Kado untuk Asih

Kado untuk Asih

Kado untuk Asih
Oleh : Respati

Pagi adalah ritme awal kehidupan yang melelahkan. Menjemukan dengan seabrek rutinitas keibuan. Itu menurut Asih, ibu muda yang kerap menggerutu jika pagi hadir menyapa alam. Sementara bagi sebagian yang lain, pagi adalah awal langkah meraih rezeki. Ya, dua sisi yang berbeda.

Kokok ayam pertama di pagi buta, Asih sudah berkutat di dapur kecil miliknya. Rumah kontrakan yang seukuran kamarnya dulu, dihuninya bersama Burhan suaminya. Dinding rumah yang berdampingan sangat memungkinkan sebuah sendok jatuh pun bisa terdengar tetangga kiri-kanannya. Apalagi suara Asih saat menangis di kamarnya.

Asih mencuci piring makan mereka tadi malam. Sisa makanan yang terbuang ia kumpulkan dalam kantong plastik. Asih melangkah ke depan. Memasukkan kantong plastik itu ke dalam tong sampah di pagar depan rumah. Siang nanti ada petugas kebersihan RW yang akan memungutnya. Tong sepertinya sudah dipenuhi sampah. Barangkali tetangganya sudah lebih dulu membuangnya pagi atau mungkin tadi malam.

Asih kembali ke rumah. Di sofa ruang tamu dilihatnya Burhan tertidur tanpa baju. Sebelah kakinya terjuntai dan sebelah lagi di atas meja. Entah pukul berapa Burhan pulang.

Asih mengambil kemejanya yang disangkutkan di sandaran kursi, digabungnya dengan tumpukan baju kotor lainnya. Asih mengisi ember besar dan merendam baju kotornya lebih dulu, sambil dia menyelesaikan urusan lain di dapur. Kemeja Burhan terakhir dimasukkannya. Gerakan tangannya berhenti, Asih terkesiap melihat noda serupa warna lipstik di beberapa bagian kemeja Burhan.

Asih terdiam. Kemeja itu dipandanginya bersama lelehan air mata yang menyeruak tiba-tiba.  Hatinya mencoba untuk tidak seiya dengan pikirannya. Hatinya mencoba menenangkan segala gundah yang mampir ke hati juga pikirannya.

Semakin dia berkompromi semakin deras lelehan itu mengaliri wajahnya yang tirus. Asih masih memegang kemeja itu. Sementara isakan yang sejak tadi ditahannya semakin kuat terdengar. Hingga tak menyadari Burhan berdiri di belakang Asih.

Melihat sikap aneh istrinya ia pun berkata, “Kenapa kemejaku, Sih?“ tanya Burhan ketus.

Asih terperanjat. Buru-buru dihapusnya airmatanya dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Asih begitu ketakutan dan tingkahnya menjadi gugup. Kemeja Burhan dibenamkannya dalam-dalam di antara baju kotor yang lain. Dan ia pun kembali menemui perkakas kotor lain di dapurnya. Membuat sarapan pagi dan secangkir kopi hitam kegemaran suaminya.

Selesai menyajikan sepiring nasi goreng dan kopinya, Asih kembali ke rendaman bajunya. Kembali memandangi kemeja penuh noda merah milik Burhan. Angannya melayang dua bulan lalu. Saat itu, Asih menemukan kertas pembayaran sebuah kamar hotel. Petir yang menyambar langit di pagi subuh kala itu turut menyambar dinding hatinya yang rapuh. Asih meraung meminta penjelasan Burhan namun bukan penjelasan yang ia dapatkan tapi tamparan hebat di pipi kirinya. Tamparan itu pula yang berhasil membuatnya berhenti meraung dan menangis. Seminggu lamanya Asih mengurung diri di rumah. Ia tak sanggup menjelaskan perihal bekas tamparan itu pada siapa saja. Di saat umur perkawinan mereka baru menghitung hari.

Asih menyikat kemeja yang ternoda itu. Dengan sisa-sisa kekuatannya Asih terus mencoba mengikis warna merah itu.

*

“Mas, gas habis,” kata Asih suatu pagi.

“Ya, nanti.”

“Sekarang, Mas. Aku belum masak.”

“Bisa sabar gak? Aku baru pulang!“ hardiknya. Kosakata makian terus mengalir sederas air mata Asih.

Asih kembali ke dapur dengan masih terisak. Menyiapkan kopi hitam untuk suaminya. Beruntung termos berisi penuh air panas. Jika tidak makian yang lain akan diterima Asih kembali. Burhan, tipe suami pemarah dan mudah main tangan.

Burhan menghampiri Asih, menyeruput kopinya hingga setengah gelas dan berlalu tanpa bicara. Pintu depan dibanting cukup keras. Asih menarik napas panjang dan menghelanya pelan.

Sejak menikah dengan Burhan tak sedikit airmata Asih kerap menetes. Membasahi sajadah panjang di setiap sujudnya yang dipenuhi sesal. Asih Kesuma lebih memilih Burhan Malik yang belum lama dikenalnya.

Hingga azan Isya memanggil, Burhan belum juga pulang ke rumah. Asih mulai menghitung detakan jarum di jam dinding kamarnya. Kegelisahan mulai merayapi relung hatinya. Asih seperti merasakan debaran jantungnya lebih cepat.

Tok… Tok… Tok…

“Bu Asih… Bu…” seseorang mengetuk pintu rumahnya dengan keras dan tergesa. Sepertinya ada hal penting yang hendak disampaikan.

Bu Amin yang rumahnya di gang depan, wajahnya panik berbicara terbata-bata, “Bu, Bapak …“ katanya sepotong.

“Ada apa dengan suami saya, Bu?” tanya Asih ikut panik.

“Digebukin warga…!”

Asih menutup mulutnya. Bingung, panik bercampur di kepalanya. Ditambah kalimat terakhir Bu Amin menusuk jantungnya. Seakan tak ada lagi daya Asih untuk menopang tubuhnya sendiri. Badannya lemah, pandangannya nanar dan sesaat kemudian dia limbung dan jatuh.

“Bu Asih…!“ pekikan Bu Amin tak lagi dihiraukan Asih. Asih pingsan.

*

Entah siapa yang memberitahu ibu, tiba-tiba wanita renta itu sudah ada di kamarnya. Asih juga tak mampu mengingat berapa lama dia tak sadar. Seluruh persendiannya lemah. Airmatanya mengalir deras melihat senyuman ibunya. Asih tak lagi mampu menahan airmatanya. Tumpah dipangkuan ibunya.

“Maafkan Asih, Bu.“ lirihnya.

Ibu hanya mengangguk dan membelai rambut anak bungsunya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut wanita yang melahirkannya itu. Dalam pangkuan ibunya, Asih seakan menceritakan semua deritanya. Pernikahannya bersama Burhan. Pernikahan tanpa restu Ibu.

Ibu tersenyum. Dibelainya anaknya itu dengan penuh kasih. Ibu memberikan sebuah kotak pada Asih.

“Ini kotak perhiasan Ibu. Sudah Ibu siapkan lama untuk kado pernikahanmu,” ucap Ibu pelan, “bertanggungjawablah dengan pilihanmu.“ Kalimat terakhir Ibu mengguncang jiwanya.

Tangisnya makin keras. Tangan Asih gemetar menerima kotak perhiasan itu. Asih bersimpuh di kaki ibunya. Sesalnya kembali membuncah.*

Airmolek, pengujung Maret 2018

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita