Kamar
Oleh: Rinanda Tesniana
Rumah berukuran 6×6 ini kembali sepi, setelah tamu datang silih berganti dari pagi. Tidak ada perayaan yang berlebihan, hanya syukuran sederhana saja. Anak bungsuku, Nana, menikah hari ini. Usianya baru enam belas tahun. Jangan tanya alasannya mengapa dia menikah secepat itu.
Suaminya, Heru, berusia sama. Pekerjaan pun belum punya. Bedanya, Heru masih melanjutkan sekolahnya yang tersisa setahun lagi, sedangkan Nana terpaksa berhenti karena perutnya sudah tidak dapat bersembunyi di balik baju longgar yang sekarang sering ia kenakankan.
Aku baru saja selesai mencuci piring terakhir bersama Nini–anak sulungku. Nini mengeringkan piring dan menyimpannya di lemari dapur. Dapur berlantai tanah ini baru saja selesai dibuat, seminggu sebelum pernikahan Nana. Aku perlu tempat yang luas untuk memasak menu-menu yang akan disajikan pada tamu.
Aku sedang mengunci pintu dapur yang terbuat dari kayu, ketika telingaku menangkap bisik-bisik di balik tirai pembatas dapur dengan ruang depan.
“Kakak tidur di luar, ya,” bisik Nana.
“Enak aja. Kamu yang tidur di luar,” jawab Nini dengan sengit.
Aku menahan napas, telingaku tetap menyimak pembicaraan dua orang adik beradik itu.
“Aku ini pengantin baru, Kak. Gimana mau mesra-mesraan kalau gak punya kamar sendiri.”
“Pengantin baru? Udah mau brojol juga, penganti baru apa?” ledek Nini.
Entah bagaimana wajah Nana mendengar perkataan kakaknya. Aku masih bergeming di dapur, menyimak kedua anak kesayanganku itu menyelesaikan masalahnya.
“Terus gimana? Masa pengantin baru gak ada kamar pengantin?” Suara Nana terdengar lagi.
“Kamu tu gak sadar, ya? Kalo bukan karena bunting, Ibu gak bakal nikahin kamu.”
“Ya gimana lagi. Enak, sih.” Nana cekikikan.
Hatiku perih mendengar ucapan Nana. Entah di mana letak kesalahanku mendidiknya, hingga dia tumbuh menjadi gadis yang liar.
“Gak tahu malu!” bentak Nini. “Tidur aja di depan TV. Jangan minta yang macam-macam!”
Aku membuang napas lagi. Rumah ini hanya memiliki dua kamar yang letaknya bersebelahan. Berhadapan pula dengan ruang tengah, tanpa ruang tamu. Rumah tipe 36 yang dibeli suamiku,Bbang Agung rahimahullah, secara mencicil selama 15 tahun. Biasanya, Nini dan suaminya tidur di kamar belakang, aku dan Nana tidur di kamar depan. Sekarang, kebiasaan yang telah berjalan bertahun-tahun itu harus berubah. Nana dan Nini telah menikah, masing-masing mereka perlu tempat khusus bersama suaminya.
“Jadi, gimana, dong?” tanya Nana. “Aku gak mau tidur di depan TV.”
“Kamu pindah sana, ke rumah Heru!”
“Ih, Kakak, dong, yang beli rumah sendiri. Bang Ilham, kan, pegawai negeri. Banyak uang!”
“Sabarlah, belum sekarang. Aku baru nikah setahun, ini juga lagi nabung buat beli rumah. Kamu aja yang tinggal di rumah Heru.”
“Ih, aku gak mau tinggal di rumah mertua. Lagian, ya, Kak. Aku ini anak bungsu, rumah ini pasti akhirnya akan jadi milikku. Terus, untuk apa aku pindah?”
Hatiku perih mendengar perkataan Nana. Memang, dalam hatiku, kelak aku akan memberikan rumah ini untuk Nana karena Nini tergolong lebih mampu. Suaminya seorang supir dengan status sebagai pegawai negeri.
“Kak, Ibu aja yang tidur di depan TV. Ibu, kan, gak ada suami,” bisik Nana pelan, tapi tetap saja aku bisa mendengar bisikan itu.
Hatiku mencelus. Meskipun, mungkin aku akan mengambil keputusan yang sama, demi kebahagiaan kedua anakku. Namun, jika harus mendengar kalimat itu dari mulut mereka, perasaanku sakit.
Banyak yang bilang aku beruntung karena memiliki dua anak perempuan, yang dianggap lebih bisa menjaga orang tuanya di masa tua. Entahlah, kali ini aku tak setuju dengan pendapat itu.
“Ada apa, sih?” Aku menyibak tirai yang warnanya sudah kehitaman.
“Eh, nggak, Bu. Ngobrol aja,” jawab Nini gugup.
“Ibu, Nana tidur di mana, Bu? Masa pengantin baru gak ada kamar pengantin? Kakak gak mau ngalah, Bu,” rengek Nana.
Aku menatap Nini yang juga sedang memandangku dengan wajah bingung.
“Ya udah, Ibu saja yang tidur di depan TV.”
“Jangan, Bu,” cegah Nini.
“Biarin aja kenapa, sih?” sergah Nana. “Gak seneng banget lihat aku honeymoon.”
“Ya, Allah, Na!” pekik Nini, anakku itu tampak kesal.
“Udahlah. Untuk sementara aja, ya, Na.” Aku menengahi dua perempuan itu.
“Ibu, beneran gak apa-apa?” Nini menatapku dengan khawatir, saat aku membentangkan kasur tipis di depan televisi. Sementara, Nana sudah dari tadi mengunci pintu kamar.
“Sementara aja, Ni. Nanti, kita pikirkan gimana jalan keluarnya.”
Aku memaksakan seulas senyum, demi menenangkan hati Nini.
“Maaf, ya, Bu. Nanti Nini ngomong sama Mas Ilham, supaya cepat-cepat kredit rumah.” Nini kelihatan sangat bersalah.
Tak lama, Nini pun mengunci pintu kamarnya. Aku memejamkan mata, memaksa diri untuk tidur agar air mata yang sudah aku tahan sejak tadi, tidak jatuh. Terdengar suara Nana tertawa cekikikan menimpali gurauan suaminya. Pertahananku gagal. Dalam hening, aku menangis sendirian.
Siak Sri Indrapura, 06082020
Rinanda Tesniana – Suka makan, tapi tak bisa masak.
Editor: Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker