Kaki-Kaki yang Lari Tak Bertuan (25 Cerpen Terbaik TL-17)

Kaki-Kaki yang Lari Tak Bertuan (25 Cerpen Terbaik TL-17)

Kaki-Kaki yang Lari Tak Bertuan

Oleh : Evamuzy

25 Cerpen Terbaik TL-17

 

“Kau baru pulang? Berkencan lagi dengan kekasihmu?” tanyaku.

“Dan kau sendiri belum tidur larut malam begini? Atau habis lembur lagi? Dasar gila kerja,” jawab Javes.

“Besok lagi kalau kau pulang larut, masuk saja lewat jendela. Bunyi pintu mengganggu istirahatku. Jendela akan selalu kubuka untukmu,” jawabku lagi.

Javes tak menjawab lagi. Dia melangkah untuk menutup jendela, lalu mengenyakkan tubuhnya di tempat tidurnya, beberapa langkah dari tempat tidurku. Dia segera menutup tubuhnya dengan selimut, menutup mata, kemudian terdengar dengkuran dari mulutnya. Sementara aku kembali menatap langit-langit ruangan. Memandangi bintang-bintang yang matanya berkedip-kedip genit kepadaku, yang beberapa malam membentuk wajah Ibu. Sampai akhirnya kantuk datang, dan aku menyusul Javes.

Esoknya akan kembali sama. Aku bekerja, Javes mengikutiku. Lalu setelah merasa bosan—atau mungkin terdorong oleh motif lain, entahlah—dia akan melakukan apa saja yang ingin dia lakukan. Kadang jalan-jalan ke mana saja dengan mengendarai mobilku. Pergi ke toko buku, makan di restoran yang khusus menjual makanan pedas, atau, kesenangan barunya akhir-akhir ini: berkencan dengan kekasihnya. Aku sangat yakin, ini pertama kali dia punya kekasih, makanya dia sangat bersemangat. Dan aku akan tetap bekerja sampai larut, dia akan pulang saat larut. Saat sudah lelah bercinta dengan kekasihnya.

Karena kesenangan barunya itu juga, aku merasa akhir-akhir ini Javes menjadi bayangan yang sedikit tak penurut. Ya, meski kami masih tetap berusaha untuk rukun seperti kakak-beradik, atau sepasang anak kembar tapi berbeda. Juga masih melakukan berbagai aktivitas bersama seperti yang dilakukan kebanyakan orang dengan bayangan mereka. Misalnya duduk menghabiskan sarapan bersama, sampai minum kopi di kedai kopi langganan di akhir pekan. Atau bagi para wanita dan bayangan mereka, biasanya akan saling membantu memakaikan cat kuku sambil bergosip di bawah payung besar di pinggir kolam renang.

Sedikit cerita tentangku, dulu saat kecil, aku bahkan disusui bayangan ibuku. Sebab selepas melahirkanku, dua payudara Ibu harus lekas digunakan untuk menyusui para lelaki yang masuk ke kamarnya. Aku tak marah, itu tak masalah, rasa susu bayangan Ibu juga manis. Namun lama-lama aku merasa kesal juga. Maka saat usiaku satu tahun setengah, aku putuskan untuk pergi dari rumah. Mencari wanita seusia Ibu yang bersedia menyusuiku. Aku juga ingin merasakan manisnya susu seperti yang dinikmati para lelaki yang menyusu kepada Ibu.

Beruntung, di tempat baru aku menemukan ibu susu. Dengan rela, dia membagi susunya untukku dan putranya yang seusiaku. Aku juga sering dimandikan oleh bayangan wanita baik itu. Aku dibesarkan, disekolahkan, hingga akhirnya mempunyai pekerjaan yang layak. Ibu susuku mati bunuh diri saat tahu suaminya berselingkuh sampai mempunyai anak dari selingkuhannya. Bayangan suaminya menawarkan diri untuk menikahinya, tapi dia menolak. Padahal, si bayangan itu laki-laki yang baik. Dia memilih gantung diri di kamarnya saat aku dan putranya tengah terlelap. Aku dan putranya lalu memilih untuk mencari jalan hidup masing-masing, sama sekali tak pernah bertemu lagi sampai saat ini.

“Besok aku ingin mengajak kekasihku berkunjung ke rumah,” kata Javes saat kami tengah berada di mobil dalam perjalanan ke tempat kerja.

“Tidak boleh! Aku tidak akan mengizinkan ada seorang wanita pun masuk ke rumah. Kau boleh berkencan di mana saja, asal tidak di rumah.” Dan harusnya Javes sudah sangat tahu aku akan menjawab begini.

“Ayolah, Ares. Jangan terus-menerus membohongi perasaanmu. Sebenarnya kau juga tengah tertarik dengan seorang wanita, bukan? Jangan mengelak. Aku sering mendapati matamu mengikuti seorang wanita yang selalu berdiri di halte bus jam 9 malam. Kau menyukai wanita itu, ‘kan?”

Buru-buru kuinjak rem mobil kuat-kuat. Dada Javes menubruk dasbor, dan aku tetap duduk tegap.

“Kau gila!” teriak Javes.

“Keluar! Bukankah kau tadi belum sempat sarapan? Lihat, itu restoran favoritmu.”

Dengan kesal Javes turun. Pintu mobil dibantingnya keras-keras. Saat mobil mulai kujalankan lagi, dia berteriak, “Hei, Bung. Hidup itu cuma sekali. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri!”

***

Sebentar lagi akan turun hujan, dan ini sudah larut malam. Aku berdiri di halte bus bersama wanita itu—ya, aku tidak tahu atau mungkin tidak ingin tahu namanya, maka aku sebut saja dia wanita itu.

“Ini sudah sangat malam. Bahkan jam 9 sudah lewat lama sekali. Tapi kenapa bus tak juga datang?” Wanita itu bergumam, beberapa kali melihat jam di pergelangan tangannya.

Setiap kali aku melihat wanita itu, wajahnya mengingatkanku dengan seseorang, dan mungkin itu yang membuatnya sedikit menarik perhatianku—iya, hanya karena alasan ini aku memperhatikannya, bukan hal lainnya. “Bus-bus tengah disewa para bayangan untuk berwisata. Aku dengar mereka berani membayar mahal.”

“Oh … pantas saja.”

“Kau sendirian? Di mana bayanganmu?” tanyaku.

“Dia sangat sibuk akhir-akhir ini. Dia bilang katanya sudah punya kekasih.”

“Sama gilanya dengan Javes.”

Kemudian tak ada lagi pembicaraan antara kami, sampai akhirnya sebuah taksi terakhir datang, berhenti di depan kami. Sopirnya seorang bayangan, tersenyum ramah saat kaca pintu depannya diturunkan. Aku melangkah, membuka pintu taksi. “Masuklah,” kataku kepada wanita itu.

“Lalu kau sendiri? Kau bisa ikut denganku. Ini taksi terakhir. Kita bisa bergantian untuk ke tujuan masing-masing,” usulnya. Wanita itu berdiri dua langkah di depanku.

Aku menggeleng. “Aku bisa jalan kaki. Atau menunggu di sini sampai pagi, jadi besok akan lebih dekat untuk pergi ke kantor.”

Sialan memang Javes. Hari ini mobilku dibawanya pergi bersama kekasihnya. Aku tahu dia sengaja tak pulang-pulang. Dia ingin membalas dendam karena idenya membawa kekasihnya ke rumah aku tolak mentah-mentah. Orang memang akan jadi tak waras kalau sudah kenal cinta!

Dan tiga hari berturut-turut, mobilku selalu dibawanya pergi. Dia akan kembali saat aku sudah terlelap, entah jam berapa.

***

“Hei, Bung. Kau ingin membawa kita mati bersama? Turunkan kecepatan mobilnya!” Javes berteriak dengan mulut yang masih sibuk mengunyah roti. Orang yang sedang jatuh cinta memang paling takut dengan mati. Mungkin takut kalau dirinya mati, kekasihnya juga akan menyusul mati secepat mungkin. Tapi bukannya itu tak masalah, asal mereka tetap bersama?

“Diam kau. Habiskan saja sarapanmu. Sejak jatuh cinta kau sudah tak jadi anak manis lagi memang.”

“Memangnya kasus apa yang sedang kau tangani, Ares? Kenapa kau terlihat selalu emosi akhir-akhir ini?” Aku meliriknya sekilas, mata Javes menyipit saat bertanya ini.

Javes memang tidak pernah tertarik dengan pekerjaanku, dia lebih suka membaca syair-syair lama dari buku-buku klasik. Tapi aku akui, dia memang selalu peduli dengan apa yang aku kerjakan. Akhir-akhir ini saja dia terkesan tak acuh. Dan sudahlah, tidak perlu lagi membahas apa penyebabnya. Aku sudah mulai berkompromi dengan bujangan yang tengah kasmaran itu.

“Kasus korupsi, tapi pelakunya kukuh mengelak.”

“Oh … bukan hal baru. Tapi kau selalu emosi saat menangani kasus begini. Baiklah, turunkan aku di depan kantormu, Ares. Aku ingin pergi ke pantai dengan bus.”

Di depan kantor, aku turuti permintaan Javes, lalu dengan cepat melangkah ke ruang persidangan. Kehadiranku sudah ditunggu sejak 15 menit yang lalu.

Ruang persidangan sudah ramai.

Mungkin ada sekitar 30 peserta sidang. Dibagi menjadi dua sisi, sisi kiri diisi orang-orang, dan kanan diisi para bayangan. Suasana menjadi semakin hening saat aku melangkah menuju kursi hakim. Di kursi terdakwa, lagi-lagi duduk seorang laki-laki paruh baya yang jika diperhatikan sekilas saja, penampilannya tak enak dipandang: rambut berantakan, lingkar mata menghitam, dan berewok yang mulai tumbuh di wajahnya.

Sebelum mulai berbicara, aku mengedarkan pandangan. Tepat saat pandanganku ke arah sisi kiri paling depan, aku melihat wanita itu. Kami saling menatap. “Dia … ayah angkatku,” bisiknya. Dia sepertinya tahu aku ingin bertanya sedang apa dia di sini.

“Apa kau akan tetap mengelak perbuatanmu?” tanyaku kepada si laki-laki terdakwa.

Penampilannya yang berantakan, ternyata tak menyurutkan keberaniannya untuk menjawab. Dia mengangkat kepala, menatap mataku saat bicara. “Saya bukan orang kotor. Seumur hidup saya tidak pernah melakukan dosa. Saya orang baik. Jadi mana mungkin saya mencuri uang negara. Itu fitnah. Saya difitnah.”

Aku terdiam, menahan senyum akibat mendengar kata-katanya barusan. “Suruh bayangan laki-laki ini masuk.”

Pintu ruang sidang kemudian terbuka, bayangan si laki-laki terdakwa itu masuk dengan berjalan tenang. Di tengah-tengah ruang sidang, dia bicara, “Saya tidak mengerti kapan dia akan berhenti berbohong. Dia memang diam-diam menggunakan uang itu, meski selalu saja berkilah. Dia bahkan sempat mau melecehkan putri angkatnya sendiri di suatu malam.” Dia berkata ini sambil menengok ke arah wanita itu. Aku mengikuti pandangannya, wanita itu terlihat menunduk. Dan entah kenapa, dadaku sesak mendengar kesaksian ini. “Saya menyaksikannya sendiri. Dia baru bisa dihentikan setelah kupukul kepalanya dengan vas bunga. Putri angkatnya gadis yang baik. Saya merasa harus melindunginya. Saya mohon, agar Yang Mulia menjatuhkan hukuman yang setimpal.”

Bayangan yang habis memberikan kesaksiannya ini mengingatkanku kepada Javes. Javes hanya akan bicara sesuatu yang memang ingin dia katakan. Dan sejauh ini aku belum pernah mendapati dia berbohong.

Persidangan ditutup. Terdakwa kembali diseret ke penjara untuk menunggu sidang selanjutnya. Sementara saat aku melangkah keluar, di pintu ruang persidangan, aku bertemu dengan wanita itu.

“Besok malam temui aku di halte bus jam 8,” kataku.

“Tapi aku pulang jam 9 malam.”

“Sesekali mintalah izin untuk pulang lebih awal ke atasanmu. Aku juga akan melakukannya.”

***

Langit cerah, tidak tampak akan turun hujan, dan bintang-bintang berkedip-kedip genit kepadaku. Kami tengah berdiri di halte bus, dan sekarang tepat pukul 8 malam. Saat datang tadi, wanita itu tersenyum sekilas kepadaku. Senyum di wajah yang selalu mengingatkanku dengan seseorang.

Aku tak tahu bagaimana cara memulai percakapan yang manis dengan seorang wanita. Sialan! Kenapa sekarang aku jadi menyesal tak memanfaatkan Javes untuk menularkan sedikit ilmunya kepadaku?

Aku menengok ke samping kanan. Wanita itu masih menunduk, sibuk memainkan jari-jarinya yang cantik. Jadi baiklah, mari bicara sekarang sebelum dia semakin kedinginan terkena angin malam.

“Aku … ingin bicara. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan, bahwa aku ….”

“Aku juga menyukaimu, Ares. Tapi sayangnya … kita dilahirkan dari rahim wanita yang sama. Iya, dua tahun setelah kau pergi dari rumah, Ibu melahirkanku, lalu tiga tahun setelah itu Ibu meninggal karena sakit. Dia berpesan padaku agar mencari keberadaanmu, untuk memastikan kau hidup dengan layak.”

Tiba-tiba aku seperti didorong mundur dengan sangat keras oleh kata-kata wanita itu. Aku kebingungan.

Sementara di pantai sana, Javes tengah bersama kekasihnya. Berlarian penuh bahagia, kemudian duduk sambil berangkulan mesra. Bisa jadi, malam ini dia juga akan pulang larut malam lagi, atau mungkin sampai pagi, setelah lelah bercinta dengan kekasihnya tentunya. Ngomong-ngomong soal kekasihnya, rupanya, kekasih Javes adalah bayangan wanita itu. Wanita yang barusan mengaku sebagai adik perempuanku.

Sial! Sial! Sial! Dan aku merasakan sebuah tepukan di lengan kananku. “Ares, kau masih mendengarku?” (*)

 

Brebes, 13 Desember 2020

Evamuzy, penyuka warna cokelat muda.

 

Komentar juri:

Bagi yang sering mengikuti tulisan penulis satu ini, pasti sudah lekat dengan bayangan konflik keluarga yang hangat, yang biasanya punya jurus “bawang” yang kuat, tapi kali ini penulis mencoba memberikan hal yang berbeda. Rupanya ia mencoba keluar dari zona amannya. Idenya terasa sangat lepas.

Drama yang disajikan amat dekat dengan apa yang kita alami sehari-hari. Tentang sisi tersembunyi dalam diri melawan diri yang asli. Antara diri yang terbiasa pasif cenderung muram, dengan bayangan diri yang aktif kelewat lincah. Pertentangan yang seringnya membawa kita pada sikap “diam” karena tidak berani memilih keputusan. Deep.

Fitri Pei

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply