Kambing Kurban Mak

Kambing Kurban Mak

 

Oleh: Syifa Aimbine

 

Kambing-kambing itu saling mengembik, saling geruduk sana sini, seolah saling bergosip membicarakan para calon pembeli yang datang. Beberapa dari para manusia yang mendekat hanya ingin melihat sambil membawa anak-anak seperti berkunjung ke kebun binatang tanpa sekedar basa-basi menanyakan harga. Ada pula yang hanya bertanya harga lalu mengangguk-angguk, kemudian beringsut pergi karena tidak cocok di kantong mereka atau tahu tempat lain dengan harga lebih murah. Hanya beberapa orang yang akhirnya berhasil menawar dan membawa pulang satu atau dua ekor kambing untuk dijadikan hewan kurban.

Harjo bersandar pada bangku bambu di samping kandang, mengeluarkan sebatang rokok terakhir yang ia beli kemarin lalu mendengkus, tak dihiraukannya bau kotoran bercampur bau rumput sisa makanan para kambing yang menumpuk di sampingnya, ia tetap leluasa membakar dan menghisap rokok seperti biasa. Asap putih mengepul keluar dari mulutnya, ia merenung sesaat sebelum mengeluarkan tumpukan rupiah dari kantong celananya. Tanpa menghitung, ia menarik dua lembaran berwarna merah dan memasukkan sisa uang ke dalam tas hitam kecil yang menggantung di lehernya. Keuntungan sekecil apapun harus lekas ia pisahkan, agar tidak tercampur dengan harga pokok yang harus ia bayarkan dengan pemilik ternak nantinya. Harjo hanya penjual, tiap menjelang Idul Adha ia menggiring kambing ternak seorang kenalan lamanya untuk dijual, lokasi yang strategis ia sewa, keuntungan ia dapatkan dari selisih harga yang ditetapkan pemilik ternak.

Beberapa saat kemudian, seorang wanita berbadan sintal kemudian datang membawa nampan berisi kopi panas dan sepiring ubi goreng yang terlihat menyelerakan. Bau asap kopi yang masih mengepul serta ubi goreng membuat perut Harjo langsung berisik, seperti anak-anak yang jumpalitan ketika melihat tukang mainan.

“Eh, Teteh, aku gak pesen gorengan kok,” ujarnya basa-basi sambil membetulkan posisi duduk.

Padahal ia tahu betul kalau pemilik warung kopi di seberang lapak yang ia sewa ini memberikannya secara gratis. Hanya perlu memuji dan memberi sentuhan kecil di pipinya, senyum genit wanita itu langsung menguar sambil menepuk lengan Harjo manja. Kalau sudah begitu, urusan kasbon bukan lagi masalah.

“Ah, Kang Harjo kayak gak biasa aja. , Kang? Masih sepi?” tanyanya dengan memasang raut wajah simpati.

“Yah, begitulah, Teh. Sepi yang berkurban sepertinya tahun ini. Sudah satu minggu, masak baru laku lima. Belum balik modal buat sewa tempat dan dibagi ke pemiliknya. Buntung aku, Teh.” Harjo mencomot sepotong ubi goreng dan lekas melahapnya, sesuai harapan, ubi goreng itu memang enak.

“Aduh, kasian si Akang. Semoga minggu ini mulai banyak ya, Kang, biasa kan gitu, pas dekat lebaran haji baru pada datang,” ujarnya seakan berusaha menghibur Harjo.

Harjo hanya tersenyum, apalagi semua pesanannya boleh dibayar nanti-nanti, makin berada di atas angin ia. Kalau saja Harjo tidak punya anak istri di kampung, pasti si Teteh ini sudah dikawininya, begitu pikir Harjo.
Setelah bercakap-cakap dan bersenda gurau dengan penjaga warung tadi, Harjo pun kembali menunggui dagangannya seorang diri.

Rupanya kopi tadi hanya membuatnya terjaga sebentar, suasana sepi dan belaian angin sepoi-sepoi siang itu membuat mata Harjo mulai mengantuk. Saat matanya meredup, perlahan ia melihat seorang wanita tua mendekat, penampilannya cukup rapi seperti layaknya ibu-ibu yang pulang dari pengajian. Wanita itu mendekati seekor kambing berbulu putih, lalu seolah bercakap-cakap dengan dengan hewan itu. Harjo terlonjak kaget, mengira ia bermimpi aneh.

“Astagfirullah, maaf, Mak, saya ketiduran, “ujarnya setelah berulang kali mengerjapkan mata dan yakin kalau wanita berkerudung putih dan berbaju kurung itu manusia.

“Berapa harga kambing yang ini?” tanya wanita tua itu dengan suara yang terdengar lirih dan gemetar.

“Tiga juta, Mak. Kualitas bagus itu.” Harjo bangkit dari tempatnya dengan bersemangat, akhirnya ada pelanggan lagi yang bertanya dagangannya hari ini.

“Mahal betul,” gumamnya sendu.

Harjo kaget, sepertinya si Nenek paham perihal harga kambing, biasanya tawaran pertama Harjo memang sengaja dibuat sedikit lebih tinggi, agar tidak terlalu jauh saat ditawar pembeli.

“Ya, sudah, buat Mak saya kasih harga khusus, dua juta lima ratus saja, saya ambil untung kecil buat penglaris,” bujuk Harjo lagi.

“Gak ada yang satu juta?” tanya si wanita tua seolah tak mendengar penawaran Harjo tadi.

Mendengar hal itu Harjo mulai kesal, dugaannya wanita itu hanya iseng bertanya, tak ada niat membeli.

“Gak ada, Mak. Beli yang masih kecil mungkin dapat sejuta, bukan harga kambing untuk kurban itu. Mak cari pun di tempat lain gak akan ketemu harga segitu, ” jawabnya kesal.

Wanita itu terdiam, wajahnya terlihat sedih. Harjo kemudian menyadari kesalahannya dan kembali melunak.

“Ya, kalau Mak mau, dua juta dua ratus, itu sudah paling murah yang bisa saya kasih.”

Wanita itu terdiam sesaat.
“Nanti saya kembali kalau uangnya sudah cukup,” ujarnya menjanjikan.

Harjo cuma bisa mengangguk, hatinya jadi makin tidak enak. Ia menyesal sempat berkata keras pada wanita itu. Bisa saja ia memang ingin membeli hewan kurban, tapi uangnya belum cukup. Begitu pikir Harjo. Wanita itu pun berlalu.

Lama Harjo merasa hatinya gelisah, wajah sendu wanita tua tadi seolah enggan beranjak dari pikirannya. Dan hal itu berlanjut hingga beberapa hari. Harjo kemudian membatin, kalau wanita tua itu kembali datang, ia berniat akan memberikan harga semampu wanita itu membayarnya, tidak masalah jika ia harus memotong banyak jatah labanya, ia tiba-tiba teringat almarhum ibunya.

***

Seperti harapan Harjo, pelanggannya mulai ramai mendekati hari raya. Namun, lagi-lagi Harjo tidak menemukan wanita tua itu. Kambing yang ditawarnya pun sudah beberapa kali ditawar pembeli lain, tapi Harjo sudah terlanjur berniat memberikan harga khusus untuk wanita tua itu.

“Mungkin ia sudah mendapat kambing yang lebih murah di tempat lain,” gumam Harjo saat mulai berberes lapak.

Esok sudah lebaran, itu pertanda lapak jualannya pun harus usai. Sebagai pedagang musiman, ia sudah biasa seperti ini, penjualannya lumayan, meski tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya. Efek pandemi memang keras pula menerpa segala macam usaha, termasuk usaha Harjo yang serabutan.

“Permisi, sudah mau tutup, ya, Mas?”

Seorang pria berpakaian perlente menghampiri. Karena sibuk dengan pikirannya, Harjo tak menyadari mobil mewah–milik pria itu–sudah terparkir di depan lapak yang ia sewa.

“Eh, belum kok, Pak. Bapak mau beli kambing? Yah, cuma ini yang tersisa, Pak. Yang lain sudah terjual, kalau mau silakan dipilih.”

“Oh, iya, saya memang mau beli kambing, tapi saya maunya kambing yang sempat ditawar seorang wanita tua seminggu yang lalu, masih ada gak, Mas?”

Harjo terkejut, bagaimana pria itu bisa mengetahui kejadian yang masih menjadi buah pikirnya itu.

“Oh, sini, Pak. Saya memang masih menyimpannya. Saya yakin Mak itu akan kembali. Tapi maaf, kok Bapak bisa tahu, ya? Bapak kenal dengan wanita tua itu? ” tanya Harjo langsung.

“Ya, itu adalah ibu saya, Mas.”

“Tapi kenapa ….”

Harjo tak bisa menutupi rasa herannya, bagaimana bisa seorang yang terlihat kaya raya seperti pria itu membiarkan ibunya yang tua membeli kambing kurban seorang diri, bahkan uangnya pun tidak cukup. Menilik mobil mewah dan pakaian pria itu, rasanya tidak wajar jika ibunya tidak punya uang, tega betul rasanya jika anaknya tidak memberi uang, pikir Harjo.
Pria itu hanya tersenyum.

“Saya paham pikiran, Mas. Mas pasti heran kenapa orang seperti saya seolah tidak memberikan keinginan ibu saya, bukan?”

“Maaf, Pak, saya ga bermaksud suuzhon.”

“Gak apa-apa, Mas. Sebenarnya ibu saya agak pikun, yang diingatnya hanya momen saat kami masih susah. Dulu Ibu berjuang sendiri membesarkan kelima anaknya. Tapi sesulit apapun itu, beliau selalu menyisihkan tabungannya untuk berkurban. Lagi-lagi kemarin ia keluar rumah tanpa sepengetahuan kami, dan seperti biasa beliau pergi mencari hewan kurban dengan uang yang ia pegang. Untung perginya gak jauh, takutnya malah sampai lupa jalan pulang. Makanya, saya ke sini mau beli kambing yang ditawar ibu saya kemarin, untuk menyampaikan niat ibu saya berkurban.”

Pria itu mengeluarkan amplop tebal berisi lembaran berwarna merah.
“Berapa harganya, Mas?”

“Dua juta dua ratus saja, Pak. Saya sudah janji untuk memberi harga khusus untuknya. Sampaikan saja salam saya buat ibunya,” jawab Harjo sungkan.

Pria itu tersenyum, lalu menyerahkan amplop itu beserta seluruh isinya. Harjo kaget, uang yang diberi pria itu lebih dari yang ia sebutkan.
“Ambil saja, Mas. Sebagai tambahan untuk salam Mas yang ga bisa saya sampaikan langsung. Ibu saya sudah berpulang dua hari yang lalu. Semoga amplop ini bisa menjadi sedekah baginya, mohon doanya buat ibu saya ya, Mas.”

Harjo tak dapat menahan air mata ketika pria itu telah berlalu, ada sedikit penyelasan dalam hatinya, kenapa tak diberikannya saja kambing pada wanita tua itu tempo hari.[*]

 

Depok, 11 Juli 2022

Syifa Aimbine, hanya seorang ibu dua anak yang mencoba berdamai dengan mimpi yang terlalu tinggi dan mood yang menepi.

 

 

Editor: Nuke Soeprijono

Leave a Reply