Kambing dan Anjing di Kuburan Cina
Oleh: Evamuzy
“Tidakkah kamu ingin berhenti mengembik terlalu sering tiap kali pemilikmu membawamu kemari, Kambing? Itu berisik!” kata Anjing. Dia bersungut-sungut di depan Kambing yang menurutnya telah sangat mengusik ketenangan tidurnya.
Bagi kita, tentu saja, kuburan adalah tempat yang sepi dan senyap. Namun, jangan anggap demikian di telinga mereka: Kambing dan Anjing, atau teman-temannya. Seperti halnya yang selalu didengar Kambing, membuatnya merasa sangat terganggu, lalu Anjing terusik dibuatnya. Mereka tak bersahabat, hanya sebatas teman terpaksa saat harus lagi-lagi dipertemukan.
“Aku bukan ingin mengusikmu sebenarnya, tetapi tiap kali di sini, aku tak tahan dengan jeritan-jeritan mereka dari dalam sana. Aku jadi heran, bukannya mereka tidak lagi bisa berbicara karena sudah mati, lalu kenapa justru teriakannya sangat keras sampai-sampai bisa menyakiti telingaku? Apa lagi yang itu,” jawab Kambing sambil menunjuk satu batu nisan. Tertulis sebuah nama di sana, lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal kematian.
Anjing mengikuti arah yang ditunjuk kaki depan Kambing. “Oh, kuburan Nyonya Marc–”
“Berhenti! Jangan dilanjutkan, Anjing. Aku tak ingin dia tersinggung kemudian teriakannya semakin melengking,” sergah Kambing sambil mengerutkan kening. Dia menggeleng di akhir kalimatnya, tanda tak suka. Ah, entah karena benar-benar tak suka, atau takut sebenarnya.
“Tidak, tidak akan. Apa saja yang didengarnya, tidak akan dihiraukannya. Dia sedang sangat sibuk sekarang. Saat ini, dia sedang bertemu dua malaikat yang meminta pertanggungjawaban atas hidupnya di dunia. Aku tidak heran jika dia menjerit paling keras sekarang ini, sebab masa mudanya dia habiskan untuk berjudi dan merampas hak orang. Bersenang-senang dengan kekayaan kotor, lalu mati bunuh diri karena kesepian di masa tuanya. Dia tetangga majikanku dan meninggal dua puluh satu hari lalu,” jelas si Anjing. Si Kambing mengangguk-angguk mendengarnya. Mencoba memahami.
“Kasihan. Apa ada yang bisa membantunya? Aku dengar, kaum mereka bisa saling membantu bahkan sampai setelah salah satu dari mereka mati.” Kambing semakin penasaran. Rumput-rumput liar yang tumbuh subur di atas pusara-pusara di sekitar dia, sejenak tak lagi menarik atensinya, atau bisa jadi perutnya memang sudah penuh karena sedari tadi–setelah lelah mengembik lama–mulutnya tak berhenti mengunyah. Rumput-rumput di atas tanah kuburan memang terasa lebih manis dibanding teman lain, menurutnya.
“Mengirimkan doa, maksudmu? Ah, jangan berharap itu terjadi padanya. Karena saat dirinya sedang merasakan perihnya dicambuk dengan api seperti saat ini, anak-anaknya justru tengah sibuk berfoya-foya atau minum-minuman. Tidak jauh beda dari dirinya saat masih hidup dulu.” Anjing menghela napas panjang sekali lagi, lalu melanjutkan bicaranya. “Yah, aku pernah mendengar majikanku berbicara dengan seorang temannya. Katanya, sifat buruk manusia bisa menurun ke anak cucu mereka. Mengerikan. Sungguh, kaum yang malang.” Anjing berdigik di ujung bicaranya.
“Jadi dia akan tersiksa selamanya?” tanya Kambing, lagi. Entah kenapa, padahal sudah lama mereka saling mengenal. Namun, baru kali ini Anjing merasa kalau Kambing menjadi tukang banyak tanya begini.
“Aku tidak tahu pasti.” Anjing mengangkat bahu. “Aku hanya diberitahu, akan ada hari di mana kita akan mendengar jeritan dan teriakan yang lebih mengerikan dari ini. Bahkan, semuanya akan lebih hancur dan menakutkan dibanding yang tengah dirasakan oleh Nyonya Marcia saat ini. Hari itu bernama hari akhir. Katanya akan terjadi di hari Jumat, tetapi belum tahu kapan tepatnya,” lanjut Anjing, membuat Kambing memasang wajah penasaran lebih lagi.
“Kenapa aku jadi takut begini?” kata Kambing.
Si Anjing berdecak sekali. “Sudahlah. Tak perlu kamu pikirkan ini serius-serius. Tugasmu sekarang hanya menolak saat dibawa untuk mencari makan sendiri oleh pemilikmu kemari, atau kalau tidak, biasakan saja telingamu oleh jeritan-jeritan mereka yang sepertinya tidak akan pernah ada selesainya. Bahkan, bisa jadi kamu akan mendengar yang lebih mengganggu dan mengerikan dari ini,” jawaban terakhir Anjing sebelum kembali mengais daging-daging asap di sesajen yang diletakkan di atas batu nisan oleh para pelayat. (*)
Evamuzy. Si penyuka warna cokelat muda.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.