Jodoh untuk Adam

Jodoh untuk Adam

Jodoh untuk Adam
Oleh: Siti Nuraliah

Bu Hindun tergopoh-gopoh memasuki rumah sambil mencari sesuatu dari dalam tasnya.

“Assalamualaikum, Dam. Ibu tadi pulang pengajian diajak mampir ke rumah Bu Lastri. Dia punya ponakan cantik dan sholehah, baru lulus dari Universitas Islam Negeri loh. Kamu mau liat fotonya nggak?”

Bu Hindun menyodorkan selembar foto dengan antusias kepada anaknya. Dia terlihat sangat bahagia. Seperti ada angin segar, anak lelaki satu-satunya segera melepas masa bujang.

“Adam terserah Ibu saja. Kalau Ibu cocok, Adam menurut.”

Tanpa mengalihkan mata dari buku yang dibacanya, Adam menjawab sekenanya. Dia hampir putus asa. Beberapa kali calon yang diajukan olehnya selalu ditolak ibunya mentah-mentah dengan berbagai alasan.

“Maafin Ibu, Dam. Ibu hanya ingin yang terbaik buat kamu. Meskipun keponakannya Bu Lastri ini jauh lebih muda dari kamu, Ibu rasa dia cocok.”

Bu Hindun duduk di samping Adam, kembali menyodorkan selembar foto di tangannya. Adam hanya melirik sedikit.

“Kalau kamu bersedia, kita langsung tentukan tanggalnya saja. Kamu sudah dewasa, Dam. Ibu merasa bersalah terlalu pilih-pilih. Usiamu sudah 29 tahun. Ibu hanya ingin melaksanakan wasiat ayahmu agar jangan sembarangan mencari menantu.”


Bu Hindun menyembunyikan mendung di matanya. Segera dihapusnya butiran bening yang lolos jatuh di pipinya.

“Ibu sudah pernah liat wajahnya? Kan, di foto itu dia pake cadar.”

Adam masih kurang berselera membahas perihal pernikahan. Hatinya masih belum menemukan seseorang yang bisa menghadirkan kembali debaran di dadanya.

“Dia cantik, Dam. Ibu tadi sudah lihat.” Bu Hindun menjawab mantap.

“Kalau begitu, malam Ahad nanti antarkan Adam untuk menghalalkannya.”

“Apa tidak terlalu buru-buru, Dam?”

“Ini bukan persoalan fisik yang jadi pertimbangan Adam untuk tidak menunda lagi, Bu. Tapi karena Ibu sudah setuju dan Adam sudah menerima, sekarang Adam pasrah saja. Tidak ada salahnya disegerakan? Akad saja, resepsinya bisa nanti. Adam minta maaf, akhir-akhir ini sering mendiamkan Ibu. Bila Ibu sudah ridho, Allah juga sudah pasti ridho.” Adam menatap wajah ibunya dalam-dalam, kemudian mencium kedua tangannya.

“Tapi, apa kamu tidak mau melihat wajahnya dulu?” Bu Hindun mengusap pundak Adam.

“Adam percaya sama Ibu.” Kali ini Adam tersenyum.

“Ya sudah, Ibu telepon keluarganya dulu supaya siap-siap.”

***

Lima tahun yang lalu. Pagi itu di SMA Permata, topik pembahasan guru baru menjadi trending di mana-mana. Di kantin sekolah, di perpustakaan, di laboratorium IPA, bahkan saat jam pelajaran berlangsung pun masih saja ada yang mencuri obrolan dengan teman sebangkunya. Kabarnya, sosok guru baru ini masih muda dan single.

“Eh, kalian udah denger belum? Di sekolah kita bakal kedatangan guru baru yang gantiin Pak Eko karena pensiun.” Sella menatap satu-satu wajah temannya dengan semringah.

“Aku udah denger, sih, dari kelas sebelah.” Sambil mengunyah lontong, Risa menjawab.

“Iya, aku juga.” Teman yang lain ikut mengangguk.

“Berarti dia guru Matematika, dong.” Ratih menimpali seraya menyedot habis es teh yang dipesannya.

“Katanya dia masih muda, Tih. Ganteng pula. Selera kamu banget yang gantengnya bukan kelas oppa-oppa Korea yang udah mainstream. Ini gantengnya kelas artis ketimuran.” Sella mulai mengompori.

“Yang bener kamu, Sell?” Ratih mulai antusias, jiwa ambisinya terpancing.
Dia yang paling beda di sekolah ini. Mulai dari pakaian yang mencolok, gaya rambut, sampai suara khas cemprengnya yang bisa didengar dari jarak jauh.

“Kita liat aja, sekarang kan abis istirahat ini jadwal pelajaran Matematika.” Sella menjawab sambil melirik jam yang melingkar di tangan kirinya.

***

Ruang kelas XII IPA 5 tidak biasanya hening, tapi kali ini beda. Setelah jam iatirahat semua siswa masuk kelas dengan segera, tidak terkecuali Ratih. Mereka tidak sabar menunggu guru baru yang mulai masuk hari ini. Tidak berselang lama, suara pintu diketuk disusul ucapan salam dari seseorang.

“Assalamualaikum, selamat siang!”

Pak Amir, Kepala Sekolah SMA Permata memasuki kelas, seseorang menyusul dari belakang. Ratih dan Sella saling sikut memandang wajah rupawan yang berdiri di samping Pak Amir.

“Anak-anak, hari ini kita kedatangan guru baru. Namanya Pak Adam. Beliau guru Matematika yang menggantikan Pak Eko. Bapak harap, kalian bisa belajar dengan baik bersama beliau.”

Pak Amir kemudian mempersilakan Adam agar sedikit maju.

“Silakan, Pak, hari ini boleh perkenalan saja dulu. Saya tinggal keluar, ya.”

Seketika suasana kelas kembali riuh.

“Pak … ganteng banget!”
Suara cempreng Ratih terdengar memekik telinga, disusul suara ejekan dari yang lain.

“Huhhhh … Ratih mulai, deh!”

“Boleh saya memperkenalkan diri? Sudah bisa tenang, ya?”

Dengan tersenyum Adam menyapukan pandangan ke seluruh ruang kelas. Wajahnya teduh, pembawaannya yang tenang akan menjadi idola bagi semua muridnya.

Sedikit jambang di kedua pelipisnya serta jenggot tipis di dagu menambah kesan berwibawa. Sempurna dengan tubuh tinggi yang dia miliki.

“Nama saya Adam Khairul Anwar, kalian boleh panggil saya Pak Adam. Barangkali nama saja cukup, ya?” Sekali lagi dia melemparkan senyum dengan kedua alis tebalnya yang dinaikkan.

“Status dong, Pak!” celetuk siswa yang duduk di belakang.

Adam tertawa kecil, sesekali menundukkan pandangan. Matanya menangkap sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. “Alhamdulillah saya masih jomblo!”

“Usia berapa, Pak?” Siswi yang lain ikut bertanya.

“Tahun ini memasuki 24 tahun. Sekarang gantian, ya, kalian yang memperkenalkan diri maju ke depan.”

Beberapa siswa mulai bergantian maju, ada dua siswi yang penampilannya mengundang perhatian. Ratih dengan pakaian yang super mini, dan Rahma, satu-satunya siswi yang memakai jilbab di kelas ini.

***

Enam bulan telah berlalu.

“Sell, kamu liat nggak, Pak Adam suka mencuri pandang ke arah Rahma kalo pas pelajaran berlangsung? Kayaknya dia naksir, deh, padahal mukanya si Rahma biasa aja.” Ratih memajukan bibirnya yang dipoles sedikit lipbalm.

“Iya, sih. Aku jadi curiga mereka ada hubungan lebih. Secara kan, baru dua bulan ini Pak Adam diangkat jadi pembina Rohis, sedangkan si Rahma anak organisasi Rohis.” Sella memilin-milin rambutnya yang keriting sambil memandang ke arah yang mereka bicarakan.

“Aku ada ide!” Ratih menjentikkan jari lentiknya ke arah Sella.

“Mau ke mana?” Sella bingung melihat Ratih yang tiba-tiba meninggalkannya.

Di koridor sekolah, Adam berjalan menuju ruang kerja Rohis. Berpapasan dengan beberapa siswi yang meleleh hanya dengan melihat senyumnya. Tepat di pintu ruangan, tiba-tiba Ratih berdiri di depannya dengan jarak yang sangat dekat. Adam mundur beberapa langkah.

“Pak Adam, saya boleh nggak masuk organisasi Bapak?”

Suara Ratih lembut, terdengar dibuat-buat. Sella menepuk jidatnya sendiri, melihat dari kejauhan tingkah konyol temannya. Duh … Ratih nekat banget, sih!

Adam memejamkan mata. Ia tahu pilihan mengajar di sekolah umum akan lebih banyak tantangan baginya, terutama dalam pandangan mata. Bila saja semua perempuan tahu, apa yang ada di pikiran setiap lelaki saat melihat lekuk tubuhnya, maka mereka tidak akan rela.

“Hehe … maaf, Pak.” Ratih berusaha menurunkan roknya yang kependekan.

Adam masih diam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berusaha mengalihkan pandangan dari kulit mulus di depannya.

“Kamu bukan anggotan Rohis, kan? Maaf, saya ada rapat sama anak-anak.” Adam masuk untuk memimpin rapat, sebab akan segera diadakan penyerahan jabatan dari pengurus lama kepada pengurus baru.

Ratih mengentakkan kaki, merasa tidak dianggap. Malu bercampur kesal, beberapa siswa yang menyaksikan tingkahnya semua tertawa. Menambah rasa jengkel di hatinya.

***

Malam ini, perempuan anggun dengan gaun pengantin dan cadar yang telah sah menjadi istrinya ternyata pernah menjadi muridnya.

Adam masih belum percaya. Bagaimana bisa, dia berubah menjadi sangat indah. Dengan balutan serba putih bermanik, serta mahkota kecil yang diletakkan di atas kepalanya membuat hati Adam kembali berdebar.

“Ratih …,” lirih suara Adam menyebutkan namanya.

Ratih yang sekarang, bukan lagi Ratih lima tahun yang lalu. Dulu dia dengan berani bisa menatap Adam dari jarak dekat. Hari ini untuk sekadar mengangkat wajah saja dia terlalu malu. Pipinya merah jambu.

Begitulah hidayah, menghampiri siapa saja yang dikehendaki-Nya. Tergantung kita mau menyambutnya atau mengabaikannya.

Adam mengangkat dagu Ratih seraya berkata, “Tidak usah malu. Aku sudah sah jadi suamimu, sekarang kamu boleh menggodaku.”(*)

 

Banjarsari, 26 Maret 2020

Siti Nuraliah, perempuan sederhana yang punya hobi membaca sastra lama. Suka menulis apa saja yang kusebut sebagai puisi.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply