Kain Jemuran

Kain Jemuran

Kain Jemuran
Haula Luthfia Ramadhan

            Pipiku mendingin, kakiku mulai kebas setelah lama duduk di sini, mendengarkan cerita-cerita seram dari teman-teman sekamar. Malam ini adalah malam Jumat. Biasanya akan diadakan acara muhadhoroh di musala. Akan tetapi, entah mengapa belum ada tanda-tanda akan diadakannya acara tersebut. Belum ada satu pun ustazah yang datang memanggil. Para santri kebanyakan hanya duduk-duduk di dalam kamarnya. Hingga sekarang, sudah pukul sembilan, sepertinya memang tak ada muhadhoroh malam ini. Syukurlah, waktu istirahat bertambah dan cerita kami pun terus berlanjut.

Kak Ami, santri paling senior di kamar ini, mendapat giliran selanjutnya. Dia memulai ceritanya dengan sebuah pertanyaan, “Apa kalian sudah angkat kain jemuran?”

“Hah?” Aku mendelik, begitu pula yang dilakukan oleh yang lainnya.

“Ya, kain jemuran harusnya diambil sebelum masuk waktu magrib. Apa kalian sudah tahu ceritanya?” tanya Kak Ami, lagi. Karena kebanyakan dari kami di sini adalah anak kelas satu, jadi belum ada yang pernah mendengar cerita tentang itu.

“Mari sini kujelaskan!” seru Kak Ami. “Sebenarnya, ini memang sudah diceritakan dalam Islam. Tidak boleh mengangkat kain jemuran di waktu maghrib, atau juga lewat dari waktu itu. Karena, ada jin wanita yang bernama Ummu Sibyan yang katanya suka datang ke rumah orang ketika magrib.”

“Bentuknya sangat menyeramkan, matanya satu berukuran besar dan jalannya seperti cicak. Jin itu bisa saja bersemayam di pakaian kita yang telat kita angkat itu. Jadi saat kita mengangkat dan memasukkannya ke dalam, jin itu ikut masuk dan tinggal di rumah kita. Yang lebih mengerikannya lagi adalah, apabila kita hendak memakai pakaian itu langsung secepatnya. Bayangkanlah, apa yang akan terjadi.” Mata Kak Ami melebar, menyebar ke mata setiap anak, termasuk aku.

Seketika aku jadi teringat bahwa masih ada kain jemuran yang belum kuangkat.   “Terus, kalau belum diangkat sampai sekarang bagaimana, Kak?” ajuku mencoba bertanya.

Kak Ami menatapku sembari mengangkat telapak tangannya. “Jangan, jangan diangkat! Besok saja.” Wajahnya hening, suram dan kelam saat dipandang. Seolah-olah dia sudah sangat tahu, dan cerita itu benar-benar akan terjadi jika aku mengangkat jemurannya sekarang. Buluku meremang, aku merinding. Jantungku melonjak saat tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras. Ternyata, ustazah datang.

“Sedang apa kalian di dalam? Turun!” ujar ustazah.

“Lho, muhadhorohnya jadi ya, Ustazah?”

“Tidak, kita mengaji saja. Ustaz Ridwan sudah datang untuk memimpin kita. Jadi cepatlah bersiap-siap!”

“Pakai seragam apa, Ustazah?”

“Seperti biasa saat mengaji pagi.”

“Hah!” Aku terhenyak, cepat-cepat bangun membuka lemari. Gawat, jilbab hitamku tidak ada. Aku belum mengangkatnya dari jemuran. Melihat wajah panikku, seorang teman datang bertanya. “Kenapa?”

“Jilbabku masih di jemuran. Bagaimana ini?” Aku mencoba meminta pinjam padanya, juga kepada teman-teman yang lain. Namun tidak ada. Sial, apa yang harus kulakukan sekarang?

“Kamu kenapa?” Ustazah menegur. Saat aku mengadukan padanya tentang apa yang terjadi, beliau malah menyuruhku untuk segera mengambil jilbab itu.

“Ambil! Jika kamu tidak pakai jilbab hitam maka akan diberi hukuman.”

Sungguh, aku jadi serba ketakutan. Mengingat kisah yang barusan kudengar, aku jadi merasa lebih baik menjalani hukuman daripada diteror makhluk halus yang diceritakan itu. Namun, tatapan orang-orang seakan memberitahuku, bahwa hukuman yang diberikan pasti akan lebih berat dari yang kuduga. Baiklah, kuputuskan untuk mengambilnya. Tapi aku butuh teman.

“Tidak boleh! Kamu harus ambil sendiri! Sementara yang lain, yang sudah selesai harus langsung menuju ke musala,” begitu kata ustazah, benar-benar kejam sekali. Jantungku berdebar-debar, amat ketakutan. Tak ada yang bisa menolong. Yang kudapat hanya tatapan iba dari orang-orang. Semua teman sudah pada turun ke bawah menuju musasla. Tinggal aku seorang yang dilanda rasa cemas dan ketakutan yang teramat sangat.

Ada sekitar lima menit aku membuang-buang waktu di sana untuk berpikir. Hingga akhirnya, kuputuskan untuk pergi. Kamarku berada di lantai dua, sementara tempat jemurannya berada di lantai empat, lantai paling atas, di atas atap. Untuk ke sana pun harus berjalan ke asrama paling ujung terlebih dahulu, mencari tangga.

Seram, suasananya saja sudah terlihat sangat seram saat aku hanya mengintip dari balik anak tangga. Masih banyak sekali kain yang belum diangkat oleh pemiliknya. Atap yang luas ini dipenuhi oleh kain-kain yang berjejer, ditiupi angin. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah maju.

“Di mana ya aku menjemurnya?” Tubuhku mengigil, beku, dan sepertinya sudah memucat. Napasku tersendat-sendat oleh udara dingin. Dengan sedikit kaku, aku melangkah lebih dalam menelusuri area jemuran itu tanpa berani banyak-banyak menoleh. Takut jika tak sengaja melihat sesuatu yang bukan-bukan.

Dingin, kain-kain yang mengenai kulitku itu terasa dingin. Bukan karena belum kering, tetapi karena kainnya sudah meresap hawa dingin yang dibawa oleh udara malam.

Aku masih berjalan, pelan-pelan karena gemetaran. Kain milikku berada di tali keenam, sedikit ke tengah. Dan kini, aku sudah menemukannya. Tanganku meraih jilbab hitam milikku itu. Sebelum berhasil menariknya, mataku tak sengaja tertuju lebih dulu ke arah sesuatu yang ada di depan. Tiga langkah dari tempatku berdiri, ada sebuah baju kurung putih dijemur menggunakan sangkutan. Anehnya, kulihat kepala sangkutannya besar, sebesar kepala manusia. Entah hanya mataku yang kurang jelas melihat dikarenakan gelap.

Kuperhatikan lebih jelas lagi. Ketika itu, kulihat ada tangan di lengan bajunya. Pucat, kurus dan panjang. Memanjang, memanjang, dan memanjang. Tiupan angin memunculkan dua buah benda putih berbentuk bulat di bagian kepalanya. Benda itu melotot dan memuncratkan sebuah cairan.

Sontak, napasku tercekat, seperti dicabut kuat-kuat. Tak dapat bergerak. Jilbab yang masih tersangkut di tali jemuran itu, terbang secara kasar menyambar wajahku. Aku kehilangan kesadaran.

Saat terbangun, para ustazah sudah berkumpul di kamar. Salah satu dari mereka mendekat, menanyai keadaanku, dan mencoba memberitahuku bahwa barusan, aku mengalami kerasukan.(*)

Haula Luthfia Ramadhan, lahir di Aceh Utara pada tanggal 29 November 2000. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun Facebook dengan nama Haula Luthfia atau email: haulaluthfia29112000@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita