Kado Pernikahan
Oleh : Cahaya Fadillah
Semuanya memang terlalu cepat, hingga kami tidak punya kesempatan untuk saling mengenal lebih dekat. Taaruf yang berlangsung singkat, lalu acara pernikahan yang hanya diisi dengan pengajian singkat membuat aku merasa semua terlalu terburu-buru. Tapi, aku mencoba menerima dengan lapang hati karena jodoh yang dikirimkan adalah pilihan orangtuaku.
Aku percaya, jika aku ikhlas dan menerima takdir yang aku tidak suka, namun hal tersebut adalah pilihan orangtua, yakin itu adalah hal yang indah yang dikirimkan oleh Allah SWT pada saatnya. Sekarang giliranku menerima dan menjalani dengan sebaik-baiknya. InshaAllah.
“Sudah siap, Hana?” tanya Ayah dari pintu kamar yang terbuka perlahan.
Aku tidak menjawab juga tidak berpaling dari kaca di depanku. Memandang pantulan kaca tersebut tanpa berkedip. Masih belum percaya bahwa aku akan menikah di usia yang masih sangat muda dengan seorang duda beranak satu.
“MasyaAllah, cantik sekali kamu, Nduk,” ucap Ayah dengan mata berbinar. “Semoga hatimu juga secantik ini saat menerima dia calon suamimu.”
Pintu kamar ditututup pelan tepat disaat air mataku jatuh perlahan.
***
“Sah…” Suara riuh malah terdengar menyesakkan. Seorang istri dan seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran adalah jabatan yang kusandang saat ini. Hatiku terasa terhimpit saat menghadapi kenyataan di usia yang masih muda harus menjalani hidup dengan dua jabatan itu. Batinku berkata pasti tidak akan mudah.
Mata sipit itu terlihat berbinar saat menatapku. Dia yang sekarang menjadi suamiku tersenyum, namun kubalas dengan wajah datar. Bahagia? Tentu tidak, tidak ada rasa apa pun yang ada di dadaku kali ini.
Semua yang menyaksikan pernikahan kami tersenyum dan mengucapkan selamat, beberapa kerabat mendoakan agar pernikahanku bahagia dunia hingga akhirat. Sedangkan hatiku malah berharap sebaliknya. Meminta pada-Nya agar pernikahan ini hancur secepatnya.
“Selamat, Hana,” ucap seorang lelaki teman kuliahku saat memberi selamat dengan senyum yang sangat kukenal. Lelaki itu adalah seorang yang akhir-akhir ini mencuri perhatianku, mendambakan ia yang menjadi imamku. Namun, semua itu hanya menjadi impian sesaat. Kenyataannya, aku harus menikah dengan seorang duda, jodoh pilihan Ayah. Tuhan, apa salahku?
“Selamat, Sayang,” ucap Aisyah sahabatku. Dia memelukku dengan erat seperti halnya seorang adik. Aku yang menerima kata selamat darinya, malah menitikkan air mata yang akhirnya tumpah setelah perdebatan hati dan pikiran yang panjang agar tetap tegar.
“Maaf,” kata itu terucap dari suamiku Hamdan. Satu kata yang membuat aku tersentak dengan ucapannya. Kupalingkan wajah dan menatapnya, bisa kubaca ada rasa bersalah di sana.
***
Bulan pertama pernikahan berjalan biasa saja, aku memilih tidur di ruang tamu daripada menemani suamiku di kamar. Aku tahu yang kulakukan adalah sebuah dosa, jika Ayah dan Ibu tahu, pasti meraka akan memarahiku dengan ceramah agama yang sangat panjang. Namun, kurasa siapa pun bisa saja memilih jalan sepertiku. Menghindar adalah hal yang terbaik saat ini.
Bulan kedua, hampir sama. Aku yang masih kuliah di tingkat akhir mulai sibuk dengan skripsi. Kewajiban sebagai seorang istri dan ibu baru tidak pernah kuindahkan. Mas Hamdan tidak pernah protes padaku, peraturan pertama yang ia buat sejak aku menjadi istrinya hanya pulang tidak boleh terlalu larut dan jika semua urusanku di luar selesai aku wajib sudah berada di rumah.
“Hana, besok kuliah jam berapa?” tanya Mas Hamdan malam itu saat kami santap malam tanpa suara. Ia membuka percakapan dengan menatapku lembut.
“Jam delapan pagi. Kenapa, Mas?” ucapku mulai penasaran.
“Jika tidak keberatan, boleh Mas antar? Sekalian Mas antar Ali sekolah, mau kenalin kamu ke gurunya Ali juga.”
Aku terdiam dan menatap Ali beberapa detik. Darahku berdesir saat menatap mata dari lelaki mungil itu. Ada rasa yang tidak bisa kujelaskan saat itu, yang pasti nurani keibuanku mulai memberontak. Aku lupa bahwa jabatanku saat ini bukan hanya seorang mahasiswi dan istri saja, yang lebih penting malah aku lupakan. Aku seorang Ibu.
Ali tidak berhenti menatapku, lelaki mungil yang masih duduk di TK itu memperlihatkan deretan gigi yang putih bersih, ia tersenyum.
“Ibu,” ucapnya ragu-ragu memanggilku.
Aku masih saja menatapnya tanpa bicara, hatiku terasa ngilu, beberapa kali jantungku terasa berdenyut setelah ia memanggilku ‘Ibu’.
“Maaf, jika Ali memanggilmu Ibu, aku yang mengajarkannya, maaf jika kamu tidak suka, Hana.”
Mas Hamdan langsung berdiri, mengambil tasnya dan tas Ali. Lelaki mungil itu turun dari meja makan dan pergi menyusul Ayahnya, mereka berangkat tidak lama setelah mobil dihidupkan.
Aku terdiam di meja makan seorang diri, hatiku terasa dilipat-lipat, ditarik paksa dari cangkangnya dan dihentakkan ke tanah sekuat-kuatnya. Rasanya begitu perih dan menyakitkan saat rasa bersalah menyelinap ke ulu hati ditambah dengan sikap suamiku yang mulai berubah pagi ini.
***
“Hana, Ali sekarang di rumah sakit. Tolong ke sini, nanti alamatnya Mas kirim,” ucap Mas Hamdan di telepon siang tadi.
Hatiku merasa tidak nyaman saat menerima telepon singkat dari Mas Hamdan. Tidak butuh waktu lama, dengan sigap aku segera melaju menuju rumah sakit yang dimaksud. Sepeda motorku melaju kencang di jalanan. Perasaanku mulai tidak enak, entah apa yang terjadi dengan lelaki mungil itu.
Dengan langkah cepat aku IGD sesuai arahan Mas Hamdan. Di sana aku melihat Mas Hamdan sedang memeluk Ali dengan air mata yang tidak berhenti mengalir. Berbagai peralatan kedokteran di tempelkan di tubuh mungil Ali. Infus membuat geraknya semakin tertahan, selang oksigen menutup kedua lobang hidung Ali. Aku seperti berada di dunia lain di mana tangis dan air mata berkejar-kejaran mengejar perasaan hati setiap pasien di rumah sakit ini.
Mas Hamdan menoleh kepadaku, menggerakkan tangannya seperti memanggilku mendekat. Tidak banyak yang bisa kulakukan, hanya berdiri terpaku di samping Mas Hamdan yang terlihat sangat hancur.
“Ali, Han. Ali,” ucap Mas Hamdan di sela tangisnya.
Ada rasa ragu untuk menyentuh Mas Hamdan, padahal hatiku ingin menenangkan dia. Tetapi, selalu saja tidak bisa. Pernikahan kami selama ini kaku, tidak seperti pasangan yang baru menikah. Aku akui bukan salah Mas Hamdan, aku yang sibuk dengan diri sendiri dan membangun tembok tinggi pembatas antara aku dan dia padahal aku sudah sah menjadi istrinya. Berkali-kali Mas Hamdan mendekat, berkali pula aku memperluas jarak.
“Ali, jantungnya kumat. Tadi tiba-tiba pingsan di sekolah.” Kali ini Mas Hamdan tidak lagi menatapku. Tatapannya tidak beralih dari Ali sekali pun.
Aku tersentak, lelaki mungil seperti Ali yang periang ternyata menyimpan sebuah penyakit dan ia tidak pernah mengeluh. Dengan ragu aku mencoba mengusap kepala Ali, tangisku pecah. Penyesalanku datang bergulung-gulung. Aku ibunya tapi tidak tahu menahu tentang anakku.
“Ibu…,” Suara berat itu terdengar serak. Ali bangun dan tersenyum padaku.
“I—iya… iya, Nak.” Kekakuanku tidak bisa disembunyikan. Walaupun di hatiku mulai menyayangi, tapi masih ada rasa yang terasa membatasi aku dan Ali.
“Ali, pengen punya Ibu sejak lama. Sudah lama Ayah janji mau kasih Ali Ibu. Tapi, saat janji Ayah ditepati Ibu malah menjauh. Ali ingin seperti anak-anak lain yang punya Ibu.”
Air mata mulai membanjiri wajah Ali. “Maaf, kalau Ibu tidak suka Ali panggil, Ibu. Tapi bolehkan Ali sayang Ibu? Selama ini Ali takut mendekat, takut Ibu terganggu,” ucap lelaki mungil itu.
Aku menangis sejadi-jadinya, “Iya, Ali. Ali boleh sayang sama Ibu. Maafkan Ibu yang sibuk dengan diri Ibu sendiri.”
Hanya air mata yang mewakilkan perasaannku saat ini. Rasa bersalah menelantarkan Ali, padahal ia begitu ingin punya Ibu dan membutuhkan kasih sayangku.
“Kalau Ibu tidak bisa sayang sama Ali, tolong sayangi Ayah, Bu.” Kata-kata dari mulut Ali kali ini berhasil membuat hatiku luka. Seperti ibu tiri yang tidak miliki rasa sayang, begitulah aku di matanya saat ini.
“Jangan berkata seperti itu, Ali. Ibu sayang sama Ali. Ali cepat sembuh ya. Ibu janji akan sayang sama Ali,” ucapku sambil memeluk Ali kuat.
“Ali mohon ijin dulu, Bu. Maaf kalau Ali tidak sempat berbakti pada Ibu. Tolong sayangi Ayah ya, Bu.” Kata-kata Ali berakhir dengan isak tangis yang membuatku menangis tidak berjeda.
Ali menghembuskan napasnya dipelukanku dan Mas Hamdan. Isak tangis kami cukup menjelaskan kehilangan yang sangat menyakitkan.
Mas Hamdan mengecup kening Ali dan menghapus air mata Ali.” Maaf, jika belum bisa menepati semua janji Ayah padamu, Nak.” Mas Hamdan menangis seperti anak kecil.
***
“Ali punya kelainan jantung sejak lahir. Ibunya meninggal saat melahirkannya, Hana.” Suara Mas Hamdan terdengar serak saat menjelaskan semuanya padaku. Mas Hamdan manatapku dengan mata sayu, lalu melanjutkan ceritanya, “tadinya aku tidak berpikir untuk menikah lagi, jujur hingga detik ini aku masih menyayangi almarhum istriku, tapi Ali… Ali meminta ibu baru, ia ingin merasakan disayang oleh seorang ibu. Sampai seseorang mengenalkan aku kepada orangtuamu. Maaf, aku tahu kau menikah denganku karena terpaksa, Han. Gadis sepertimu, tidak seharusnya bersama seorang duda sepertiku….”
Mas Hamdan memalingkan wajahnya dariku, menatap sayu makam Ali dari kejauhan.
“Aku yang harusnya minta maaf, Mas. Aku harusnya paham dengan status baruku sebagai istri juga ibunya Ali. Tapi, aku malah menyia-nyiakannya selama ini. Maafkan aku,” ucapku dengan rintihan hati paling perih.
“Tidak, kamu tidak pernah salah, Hana. Aku yang salah, memaksamu menikah denganku.”
“Aku saja, Mas. aku yang tidak sadar akan statusku sebagai istri. Izinkan aku memperbaiki dan menjalankan amanah menjagamu atas permintaan Ali.”
Pelukan hangat dari Mas Hamdan terasa begitu menenangkan perasaan. Salahku, harusnya menyadari sejak lama.(*)
Cahaya Fadillah, penyuka Awan, pecinta hujan. Suka membaca cerpen tapi selalu kesulitan bagaimana cara untuk menuangkannya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata