhir tahun, suasana di sini akan berubah sangat ramai. Lihat, kan? Ada banyak wahana permainan di sini. Mirip pasar malam.”

“Hu um.”

Aku menjawab pendek. Sepasang mataku masih sibuk mengagumi kelap-kelip lampu yang menyala di atas kepala.

“Jadi, kampung ini selalu ramai saat purnama?”

“Tidak setiap purnama. Hanya purnama di akhir tahun.”

“Kenapa?”

Tiba-tiba mataku yang sejak tadi sibuk mengamati keramaian sekitar, beralih menatap Mas Rama, penasaran.

“Entahlah. Tradisi ini sudah berjalan bahkan sebelum aku dilahirkan. Sepertinya mereka melakukan ini sebagai ucapan syukur.”

“Mmm, begitu, ya.”

“Ayo! Kutemani jalan-jalan.”

Mas Rama meraih telapak tanganku, lalu memasukkannya ke dalam saku jaket miliknya. Kami berjalan pelan, membaur dalam hiruk pikuk dan jeritan anak kecil yang sibuk berebut mainan.

Kami berhenti di samping wahana komidi putar. Kulihat Mas Rama menatap cukup lama pada salah satu anak yang asyik berteriak sambil melambaikan tangannya.

“Mas Rama kenal?”

Laki-laki yang akhir-akhir ini mencuri perhatianku dengan sikapnya yang hangat itu hanya mengangguk sekilas, lalu mengajakku kembali melangkah.

“Kamu lapar? Ayo kita makan dulu. Malam ini tepat satu bulan hubungan kita. Aku akan mentraktirmu,” ujarnya sambil tersenyum.

Kami meneruskan langkah menyusuri deretan rumah makan, semuanya tampak ramai. Sepertinya malam ini benar-benar malam yang istimewa bagi kampung ini.

Mas Rama mengajakku masuk ke sebuah rumah makan yang didominasi warna biru. Alunan musik mendayu menyapa telingaku sejak pertama kali melangkahkan kaki.

“Rumah makan ini milik keluarga besarku. Lihatlah, yang berdiri di balik meja kasir itu paman tertua, lalu yang sedang bercakap-cakap dengan kedua anak kecil itu istrinya.”

Aku menatap ke arah yang ditunjuk Mas Rama, lalu tersenyum. Suasana begitu tenang, sampai akhirnya aku menyadari sesuatu.

“Mas, kita sudah duduk di sini cukup lama, tapi kenapa tidak ada pelayan yang menyodorkan menu?”

“Itulah kenapa kita tidak akan makan di sini. Aku ke sini untuk memastikan mereka baik-baik saja.”

“Lho? Kenapa? Tempat ini bagus.”

“Karena di sini cuma kita berdua yang masih hidup.” (*)

 

Purworejo, 27 Mei 2019

Erlyna, perempuan sederhana yang menyukai dunia anak-anak. Suka menulis dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata