Kafe Kopi Terbaik
Oleh : Syifa Aimbine
Genta memukulkan jari-jarinya di meja sehingga melahirkan irama ketukan beraturan. Kedua kakinya bergoyang serupa tukang jahit yang memutar mesin jahit tuanya. Matanya menyapu sekeliling ruangan kafe bergaya minimalis itu. Dinding dan atapnya ditutupi kaca bening tebal, pepohonan rindang melindunginya dari sinar matahari. Namun, semilir angin siang hari yang sejuk seolah tidak mampu membuat pria yang duduk di sudut kafe itu tenang. Ia tetap terlihat seperti ingin lari dari tempat duduknya.
Kegelisahannya terhenti ketika pelayan tiba membawa dua cangkir kopi yang telah dipesan sebelumnya. Brutus–temannya–tiba bersamaan ketika gelas kopi miliknya diletakkan oleh pelayan berwajah bulat dengan senyum yang dibuat-buat.
“Ah, lega sekali.”
Genta tertawa sinis melihat pria yang kini duduk di hadapannya.
“Jadi kita di sini karena ingin menikmati kopi, atau hanya karena kau mau menggunakan toiletnya?” ejek Genta.
“Tentu saja kopinya. Sudah lama aku ingin mengajakmu minum kopi di sini.”
Genta kembali menunduk memandang secangkir kapucino yang tersaji dalam sebuah cangkir keramik berwarna hitam yang diletakkan di atas piring kecil berwarna senada.
“Lihat, ia membuat gambar pohon cemara di kopiku.”
Leo melirik, “Itu motif standar, baristanya orang baru,” sela Leo sambil menyeruput es kopi miliknya yang disajikan dalam gelas plastik sekali pakai.
“Bagaimana kau bisa tau?”
Genta kembali tertawa mencemooh. Menurutnya Leo hanya asal menebak.
“Aku menguping mereka saat buang hajat tadi. Kabarnya Si Barista adalah kemenakan pemilik kafe ini.”
“Yah, mau bilang apa, semua lowongan kerja memang banyak diisi oleh yang punya kenalan orang dalam.”
Genta mulai menyeruput kapucinonya. Busa susu yang menempel di atas bibirnya segera ia seka dengan tangannya alih-alih menggunakan tisu di atas meja.
“Bagaimana?” tanya Leo menunggu tanggapan Genta.
Pria itu menggeleng, “Tetap lebih enak kopi tubruk Ningsih bagiku. Ini terasa pahit.”
“Tambahkan gula, itu gulanya belum kau masukkan.”
Leo melemparkan gula saset ke dekat cangkir milik Genta. Pria berwajah tirus itu cengengesan, lalu mulai menambahkan dua saset gula ke dalam kopi miliknya, kemudian mengaduknya perlahan. Genta kembali mencicipi, lalu tersenyum ke arah Leo.
“Nah, baru enak.”
Leo tertawa melihat tingkah konyol rekan kerjanya itu. Padahal Genta berusia jauh lebih tua dari Leo, tapi tingkahnya yang suka melucu dan kadang terlihat lugu membuatnya awet muda. Leo bahkan sering dikira lebih tua darinya.
“Sudah kubilang, kopi di sini enak.”
“Kau tahu kafe ini dari mana?” tanya Genta penasaran.
Pagi tadi tiba-tiba saja Leo mengajaknya minum kopi di tempat ini. Beberapa kali mereka memang melewati tempat ini, tapi Genta tidak pernah tertarik untuk masuk. Namun, kali ini tentu saja tidak menolak ajakan temannya, apalagi gratis. Meski sebenarnya saat awal masuk tadi, ia sempat meragukan keseriusan Leo. Bisa saja temannya itu hanya ingin mengerjainya. Makanya Genta sempat gelisah saat Leo ke toilet cukup lama.
“Aku sering lihat orang ramai ke tempat ini, apalagi saat sore dan malam minggu. Kafe ini juga kadang ada musiknya, kapan-kapan kita ke sini lagi.”
Mereka pun mulai sibuk dengan Genta terlalu asyik dengan kopinya. Suara seruputnya membuat beberapa orang meliriknya, Genta berhenti.
“Sudah yuk, kita pergi saja.”
“Ah, kenapa? Aku baru minum seteguk,” protes Leo.
“Ah, kopimu itu kan bisa dibawa sambil jalan. Kopiku juga sudah mau habis, ayo!”
Genta segera meminum sisa kopinya. Ia sempat gelagapan ketika memaksa menelan kopi yang masih panas. Leo geleng-geleng melihatnya. Lalu ikut beranjak sambil menenteng gelas kopi miliknya. Mereka pun menuju pintu keluar.
“Tuh, jangan lupa karungmu.”
Genta menunjuk karung berisi botol-botol plastik yang akan mereka bawa ke pengepul sampah olahan. Leo kemudian mengambil karung yang ditunjuk Genta dan memanggulnya di punggung kiri. Karung itu tidak terlalu besar, sebelumnya ia sudah menyetor sekarung besar kaleng minuman ringan ke tempat yang sama.
“Sebaiknya kita tidak usah ke tempat ini lagi,” ujar Genta sebelum mereka melangkah terlalu jauh meninggalkan halaman kafe.
“Kenapa? Kau lihat tadi, tidak banyak kafe yang mau menerima dan melayani kita seperti tadi. Mereka cukup baik, kopinya enak, dan toiletnya juga sangat bersih.”
“Ya, benar, tapi aku kasihan pada mereka. Kau lihat tadi, beberapa tamu berbalik pergi ketika melihat kita. Sudahlah, kopi buatan Ningsih tetap lebih baik, kalau mau yang seperti kau minum sekarang, tinggal suruh Ningsih menambahkan susu kental manis dan es batu,” jelas Genta sambil menjentikkan jarinya, seolah ia baru saja menemukan ide luar biasa untuk Leo.
“Ah, tetap tidak akan sama rasanya.”
“Ah, kau ini, seleramu terlalu tinggi, Leo. Daripada membeli kopi mahal, lebih baik beli nasi bungkus, cukup kenyang perutmu sampai malam.”
Leo hanya mendengkus kesal lalu melirik Genta sekilas dan kembali melanjutkan perjalanan. (*)
Depok, 14 Januari 2021
Syifa Aimbine, belakangan lebih sering menikmati musik, buku dan film dari pada menulis.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata