Jumat Pagi di Bulan Ramadan
Oleh : Lutfi Rose
Pagi ini hari Jumat terakhir di bulan Ramadan, kesunyian desa Sukasari digemparkan oleh teriakan seorang wanita paruh baya di pinggir jalan beraspal. Sebuah mobil menabrak motor hingga terpental ke bahu jalan. Mobil penabrak langsung melesat kencang tanpa peduli dengan korbannya.
Tak butuh waktu lama, hanya hitungan menit, perempatan desa dipenuhi dengan banyak warga. Seakan ada yang mengabarkan dari sebuah toa tua di musala kecil di sudut desa. Warga berduyun-duyun mendatangi lokasi kecelakaan.
“Mampus dia,” kata lelaki jangkung kurus yang kemudian berbalik tak hendak menolong.
“Sudah toh … masak masih menyumpahi orang yang sudah celaka, Kang?” seorang lelaki lain di sebelah si jangkung menyahut.
Suasana semakin ramai, semakin jelas terdengar ngaungan lebah dari mulut orang-orang. Saling berbisik, membicarakan semua kejelekan sang pemuda yang mati kecelakaan. Tapi berbeda dengan seorang pemuda bersarung hitam kotak-kotak, berbaju koko putih dan berpeci hitam. Dia yang baru datang langsung sigap mendekati jasad sang pemuda, memeluknya dengan wajah penuh kesedihan yang mendalam, tanpa peduli darah mengotori bajunya. Matanya berkabut, embun-embun menggenang di antara kelopak matanya, tapi tak sampai membasahi pipi.
“Tolong, Pak. Bantu saya mengangkat Mas Sukamto,” pintanya pada dua pria di dekatnya. Mereka, sejenak masih terbeku mendengar nama Sukamto. Sudah bertahun-tahun nama itu tak pernah disebut.
Mereka baru tersadar ketika pemuda itu kembali mengulang permintaannya. Mereka mendekat, beberapa pria lain turut mendekat, serta-merta saling membantu membawa jasad sang pemuda.
***
Jangan pernah menyebut namanya saat melintasi desa ini. Percayalah, kalian akan sangat menyesal jika melanggar peringatan warga desa. Dia lelaki pendek kekar yang menjadi jagoan kampung, rambutnya ikal sepinggang, dan selalu diikat ke belakang dengan karet warna kuning. Kulitnya hitam legam, dengan sebuah tato bergambar naga di lengan kanannya. Matanya hitam berkilat seperti mata singa yang tajam siap menerkam. Sukamto, begitu orangtuanya memberi nama ketika dia lahir. Namun dia lebih suka dipanggil Bos Jalu, jawara kampung yang tak pilih tanding.
Dua puluh tahun silam Sukamto kecil dilahirkan. Dia tumbuh menjadi anak yang cerdas, apa yang dia lihat, dia pelajari dengan cepat—termasuk kebiasaan buruk bapaknya. Mulanya dia benci sekali pada kelakuan bapaknya, yang gemar semalaman di meja judi, menghabiskan hasil keringat seharian dalam sekejap tanpa menyisakan uang belanja untuk ibunya. Dia geram dan dendam setiap kali melihat bagaimana ibunya menangis sedih. Dia bertekad untuk membuat kapok bapaknya. Namun siapa sangka, berawal dari rasa ingin memberi pelajaran sang Bapak, dia mulai memasuki dunia kelam dan bergelut di dalamnya. Kemudian bukan membawa pulang ayahnya, dia malah ikut terjerumus dan lebih dalam lagi.
Bapaknya mulai sakit-sakitan karena terlalu banyak minum dan begadang. Sukamto remaja yang akhirnya memilih berhenti sekolah di kelas dua SMP karena harus bekerja, membantu ibunya menghidupi tiga orang adiknya. Berselang satu tahun bapaknya meninggal tepat ketika sang ibu hamil tiga bulan anak kelima. Sebagai anak sulung semua tanggung jawab otomatis berada di bahunya.
Tak ada banyak pilihan, ijazah yang hanya sekolah dasar, tak punya keahlian apa pun. Satu-satunya yang dia pelajari selama ini adalah main kartu dan sabung ayam, dan sesekali mengambil sedikit harta dari orang kaya dengan menukar sebuah gertakan. Jalan hitam inilah yang dia pilih. Tak peduli apa kata orang lain, dapur tetap harus mengepul, adik-adiknya harus tetap sekolah. Hingga satu per satu adiknya telah tamat sekolah.
Seluruh desa mengenalnya sebagai penjahat, pemabuk dan penjudi. Segala dosa pernah dilakukannya. Tapi bagi keluarganya dia tetap pahlawan. Ibunya tak pernah lepas mendoakan sehabis salat agar dia kembali ke jalan yang benar.
Tak ada yang tahu kapan doa itu akan terkabul, kapan tangisan seorang ibu akan mampu menggetarkan arsy dan membalikkan hati seorang anak. Hanya harapan demi harapan ibunya haturkan setiap sepertiga malam terakhir.
***
Hari ini perjalanan Sang Jawara kampung telah berakhir. Semua orang tampak bersyukur dengan kepergiannya. Mereka mengira perusuh desa telah menemui penciptanya, desa akan tenang dan damai.
Lain halnya dengan wanita yang mulai beranjak senja itu, duduk di bawah jenazah Sang Jawara kampung. Mulutnya tak berhenti berkomat-kamit, matanya berkaca-kaca, sambil tangannya menggenggam sebuah foto keluarga yang tampak sudah usang.
“Jika semua dosanya terlampau banyak, izinkan aku menggantikannya menerima siksa, Ya Alloh …,” ratapnya penuh kesedihan.
“Sudahlah, Nur. Ikhlaskan … kamu kan sudah berusaha menasihatinya,” kata seorang wanita yang lebih tua di samping wanita itu.
“Dia sudah seminggu tak tidur di rumah, Mbakyu. Mungkin tadi dia mabuk. Ya Alloh … bagaimana aku mempertanggungjawabkan semua ini. Aku gagal! Aku gagal!”
Wanita itu terus-menerus memukul-mukul pahanya dengan kepalan tangan, penyesalan yang sungguh dalam dan pedih.
“Buk …!” suara seorang pemuda berteriak sambil berlari memeluk wanita itu. “Mas Kamto … Ya Alloh. Kenapa dibiarkan mabuk, Bu. Ini bulan puasa, masih juga kelayapan. Kalau begini, Gusti ….”
Pemuda itu tak kuasa membendung air matanya. Dua orang gadis berhambur memeluknya, dan seorang anak lelaki sekira-kira berusia 10 tahun menarik ujung baju wanita itu. Mereka tampak berusaha saling menguatkan.
Suasana haru terpecah oleh suara seseorang beruluk salam dari arah pintu masuk rumah. Serempak mereka menoleh ke arah sumber suara. Seorang pemuda berkopiah hitam dan berbaju koko putih dengan becak darah di dadanya, melangkah mendekati mereka. Dia mendekati wanita itu. Duduk bersimpuh di hadapan wanita tua tersebut.
“Ibu, saya kemari menyampaikan amanah almarhum Mas Sukamto.” Pemuda itu mengangsurkan sebuah amplop putih pada wanita itu.
“Sudah setahun terakhir ini kami sering sharing tentang banyak hal, Bu,” dia menjeda kalimatnya, “Mas Kamto ingin bertobat, tak ingin melihat Ibu menangis lagi.”
Semua wajah tampak bingung tak mengerti. Pemuda itu tersenyum paham.
“Seminggu ini Mas Kamto bersama saya di masjid. Dia belajar mengaji dan iktikaf di sana,” paparnya.
Wanita itu dan keempat anaknya masih terkesiap tak mengerti. Amplop putih dibiarkan saja tergeletak di atas karpet.
“Iya, Bu. Mas Kamto ingin bertobat. Dan itu uang bayarannya selama tiga bulan ini membatu di bengkel di samping masjid di siang hari. Dia menitipkan pada saya, katanya seluruh uang itu akan diberikan pada ibunya untuk lebaran tahun ini. Terimalah, Bu. Dia ingin memberi Ibu uang halal, meski hanya sekali, begitu dia berucap semalam. Dan saya tak pernah menyangka jika itu pesan terakhirnya.”
Pemuda itu mengusap kedua ujung matanya, sebelum melanjutkan, “Mas Kamto ingin Ibu bahagia.” (*)
Lutfi Rose, seorang ibu yang ingin bisa memberi jejak yang baik bagi semua putra putrinya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata