Joni Tak Pernah Datang
Oleh : Siti Nuraliah
Perempuan itu menghidu udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan kasar. Sebelah kakinya dientak-entakkan ke lantai. Mata sipitnya beberapa kali menatap ponsel di tangannya, ia melihat-lihat ke sana-kemari, kadang-kadang wajahnya bergerak mengikuti laju bus yang baru saja berhenti. Seperti sedang menunggu seseorang. Ia menghempaskan punggungnya pada sandaran tempat duduknya, menumpangkan kaki kanan pada kaki kiri lalu menggerak-gerakannya perlahan.
Ia tidak menghiraukan hiruk-pikuk di sekitarnya, suara klakson mobil, tangisan bayi yang kepanasan, atau suara anak kecil yang merengek-rengek meminta jajan pada ibunya lantaran ditawari tahu lontong, dan permen warna-warni oleh pedagang asongan.
Matahari sudah meninggi, satu-dua calon penumpang di halte yang bertuliskan huruf kapital HALTE BUS ANTARKOTA itu mulai lengang, hanya tersisa beberapa orang saja, itu pun tidak lama lagi akan mendapati bus yang ditungguinya. Perempuan itu berpindah tempat ke ujung yang lebih teduh, barangkali karena tempat sebelumnya mulai tersengat matahari dan panas. Beberapa kali kernet bus menghampiri dan menanyainya, mereka pikir perempuan yang menenteng tas kecil itu calon penumpang, namun lagi-lagi ia menggeleng dan mengibas-ngibaskan tangan.
Sementara itu, pada malam sebelum pagi menjelang dan sebelum perempuan muda duduk di halte bus. Sepasang suami istri bersitegang, berdiskusi perihal anak lelakinya yang terlalu lama membujang itu hendak menemui pacar yang dikenalnya lewat aplikasi Facebook.
“Memangnya kenapa, Bu? Bukankah kita seharusnya senang si Joni akhirnya punya pacar, dia sudah dua kali diloncat adik perempuannya, kan? Bapak berharap si Joni segera dapat jodoh. Kasihan, kata orang tua dulu, kalau sudah diloncati adiknya menikah, dia bakal susah menikah.”
“Ibu, sih enggak percaya, Pak. Lagi pula Ibu sudah dengar, tidak apa-apa kalau diloncati adik perempuan, yang jadi masalah sekarang itu, si Joni mau menyusul pacarnya itu ke Jakarta, sedangkan dia belum pernah sama sekali ke kota. Dia cuma pemuda kampung yang kerjaannya menandur padi. Perasaan Ibu juga enggak enak, enggak tega melepas dia sendirian. Bilang sama si Joni, tunda saja dulu sampai panen tiga bulan ke depan. Kita jual gabah buat ongkos bertiga. Sekalian kita langsung lamaran saja.” Bu Marni menimpali suaminya panjang lebar, tangannya sibuk melipat baju-baju yang tadi sore baru diangkat dari jemuran.
“Tiga bulan itu terlalu lama, Bu. Bapak bermaksud, setelah si Joni sampai di rumah pacarnya itu, suruh dia telepon kita. Biar Bapak bicara langsung dengan orangtua pacarnya itu, meminta anaknya untuk dibawa ke sini, kita nikahkan mereka di sini.” Pak Budi tidak mau kalah, ia mengeluarkan pendapatnya. “Lagi pula Bu, nikah di Jakarta itu mahal. Kita mana bisa bawa uang dan serahan yang banyak ke sana. Kalau di sini, bisa lebih sederhana, ‘kan?”
Bu Marni menghentikan kegiatan lipat-melipatnya sebentar, memandangi wajah suaminya dengan mata membulat. “Iya, lebih sederhana, itu pun kalau orangtua si perempuan setuju. Kalau enggak, bagaimana?”
“Ya semoga saja, Bapak juga sudah khawatir, takut-takut nanti kalau ditunda-tunda lagi si Joni bisa kehilangan hawa untuk menikah. Beberapa waktu ini juga Bapak sering memergoki dia sedang nonton yang begituan. Lama-lama, Bapak jadi takut dia kecanduan.”
Obrolan selesai, Pak Budi dan Bu Hindun saling berdialog dengan hatinya masing-masing. Suara-suara di kepala mereka turut menjejali dan merupa benang yang digulung sembarang pada botol plastik. Semrawut.
Sementara itu, di kamar sebelah, Joni tak henti-hentinya menyunggingkan senyum, sambil memandangi foto pada profil akun media sosial pacarnya. Ia mengklik dan membesar bagian hidung, mata, dan bibir yang mengilat merah muda.
Abang tak sabar ingin bertemu Adek esok.
Pesan itu dikirim Joni lewat Messenger. Tak berselang lama, pesannya dibalas.
Adek juga enggak sabar pengen ketemu Abang, Adek rindu.
Balasan itu membuat bagian tubuh Joni berdenyut, seperti ada yang bergerak dalam perut bagian bawahnya. Rasanya aneh, namun Joni menikmati sensasi itu.
Memang ada, ya? Belum pernah ketemu, tapi rindu? Nanti kalau ketemu, Abang peluk.
Bagian akhir kalimatnya dibubuhi emoticon wajah bulat kuning bertabur love berwarna merah.
Adek sudah kirim alamatnya, ya. Nanti turun di terminal ini.
Sebuah foto dikirimkan olehnya, agar Joni yang sama sekali belum pernah pergi ke kota langsung bisa melihat plang dengan huruf-huruf besar. Berselang 30 detik, pesan berikutnya dikirim.
Kalau Abang dari sana berangkat selepas Subuh, kira-kira sampai ke sini sekitar jam sepuluh. Jangan lupa tetap hubungi Adek di perjalanan, nanti Adek jemput.
Joni tak henti-henti mengulum senyum, diliriknya tas ransel di pojokan kamarnya yang berdinding kayu. Dia tertidur sambil memeluk foto pacarnya yang sudah dikenal selama enam bulan itu. Dan sudah beberapa kali saling mengirim foto.
Kadang-kadang Joni merasa minder, tidak percaya diri, dan hampir tidak percaya, bisa-bisanya gadis kota mau berkenalan serta menjalin hubungan dengan pemuda kampung seperti dirinya. Namun, pacarnya meyakinkan kalau dirinya pun sebenarnya bukan gadis kota benaran, dia hanya pendatang yang mencari pekerjaan dan menetap bersama keluarganya di sana. Pacarnya pun mengaku kalau dirinya adalah janda kembang.
***
Sampai matahari sudah hampir pergi ke sebelah barat, perempuan itu masih belum beranjak. Wajahnya sudah kumal, meski masih menyisakan garis-garis kemanisannya. Ia mengedip-ngedipkan mata seperti menahan sesuatu yang memaksa ingin keluar. Ditatapnya lagi layar handphone yang tak lepas dari genggamannya.
Sembari mengusir rasa kesal di hati, sambil menunggu pesan dari seseorang yang ditungguinya, ia membuka media sosial. Membaca-baca tulisan panjang yang diunggah oleh pemiliknya, atau sekadar tulisan iseng, mengeluh, dan cari perhatian saja. Keningnya berkerut, tatkala matanya menangkap sebuah berita yang dibagikan oleh temannya.
Sebuah bus antarkota terjun ke jurang. Sampai saat pesan ini dibagikan, sudah sepuluh penumpang yang tidak terselamatkan.
Banjarsari, 07 September 2020
Siti Nuraliah. Perempuan sederhana kadang suka menulis, kadang suka membaca.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata