Kaf, Ro, Nun, dan Ramadan (Cermin Pilihan LCL)

Kaf, Ro, Nun, dan Ramadan (Cermin Pilihan LCL)

Kaf, Ro, Nun, dan Ramadan

Oleh: Rainy Venesiia                           

Naskah Pilihan pada Lomba Menulis Cermin Lokit

 

Kemarin tetangga saya bercerita bahwa adiknya yang bekerja di Pasar Baru terpaksa pulang kampung. Bukan sebab pasar tempatnya berjualan terkena lockdown, tetapi karena pasar sangat sepi, tak ada orang yang berseliweran berjubel memilih baju-baju untuk lebaran layaknya saat -saat menjelang Ramadan.

Sejenak saya terdiam menatap beberapa foto yang dikirim adik tetangga saya itu. Tampak beberapa orang—yang saya duga adalah pelayan toko—asyik berkerumun di antara tumpukan baju. Beberapa orang tertidur, juga bertumpu pada tumpukan baju, selebihnya duduk menunduk bercengkerama dengan HP.

Tetangga saya melanjutkan cerita. Katanya, dia tak bisa menahan adiknya untuk tetap tinggal di sini. Tentu saja karena satu alasan, dia tak bisa menjamin kebutuhan perut adiknya beserta anak istri. Makanya, saat adiknya berpamitan subuh tadi, tetangga saya hanya bisa mewanti-wanti agar saat sampai di kampung langsung mandi dan mencuci baju yang mereka kenakan. Dia juga menelepon keluarganya di kampung agar tidak langsung bersalaman apalagi peluk cium dengan adiknya.

Sesaat saya ingin menangis. Bukan saja untuk kehidupan adik tetangga saya yang entah sampai kapan bisa berjualan lagi, melainkan juga merasa sedih karena melepas rindu bersama keluarga di kampung sekarang ini menjadi hal yang sulit. Hampir tiap hari saya harus memberi pengertian pada si kecil yang ingin bertemu neneknya. Lalu, saya merasa tersayat oleh pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benak. Selama ini, dari waktu yang telah dihabiskan, berapa lama menyempatkan diri menjenguk orang tua?

Tetangga saya masih melanjutkan ceritanya. Kali ini lebih terkesan ingin berbagi kesempitan agar dadanya terasa sedikit lapang. Dia bilang uang yang dimiliki tinggal sepuluh ribu. Saya tersenyum mencoba menenangkan hatinya. Saya paham seperti apa perasaannya karena keadaan kami tak jauh berbeda, terlebih ia memiliki balita yang masih suka meminta susu. Akhirnya, kami tertawa saling menguatkan. Pasrah, dalam arti sebenar-benarnya menyerahkan nasib pada Allah tanpa diiringi keluhan apalagi protes. Kami tak ingin membuat situasi tambah mencekam dengan mengintimidasi suami. Kami bisa melihat sendiri bagaimana raut muka lelaki pilihan kami sudah begitu tegang. Mungkin rasa cemas yang menggelayuti hati mereka berlipat-lipat dari rasa takut yang bersarang di dada kami.

Tetangga saya masih belum beranjak. Dia berbicara tentang sebuah ayat yang menjelaskan tentang huruf kaf, ro, dan nun. Ayat tersebut berbicara tentang keharusan tinggal berdiam di rumah, menjadikan rumah sebagai pusat kegiatan keluarga dan membangunnya benar-benar sebagai surga, bukan sebatas kata-kata mutiara.

Saya mendengarkan uraian yang detail dan mencoba meresapinya dengan hati, membuka lebar-lebar pintu pikiran dan mengosongkan isinya. Bukankah ilmu bisa kita ambil dari siapa saja? Kendati tetangga saya hanya lulusan SD dan berasal dari kampung, tapi seandainya ilmu yang dia sampaikan adalah benar, maka saya sangat berterima kasih padanya karena telah mau berbagi, gratis pula.

Tetangga saya akhirnya beranjak ketika anaknya memanggil. Dia tertawa sambil mengatakan sebuah lelucon. Saya pun menimpalinya dengan lelucon. Ah, betapa hidup ini memang penuh lelucon dan kita harusnya berterima kasih pada lelucon-lelucon yang bertebaran di mana-mana. Karena lelucon-lelucon tersebut membuat kita tertawa dan katanya tertawa itu bisa meningkatkan daya tahan tubuh kita.

Selepas tetangga saya pergi, saya masih duduk di kursi yang warnanya sudah pudar, bahkan beberapa sudah sobek. Sesuatu yang sejak tadi ingin saya sampaikan tapi selalu tertahan, bukan karena kesempatan bicara sering terampas oleh tetangga saya, tetapi karena masih mempertimbangkan buah pikiran yang tiba-tiba muncul saat mengingat kembali foto-foto adik tetangga saya itu. Foto situasi pasar tempatnya bekerja.

Saya berpaling pada tahun-tahun lalu, jauh sebelum virus Covid-19 tampil sebagai pembatas. Masa-masa menjelang Ramadan sangat terasa semangatnya. Akan tetapi, lebih fokus pada baju baru, kue-kue lezat, tiket mudik, angpau dan seabrek persiapan yang hakikatnya memuaskan nafsu duniawi. Saya sadar, setiap menjelang buka puasa selalu fokus pada urusan perut dan memanjakan lidah, sangat jauh dari salah satu makna Ramadan. Bagaimana bisa diriku mengajari anak untuk menghayati laparnya orang-orang yang hanya bisa makan dua hari sekali, jika saya pun tak memahami maknanya.

Tiba-tiba pikiran saya sedikit terbuka, seumpama rumah pengap yang bertahun-tahun ditutup lalu dibuka semua pintu dan jendelanya. Udara segar langsung menerobos masuk mengisi seluruh ruang di otak. Seandainya wabah masih menghantui hingga Ramadan berikutnya nanti dan situasi perekonomian makin terpuruk, mungkin itulah kesempatan untuk menghayati Ramadan dengan makna sesungguhnya, bukan bualan di mulut saja. Dengan begitu, saya bisa mengajari anak saya menghayati lapar dan hausnya orang-orang yang tiap waktu berpuasa karena keadaan. Mungkin, saya juga harus kembali membaca buku-buku tentang kisah sahabat nabi agar bisa menceritakan padanya tentang perjuangan mereka di masa-masa sulit.*

Bandung, 29 Maret 2020

Rainy adalah seorang ibu yang senang menulis.

Komentar juri:

Sebuah judul dipilih sang penulis dengan sangat ciamik. Tidak hanya mengutip ayat dari kitab suci yang menjelaskan kebaikan “tetap di rumah”, tetapi juga karena selintas, huruf Arab yang dipilihnya mengingatkan kita pada suku kata dari pandemi yang terjadi : ko-ro-na

Isi cerita juga menggambarkan perekonomian yang terpuruk oleh karena wabah yang berlarut-larut ini.

Dengan manis, penulis menyisipkan pesan yang mengajak kita mengambil hikmah dari kesulitan yang ada, dan menemukan arti Ramadan yang sesungguhnya.

—Freky Mudjiono—

Lomba Cerpen Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply